Dua
minggu sudah di Sukabumi. Rindumu pada mama dan papa sudah tidak tertahan.
Akhirnya handphone yang dikumpulkan
sudah kembali ke pemiliknya masing-masing.
“Pap...
aku dari sini pulang jam dua siang. Nanti malemnya bisa ketemu kan, pap?”
pertama kali memegang HP, kamu langsung menghubungi mama dan papa. Sayang mama
tidak menjawab teleponmu.
“Iya
sayang. Bunga sehat sayang?”
“Alhamdulillah
Bunga sehat, pap.”
Satu nama lagi. Masih ada satu nama
lagi yang ingin kamu hubungi. Andi. “Apa kabar dia?” Tanyamu. Tapi tangan
begitu kaku. Enggan sekali menekan nomornya. “Baiklah. Sampai di Jakarta, aku
akan menghubungi dia.” Pikirmu.
From : Krisna
To : Bunga
Hei.
Ini hari trakhir km di smi. Bole nanti sore aku ktmu?
Aku
lupa menceritakan Krisna. Sejak kepergian Andi menuju tempat pelatihannya.
Krisna datang. Menawarkan jabatan pertemanan. Krisna. Dialah seniormu di masa
kuliah. Wajahnya tampan. Kulitnya putih. Matanya coklat terang. Potongan
rambutnya begitu modern. Badannya tinggi dan proporsional.
“Apa sekalian aja temuin sama mama
papa ya?” Tanyamu dalam hati. Tidak ada salahnya mama dan papa mengenal temanmu
bukan?
Menjelang maghrib, mama, papa, dan
kedua kakakmu datang. Senyum sumringah menghiasi wajahmu yang semakin gelap.
Dua minggu di Sukabumi cukup menghanguskan wajah yang memang sejak semula tidak
juga terlalu putih. Kamu memeluk mama dan papa begitu erat. Kakak perempuanmu,
Berlian, menatapmu lekat. “Iteman ya kamu, dek.” Begitu komentarnya.
“Iya. Nanti juga aku putih lagi,
teh. Lagian item itu eksotis!”
Mama dan papa tertawa lepas.
Selama menyantap makan malam, kamu
tidak pernah berhenti bercerita tentang pengalamanmu di Sukabumi. Pengalaman
yang sampai kapanpun tidak akan pernah kamu lupakan kecuali Allah SWT
menghendakinya.
Tidak seberapa lama, lelaki itu
datang. Menyapa keluargamu dengan hangat. Ada yang beda dari tatapan mata mama
dan papa. Seperti tatapan ketidak sukaan. Entah mengapa. Tria menendang kakimu
sambil berbisik, “Ganteng, Bung.” Kamu hanya tersenyum.
“Iya.” Menjawab sembari mengangguk.
Obrolan papa dan Krisna mulai agak
serius. Seputar pekerjaan Krisna. Mama terlihat begitu antusias. “Emang kerja
dimana?” Tanya papa.
“Di
anak perusahaan Telkom, pak.”
“Apa
tuh?”
“Jadi
di Induk Koperasi pegawai Telkomnya, pak.”
“Dimana?”
“Deket
Gambir.”
Entahlah
perbincangan apalagi yang tercipta diantara mereka. Suasananya serius. Tetiba
keheningan menghadang. “Bayar dulu aja kali ya, a.” Ucapmu.
Krisna tetap saja duduk.
Membiarkanmu berdiri. Mengambil dompet. Lalu membayar semua makanan yang dia
makan. Kamu melihat teteh dan mama bertatap satu sama lain. Ada percakapan yang
tersirat tanpa terucap dari keduanya. Meski sesaat, pertemuan terasa begitu
hangat. Kamu berhasil melepas rindu yang dua minggu ini tidak dapat kamu
lampiaskan kepada mereka, kepada keluargamu. Kamu berhasil tidur lelap. Malam
singkat yang menyenangkan. Menorehkan senyum manis dalam tidurmu.
Perusahaanmu sekarang memberimu tempat
tinggal untuk satu minggu saja. Di sebuah hotel di samping Gedung Diklat. Hotel
itu berjumlah enam lantai. Sayangnya tidak seperti hotel kebanyakan yang
menaruh televisi di dalam kamar, hotel itu tidak menyimpan televisi di kamar.
