Rabu, 17 Desember 2014

Kembalilah Kini

Dua minggu sudah di Sukabumi. Rindumu pada mama dan papa sudah tidak tertahan. Akhirnya handphone yang dikumpulkan sudah kembali ke pemiliknya masing-masing.
            “Pap... aku dari sini pulang jam dua siang. Nanti malemnya bisa ketemu kan, pap?” pertama kali memegang HP, kamu langsung menghubungi mama dan papa. Sayang mama tidak menjawab teleponmu.
            “Iya sayang. Bunga sehat sayang?”
            “Alhamdulillah Bunga sehat, pap.”
            Satu nama lagi. Masih ada satu nama lagi yang ingin kamu hubungi. Andi. “Apa kabar dia?” Tanyamu. Tapi tangan begitu kaku. Enggan sekali menekan nomornya. “Baiklah. Sampai di Jakarta, aku akan menghubungi dia.” Pikirmu.

From   : Krisna           
To        : Bunga
Hei. Ini hari trakhir km di smi. Bole nanti sore aku ktmu?

Aku lupa menceritakan Krisna. Sejak kepergian Andi menuju tempat pelatihannya. Krisna datang. Menawarkan jabatan pertemanan. Krisna. Dialah seniormu di masa kuliah. Wajahnya tampan. Kulitnya putih. Matanya coklat terang. Potongan rambutnya begitu modern. Badannya tinggi dan proporsional.
            “Apa sekalian aja temuin sama mama papa ya?” Tanyamu dalam hati. Tidak ada salahnya mama dan papa mengenal temanmu bukan?
            Menjelang maghrib, mama, papa, dan kedua kakakmu datang. Senyum sumringah menghiasi wajahmu yang semakin gelap. Dua minggu di Sukabumi cukup menghanguskan wajah yang memang sejak semula tidak juga terlalu putih. Kamu memeluk mama dan papa begitu erat. Kakak perempuanmu, Berlian, menatapmu lekat. “Iteman ya kamu, dek.” Begitu komentarnya.
            “Iya. Nanti juga aku putih lagi, teh. Lagian item itu eksotis!”
            Mama dan papa tertawa lepas.
            Selama menyantap makan malam, kamu tidak pernah berhenti bercerita tentang pengalamanmu di Sukabumi. Pengalaman yang sampai kapanpun tidak akan pernah kamu lupakan kecuali Allah SWT menghendakinya.
            Tidak seberapa lama, lelaki itu datang. Menyapa keluargamu dengan hangat. Ada yang beda dari tatapan mata mama dan papa. Seperti tatapan ketidak sukaan. Entah mengapa. Tria menendang kakimu sambil berbisik, “Ganteng, Bung.” Kamu hanya tersenyum.
            “Iya.” Menjawab sembari mengangguk.  
            Obrolan papa dan Krisna mulai agak serius. Seputar pekerjaan Krisna. Mama terlihat begitu antusias. “Emang kerja dimana?” Tanya papa.
“Di anak perusahaan Telkom, pak.”
“Apa tuh?”
“Jadi di Induk Koperasi pegawai Telkomnya, pak.”
“Dimana?”
“Deket Gambir.”
Entahlah perbincangan apalagi yang tercipta diantara mereka. Suasananya serius. Tetiba keheningan menghadang. “Bayar dulu aja kali ya, a.” Ucapmu.
            Krisna tetap saja duduk. Membiarkanmu berdiri. Mengambil dompet. Lalu membayar semua makanan yang dia makan. Kamu melihat teteh dan mama bertatap satu sama lain. Ada percakapan yang tersirat tanpa terucap dari keduanya. Meski sesaat, pertemuan terasa begitu hangat. Kamu berhasil melepas rindu yang dua minggu ini tidak dapat kamu lampiaskan kepada mereka, kepada keluargamu. Kamu berhasil tidur lelap. Malam singkat yang menyenangkan. Menorehkan senyum manis dalam tidurmu.

