Dilatarbelakangi oleh sebuah diskusi sederhana dalam
sebuah forum grup media sosial, aku mulai ingin beropini tentang apa dan siapa
sebenarnya Ibu Rumah Tangga. Yang namanya opini, tentu ini murni pendapatku
meskipun mendapat referensi dari berbagai sumber. Jadi kalau memang pendapat
Sahabat berbeda dengan pendapatku. Tak masalah. Perbedaan akan terus ada sampai
akhir zaman bukan? Jadi jangan sampai karenanya kita malah berpecah belah.
Prolog sebuah diskusi adalah ucapan selamat karena
salah satu resolusiku yang telah tercapai di tahun 2012. Mereka memberi ucapan
selamat yang kurespon dengan kata “terima kasih”. Dan dimulailah diskusi
tentang ibu rumah tangga. Beberapa senior mengira aku akan menikah tahun ini
karena memaksakan untuk lulus. Aku hanya meng-amin-kan ucapan mereka. Kuanggap doa.
“Sebagai seorang
wanita yang baru saja lulus, menurut vani gimana pendapat tentang ibu rumah
tangga?” (inti dari pertanyaan yang mereka ajukan)
Baiklah. Jawabanku;
Sebelumnya aku ingin menyatakan sesuatu. Memang benar.
Alasanku untuk lulus cepat adalah untuk bisa segera menggapai mahligai
pernikahan. Mengapa? Mama dan bapak memintaku untuk menikah setelah aku bisa
mandiri. Baik dari sisi finansial maupun segala hal. Lahir dan batin. Dengan cepat
lulus, aku bisa cepat berupaya memandirikan diri dari aspek finansial. Sedang ilmu
untuk menikah, sudah kupelajari sejak semester dua. Ketika jiwa pernikahan
menikam pikiran. Meskipun ilmuku masih sangat cetek. Setelah mandiri secara finansial, aku bisa maju ke tangga
pernikahan, membina sebuah keluarga dengan lelaki yang Allah swt siapkan sedari
dulu.
Cita-cita terbesarku adalah menjadi ibu rumah tangga.
Yang setiap saat bisa melihat anakku tumbuh, memastikan pertumbuhannya baik,
dengan pembelajaran yang baik, dengan gizi yang baik, dan ditangani orang yang
terbaik, ibunya sendiri. Cita-cita terbesarku menjadi ibu rumah tangga. Yang ketika
suami berangkat mencari segudang berlian untuk memenuhi kewajibannya, ia
percayakan anak padaku, ia pergi dengan tenang karena percaya padaku, ia
mencium keningku, kucium tangannya, menunggunya pulang kantor, ia
memperlakukanku dengan baik, tidak menganggapku pembantu (yang mencuci baju,
membereskan rumah setiap hari, atau sejenisnya), pokoknya semua hal yang
membuatku bahagia lahir batin. Sebelumnya, aku tegaskan disini. Bahwa ibu rumah
tangga yang aku maksud di sini adalah seorang wanita yang sudah menikah, tidak
bekerja, memilih di rumah untuk mengurus anak-anak dan suaminya. Baginya,
orientasi karir adalah keluarga.
Okay. Kenapa ibu rumah tangga? Bagiku ibu rumah
tangga lebih dari sekadar profesi. Makna dan artinya jauh lebih dalam. Dari hasil tetesan air mata kasih sayang, seorang
ibu rumah tangga dapat menciptakan khalifah terbaik di dunia. Jadi sebenarnya,
aku kurang setuju jika ibu rumah tangga disebut profesi. Ibu rumah tangga juga
bukan sekedar gelar kepada wanita yang sudah menikah. Lebih dari itu. Ibu rumah
tangga memiliki kecerdasan yang luar biasa, bisa mengurus suami dan anak
bersamaan. Bukankah luar biasa? Pekerjaan yang dikerjakan seorang ibu rumah
tangga. Bahkan kata “luar biasa” saja tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya
seorang wanita yang memilih jadi ibu rumah tangga.
Tapi ada wanita lain di sana yang hebat. Wanita jenis
kedua ini, bisa menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. Walaupun bagi
sebagian besar orang, tidak mungkin bisa berhasil keduanya, antara rumah tangga
dan karir. Aku bertemu wanita-wanita jenis kedua di sebuah perkantoran,
bercerita seputar kehidupan mereka. Betapa mereka bisa memprioritaskan segala
hal. Kurang lebih seperti itu.
Aku tidak pernah mau menilai mana yang lebih baik;
ibu rumah tangga atau wanita karir. Allah swt yang lebih tahu yang lebih baik. Jadi
untuk apa berdebat? Ini hanya seputar pendapat. Yang selalu kuyakini; wanita
adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah swt. Kehadiran hawa yang mampu
melengkapi tulang rusuk adam, kehadirannya yang mampu menentukan keberhasilan
sang suami, dan kehadirannya yang membuat generasi muda lebih baik.
Tapi, ada jenis wanita lain. Yang memilih sendiri
untuk menggapi karir di puncak himalaya. Aku tidak ingin mengomentari. Bukan
wewenangku. :D
Intinya adalah, menjadi apapun itu, wanita harus
kembali pada kodratnya. Menjadikan pria sebagai imamnya. Sebesar apapun
gajinya, setinggi apapun jabatannya, ia harus tunduk pada suami selagi pada hal
yang tidak bertentangan dengan syariat.
Ketika seseorang bertanya padaku, “kamu milih mana, jadi wanita karir atau ibu
rumah tangga?”
Aku menjawab: “Apapun
aku jadi, aku ingin mengikuti ke-ridho-an suamiku. Jika suamiku meridhoi aku
menjadi ibu rumah tangga, tak masalah. Jika kelak ia memintaku untuk menjadi
ibu rumah tangga sambil bekerja, aku pun mengikutinya. Karena ridhonya yang
menggiringku ke syurga Illahi.”