Hanya ada empat ranjang lengkap dengan selimut, bantal, dan sepre berwarna
putih. Setiap penghuni mendapatkan meja belajar dengan lampu duduk diatasnya,
dan lemari pakaian. Lemari diletakkan dekat dengan pintu kamar mandi. Mungkin
bertujuan agar kamu mudah menggapai benda-benda di dalam lemari setelah keluar
dari kamar mandi. Ada dua kamar mandi yang menyambutmu setelah pintu masuk. Di
satu sisi terdapat lemari yang barangkali digunakan untuk menyimpan buku.
Sedangkan di satu sisi lainnya terdapat kaca yang besar. Kaca dengan gordin
berwarna krem. Kaca yang menghadap ke sebuah rumah dengan halaman yang luas.
Dapat dibayangkan seluas apa kamar itu. Ya kamar itu memang untuk empat orang.
Kamu,
Susan, Lia, dan Novi. Satu minggu ke depan kamu akan berada dalam satu kamar
dengan mereka. Mereka adalah teman yang kamu temui. Teman sekaligus keluarga
baru yang hadir dalam hidupmu. Meski baru saja ya baru saja saling mengenal dua
minggu lalu, kalian sudah begitu akrab. Tidak ada kecanggungan. Entah apa yang
menyatukan kalian. Kalian sudah mulai menjaga dan memahami satu sama lain.
Seringkali
Susan misalnya. Dia anak pertama
dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki. Dia lulusan salah satu Universitas
negeri di Malang. Dari caranya berhijab, kamu dapat menilai bahwa dia hijaber
yang selalu mengikuti trend. Kerudungnya selalu yang persegi panjang, dengan
jarum di kanan-kiri kepalanya. Panjangnya selalu menutupi dada. Susan juga
paling tidak suka menggunakan celana jeans. “Pantatku kan besar, kalau pake
jeans kelihatan banget besarnya.” Begitu ucapnya setiap kali ditanya alasan
tidak suka jeans. Dari cara bicaranya, kamu dapat menilai bahwa dia perempuan
dari keluarga baik-baik saja. Meski sering kali kata-katanya terlihat begitu
kasar dan kotor. Mungkin dia salah bergaul dulu atau bisa saja karena gaya
hidup keluarganya. Hampir setiap malam dia menelepon keluarganya. Ayah dan
ibunya. Dan setiap kali dia menelepon, kamu mendengar suara manja pada ayahnya.
Hangat dan begitu dekat. Begitulah gambaran setiap kali dia berbincang dengan
ayahnya. Seperti seorang kekasih yang tengah menelepon kekasihnya yang jauh
disana. Susan punya seorang pacar di Malang. Satu kampus dengannya. Sayangnya
kekasih hati di sana belum lulus kuliah. Kamu selalu bertanya-tanya, “Gimana
LDR bisa berjalan lancar? Bukankah cinta yang jauh dan dingin akan digantikan
oleh cinta yang dekat dan akrab? Paling tidak itulah yang diucapkan oleh Pak
MT.”
Lia. Beda orang beda kepala. Beda
kepala beda pemikiran. Beda pemikiran beda karakter. Beda karakter ya beda juga
sikapnya. Susan dan Lia berbeda. Lia cenderung lebih hangat, penyayang, lembut,
dan keibuan. Yang kamu suka darinya adalah perhatian hangat dan tulus yang
selalu dia ungkapkan. Konsisten. Satu kata lain yang dapat menggambarkan
kepribadian seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dengan kulit putih. Lia
selalu konsisten mencintai kekasih hatinya yang saat ini juga tengah bekerja di
salah satu bank swasta. Setiap malam, Lia selalu saja terlelap dengan handphone membeku di telinganya. Ya. Dia
harus selalu bercengkrama dengan kekasihnya meski hanya via suara. “LDR never
works, Li.” Komentarmu sinis. “Yang penting keduanya bisa jaga kepercayaan,
Bung.” Jawabnya ringan. Lia benar. Hanya saja kamu tidak pernah berhasil
membuktikan kebenaran yang disampaikan Lia. Pergi meninggalkan Andi dua minggu
saja, dua minggu saja, dia sudah meninggalkanmu. Sesuatu yang luar biasa yang
dia miliki adalah mulut tajamnya. Lia selalu memberikan mereka nasehat dengan
caranya sendiri. Pelan namun menusuk. Tapi justru yang menusuklah yang mampu
menyadarkanmu bukan?