       Perusahaanmu sekarang memberimu tempat tinggal untuk satu minggu saja. Di sebuah hotel di samping Gedung Diklat. Hotel itu berjumlah enam lantai. Sayangnya tidak seperti hotel kebanyakan yang menaruh televisi di dalam kamar, hotel itu tidak menyimpan televisi di kamar. Hanya ada empat ranjang lengkap dengan selimut, bantal, dan sepre berwarna putih. Setiap penghuni mendapatkan meja belajar dengan lampu duduk diatasnya, dan lemari pakaian. Lemari diletakkan dekat dengan pintu kamar mandi. Mungkin bertujuan agar kamu mudah menggapai benda-benda di dalam lemari setelah keluar dari kamar mandi. Ada dua kamar mandi yang menyambutmu setelah pintu masuk. Di satu sisi terdapat lemari yang barangkali digunakan untuk menyimpan buku. Sedangkan di satu sisi lainnya terdapat kaca yang besar. Kaca dengan gordin berwarna krem. Kaca yang menghadap ke sebuah rumah dengan halaman yang luas. Dapat dibayangkan seluas apa kamar itu. Ya kamar itu memang untuk empat orang.
Kamu, Susan, Lia, dan Novi. Satu minggu ke depan kamu akan berada dalam satu kamar dengan mereka. Mereka adalah teman yang kamu temui. Teman sekaligus keluarga baru yang hadir dalam hidupmu. Meski baru saja ya baru saja saling mengenal dua minggu lalu, kalian sudah begitu akrab. Tidak ada kecanggungan. Entah apa yang menyatukan kalian. Kalian sudah mulai menjaga dan memahami satu sama lain. Seringkali
          Susan misalnya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki. Dia lulusan salah satu Universitas negeri di Malang. Dari caranya berhijab, kamu dapat menilai bahwa dia hijaber yang selalu mengikuti trend. Kerudungnya selalu yang persegi panjang, dengan jarum di kanan-kiri kepalanya. Panjangnya selalu menutupi dada. Susan juga paling tidak suka menggunakan celana jeans. “Pantatku kan besar, kalau pake jeans kelihatan banget besarnya.” Begitu ucapnya setiap kali ditanya alasan tidak suka jeans. Dari cara bicaranya, kamu dapat menilai bahwa dia perempuan dari keluarga baik-baik saja. Meski sering kali kata-katanya terlihat begitu kasar dan kotor. Mungkin dia salah bergaul dulu atau bisa saja karena gaya hidup keluarganya. Hampir setiap malam dia menelepon keluarganya. Ayah dan ibunya. Dan setiap kali dia menelepon, kamu mendengar suara manja pada ayahnya. Hangat dan begitu dekat. Begitulah gambaran setiap kali dia berbincang dengan ayahnya. Seperti seorang kekasih yang tengah menelepon kekasihnya yang jauh disana. Susan punya seorang pacar di Malang. Satu kampus dengannya. Sayangnya kekasih hati di sana belum lulus kuliah. Kamu selalu bertanya-tanya, “Gimana LDR bisa berjalan lancar? Bukankah cinta yang jauh dan dingin akan digantikan oleh cinta yang dekat dan akrab? Paling tidak itulah yang diucapkan oleh Pak MT.”
        Lia. Beda orang beda kepala. Beda kepala beda pemikiran. Beda pemikiran beda karakter. Beda karakter ya beda juga sikapnya. Susan dan Lia berbeda. Lia cenderung lebih hangat, penyayang, lembut, dan keibuan. Yang kamu suka darinya adalah perhatian hangat dan tulus yang selalu dia ungkapkan. Konsisten. Satu kata lain yang dapat menggambarkan kepribadian seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dengan kulit putih. Lia selalu konsisten mencintai kekasih hatinya yang saat ini juga tengah bekerja di salah satu bank swasta. Setiap malam, Lia selalu saja terlelap dengan handphone membeku di telinganya. Ya. Dia harus selalu bercengkrama dengan kekasihnya meski hanya via suara. “LDR never works, Li.” Komentarmu sinis. “Yang penting keduanya bisa jaga kepercayaan, Bung.” Jawabnya ringan. Lia benar. Hanya saja kamu tidak pernah berhasil membuktikan kebenaran yang disampaikan Lia. Pergi meninggalkan Andi dua minggu saja, dua minggu saja, dia sudah meninggalkanmu. Sesuatu yang luar biasa yang dia miliki adalah mulut tajamnya. Lia selalu memberikan mereka nasehat dengan caranya sendiri. Pelan namun menusuk. Tapi justru yang menusuklah yang mampu menyadarkanmu bukan?