Satu lagi. Si hitam manis, Novi. Dia
punya kharisma yang tidak dimiliki wanita lain. Sikapnya yang mudah bergaul
membuatnya dekat dengan para lelaki. Tidak jarang juga dia mengajarimu cara
menggombali lelaki. Tapi tahukah? Novi. Memiliki hati dan pola pikir yang
dewasa. Dia mampu memberimu nasehat jika yang kamu keluhkan adalah masalah yang
pasti, masalah hati. Dia dapat membawamu melihat masalah dari berbagai sisi
kehidupan. Kehadirannya membawa kemeriahan. Meski anak orang kaya, Novi tidak
manja. Dia mengajarimu menikmati hidup dengan kemandirian. Meski kadang dia
juga menjadi jauh lebih manja dibandingkan dirimu. Wajar toh. Manja adalah sifat dasar wanita.
“Muka kamu merah, Bung.” Ucap Lia.
“Iya. Kayanya mau flu.” Ucapmu.
“Ya udah. Jangan kemana-mana.
Istirahat dulu. Baringan ya.”
Kamu memutuskan untuk membatalkan
janji dengan teman-temanmu. Nampaknya tubuhmu lebih lelah dari yang kamu duga.
Rasanya selimut malam ini tidak
begitu hangat. Kamu melipat kaki. Menahan dinginnya malam meski air conditioner sudah dalam keadaan off. Hpmu berdering. Mama rupanya. “Iya,
Ma?”
“Bunga
kok suaranya bindeng gini. Kenapa?”
“Bunga kayaknya mau kena flu, Ma. Ini
lagi baringan di tempat tidur.”
“Udah
makan?”
“Udah tadi pas buka puasa, Ma.”
Mama menutup telepon setelah
menyampaikan beberapa wejangan.
Tidak
seberapa lama, papa menelponmu. ”Bunga
puasa?”
“Iya, pa.”
“Papa
nggak abis pikir sama Bunga. Kan Bunga belum boleh puasa. Kenapa bunga puasa?
Bunga itu capek abis dari Sukabumi. Eh malah puasa. Gimana sih? Sekarang udah
makan kan?”
”Papa nggak usah panik. Bunga
baik-baik aja. Cuma mau flu aja kayanya. Bunga istirahat dulu ya, pa.”
“Bunga
jaga kesehatan ya. Nanti Jumat papa jemput. Kita ke Bandung sabtu Pagi. Ketemu
Akang ya.”
From :
Andi
To :
Bunga
Mulai skrg km lupain sy
From :
Bunga
To :
Andi
Apa salah neng, a? Knp aa giniin
neng? Knp aa ninggalin neng?
From :
Andi
To :
Bunga
Technically, kamu yg ninggalin sy
SMS masuk dari Andi. Menampar
wajahmu. Apa dia benar-benar telah meninggalkanmu? Tanpa menatapmu? Dia
meninggalkanmu? “Apa salahku?” Tubuhmu semakin panas. Wajahmu terus memerah.
Air matamu berlinang. Kamu sendirian. Sendirian di kamar yang luas. Dengan
pertanyaan yang sama, “Why?”
Malam yang gelap menjadi
semakin gelap. Mungkin di malam inilah resmi Andi menyatakan keinginannya
meninggalkanmu. Dia memintamu melupakannya. Hal yang benar-benar tidak mungkin
terjadi. Ingatan tentang cinta dan kasihnya akan selalu kamu rasakan di hati.
Ingatan yang membuatmu berjanji akan membuangnya nanti. Nanti ketika kamu di-khitbah lelaki lain. Ingatan yang juga
menyakitimu. Menyakitimu begitu dalam. Andi benar-benar telah meninggalkanmu.