       Satu lagi. Si hitam manis, Novi. Dia punya kharisma yang tidak dimiliki wanita lain. Sikapnya yang mudah bergaul membuatnya dekat dengan para lelaki. Tidak jarang juga dia mengajarimu cara menggombali lelaki. Tapi tahukah? Novi. Memiliki hati dan pola pikir yang dewasa. Dia mampu memberimu nasehat jika yang kamu keluhkan adalah masalah yang pasti, masalah hati. Dia dapat membawamu melihat masalah dari berbagai sisi kehidupan. Kehadirannya membawa kemeriahan. Meski anak orang kaya, Novi tidak manja. Dia mengajarimu menikmati hidup dengan kemandirian. Meski kadang dia juga menjadi jauh lebih manja dibandingkan dirimu. Wajar toh. Manja adalah sifat dasar wanita.
            “Muka kamu merah, Bung.” Ucap Lia.
            “Iya. Kayanya mau flu.” Ucapmu.
            “Ya udah. Jangan kemana-mana. Istirahat dulu. Baringan ya.”
             Kamu memutuskan untuk membatalkan janji dengan teman-temanmu. Nampaknya tubuhmu lebih lelah dari yang kamu duga.
        Rasanya selimut malam ini tidak begitu hangat. Kamu melipat kaki. Menahan dinginnya malam meski air conditioner sudah dalam keadaan off. Hpmu berdering. Mama rupanya. “Iya, Ma?”
            “Bunga kok suaranya bindeng gini. Kenapa?”
            “Bunga kayaknya mau kena flu, Ma. Ini lagi baringan di tempat tidur.”
            “Udah makan?”
            “Udah tadi pas buka puasa, Ma.”
            Mama menutup telepon setelah menyampaikan beberapa wejangan.
Tidak seberapa lama, papa menelponmu. ”Bunga puasa?”
            “Iya, pa.”
            “Papa nggak abis pikir sama Bunga. Kan Bunga belum boleh puasa. Kenapa bunga puasa? Bunga itu capek abis dari Sukabumi. Eh malah puasa. Gimana sih? Sekarang udah makan kan?”
            ”Papa nggak usah panik. Bunga baik-baik aja. Cuma mau flu aja kayanya. Bunga istirahat dulu ya, pa.”
            “Bunga jaga kesehatan ya. Nanti Jumat papa jemput. Kita ke Bandung sabtu Pagi. Ketemu Akang ya.”
           
            From   : Andi
            To        : Bunga
            Mulai skrg km lupain sy

            From   : Bunga
            To        : Andi
            Apa salah neng, a? Knp aa giniin neng? Knp aa ninggalin neng?

            From   : Andi
            To        : Bunga
            Technically, kamu yg ninggalin sy

    SMS masuk dari Andi. Menampar wajahmu. Apa dia benar-benar telah meninggalkanmu? Tanpa menatapmu? Dia meninggalkanmu? “Apa salahku?” Tubuhmu semakin panas. Wajahmu terus memerah. Air matamu berlinang. Kamu sendirian. Sendirian di kamar yang luas. Dengan pertanyaan yang sama, “Why?”
Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Mungkin di malam inilah resmi Andi menyatakan keinginannya meninggalkanmu. Dia memintamu melupakannya. Hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi. Ingatan tentang cinta dan kasihnya akan selalu kamu rasakan di hati. Ingatan yang membuatmu berjanji akan membuangnya nanti. Nanti ketika kamu di-khitbah lelaki lain. Ingatan yang juga menyakitimu. Menyakitimu begitu dalam. Andi benar-benar telah meninggalkanmu. 

Tidak ada komentar: