Rabu, 24 Desember 2014

Berjalanlah (1)

Lima hari setelah kepulanganmu dari Sukabumi
            Tubuhmu tidak juga pulih. Kamu semakin cepat lelah dan tidak bergairah. Meski senyummu tetap bersama langkahmu.
            Perjalanan panjang menuju Kota Kembang. Membuat jantungmu berdebar lebih dari biasanya. “Ada sesuatu yang akan terjadi? Apa ini?” Tanyamu dalam hati.
            “Bung. Bunga. Bunga. Bangun, Nak.” Mama membangunkanmu.
         Kalian telah sampai di rumah sederhana. Kang Asep. Ya. Kang Asep. Hatimu bergetar tidak karuan. Akan ada kabar baikkah? Atau jangan-jangan? Entahlah. Tapi percayalah. Allah swt sesuai dengan prasangka umat-Nya. Jadi ya berprasangkalah yang terbaik. Kamu berjalan perlahan. Sangat perlahan. Entah lelah atau mungkin karena memang tubuhmu sudah tidak sanggup lagi menopang badan yang semakin lama terasa semakin berat. Atau jangan-jangan menghentakkan kaki saja kamu sudah tidak sanggup. Ini hati atau fisikmu yang terluka?
Masih teringat jelas. Waktu itu tanggal 07 Juni 2014. Kali keempat kamu datang ke rumah sederhana. Untuk hal yang sama. Masih sama. Masih spasmofilia.
Kang Asep memegang pergelangan tanganmu. Kepalanya bergeleng-geleng. Kanan-kiri. Kamu hanya tertunduk. Takut sekali. “Neng disana ngapain aja kegiatannya? Cerita dong!” Kang Asep memecah kesunyian berbalut ketakutan yang kental.

Sedikit cerita tentang kegiatanmu di Sukabumi. Setiap pagi kalian harus berlari menuju masjid untuk menunaikan sholat subuh atau tempat ibadah lainnya. Lepas subuh berlari menuju lapangan luas lalu ditutup dengan olah raga pagi yang ringan. Namun tidak jarang para pelatih meminta kalian mengambil posisi serong kiri. Kalau sudah serong kiri, kalian pasti diminta untuk push up. Hukuman yang sering sekali kalian terima jika melanggar atau sekedar melakukan hal-hal yang kekanakan. Kamu yang selalu berpikiri untuk memberikan yang terbaik, maka kamu pun berpikir untuk melakukan segalanya semampumu. Sampai tumbang. Segimanapun beratnya latihan yang harus kamu lakukan, kamu akan terus melakukannya sampai memang kamu jatuh dan terkapar. Satu hal yang selalu kamu tekankan dalam hidup : never do complain. Ya. Kamu memang tidak pernah mengeluh. Jangan pernah mengeluh.
Satu minggu sudah kamu tidak meminum obat herbal yang dibekalkan padamu karena basi. Syukurlah sejak awal kamu tidak pernah merahasiakan penyakitmu dari pelatih. Kamu hanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Meski hati ingin menyembunyikan sakit, tapi kamu sadar betul kalau kamu butuh pemakluman bila tubuh lelah. Suatu pagi, kamu dan teman-teman lain diminta untuk periksa kesehatan di rumah sakit disana. Pemeriksaan itu dilakukan sebelum memulai tes fisik. Dipanggillah kalian berlima untuk memasuki ruangan dokter yang berseragam polisi lengkap. Dokternya masih sangat muda dan cantik. Kalau dibilang cantik, berarti dia seorang wanita. Ya. Tubuhnya indah, wajahnya cantik, rambutnya lurus meski dipotong pendek. Dokter yang hampir sempurna.
“Disini ada yang pernah sakit parah?” Tanyanya.
Masing-masing dari kalian menjelaskan penyakit yang pernah dideritanya. Tiba giliranmu. “Spasmofilia.”
Wajah dokter muda itu langsung berubah, “Apa itu?”
“Kram otot intinya, dok. Karena kekurangan kalsium.”
“Pantangannya apa?”
“Nggak boleh terlalu capek, dok.”
“Gini aja. Kalo nggak kuat, bisa langsung berhenti aja ya ujian fisiknya.” Syukurlah dokter menutup pertanyaan-pertanyaannya. Kamu selalu merasa terganggu kalau harus menceritakan banyak hal tentang si istimewa.
Kamu duduk bersandar sambil mengikat tali sepatu olah raga. Dokter yang tadi di ruangan datang menghampiri bersama dokter lainnya, seorang pria yang usianya sekitar 35 tahun. Tubuh dokter yang satunya lebih gemuk. Dia dokter asli nampaknya. Tidak mengenakan seragam polisi. Wajahnya sedikit lebar namun putih. “Dek. Tadi kamu sakit apa?” Tanya dokter polwan.
“Spasmofilia.” Jawabku.
“Apa itu?” Tanya dokter. “Hemofilia?”
“Loh bukan dong, dok. Itu penyakit kekurangan kalsium. Saya bawa hasil tes EMG.”
“Boleh lihat?”
Kamu mengeluarkan kertas kecil yang bertuliskan HASIL TES EMG : (+) 3.
Dokter itu hanya mengangguk seolah mengerti betul penyakit apa yang kamu derita. “Ya udah. Kalau udah nggak kuat jangan dipaksakan ya.” Sarannya.
Aku terheran melihatmu diam membeku. “Kenapa, Bung?” Tanyaku.
“Dokter itu nggak tahu apa itu spasmofilia. Dia hanya berpura-pura tahu.”
Aku terperangah. “Dari mana kamu tahu?”
“Tatapannya kosong dan penuh ketidak mengertian.”
Lanjut lagi kamu dan mereka membentuk barisan. Siap menuju lapangan untuk memulai tes fisik. Jantungmu berdebar lebih cepat. Nampak kekhawatiran akan ketidak sanggupanmu melewati tes ini. Kamu tidak ingin gagal. Kamu memang tidak terbiasa untuk gagal. Segala cara terbaik akan kamu lakukan untuk terhindar dari sebuah kata : GAGAL.
Kamu dan mereka harus berlari mengitari lapangan yang luasnya tiga kali lebih besar dari lapangan sepak bola biasa. Dengan nomor dada 012, kamu berlari semampunya, sekuat kakimu berlari. Satu putaran dilampaui. Tidak banyak upaya yang kamu keluarkan. Hanya saja di putaran berikutnya, kamu menjadi lebih lelah. Kakimu meraung kesakitan, tanganmu melamah seolah tidak lagi mampu berayun. Tapi satu yang tidak pernah lelah : pikiranmu yang positif. Kamu terus berpikir kalau kamu mampu menyelesaikan tes fisik itu. Di putaran keempat. Putaran terakhir setelah harus berlari 12 menit. Putaran yang melegakan. Kamu menghentikan larimu. Membiarkan kakimu beristirahat. Meregangkannya sembari meneguk satu gelas air mineral. Kamu berhasil. Pikiranmu berhasil menuntunmu menjalankan semuanya dengan sangat indah. SELAMAT BUNGA.

“MasyaAllah, neng.. capek banget. Neng sanggup kaya gitu?” Mata Kang Asep sedikit berkaca-kaca.
Kamu tertawa pelan.
“Dunia ya. Kita suka diperbudak sama dunia.” Lagi-lagi Kang Asep menggelengkan kepalanya. “Ini udah semakin parah, neng. Harus serius ditanganinnya. Kalau nggak nanti malah lebih fatal.”
Kamu tertegun. “Terus gimana dong, kang?”
“Penyakit ini emang nggak bisa sembuh 100%. Jadi harus ada kekuatan hati dan keinginan yang kuat supaya bisa sembuh. Nggak mungkin Allah kasih penyakit tapi nggak ada obatnya. Cuma neng nggak boleh kecapean. Neng kan nggak boleh lari sering-sering.”
“Tapi kok aku ngerasanya sehat-sehat aja ya, kang? Kayanya nggak apa-apa deh.”
“Emang si penderita nggak bakal ngerasain apa-apa. kerasanya ya sehat aja. Tapi sekalinya jatuh kondisi daya tahan tubuh bisa merosot drastis.”
“Sekarang daya tahan tubuh aku berapa persen, kang?”
“Mencapai 40% aja, neng. Kalau daya tahan tubuh neng sampai dibawah 30% neng harus istirahat total. Sama sekali nggak boleh ada aktivitas berat. Paling nggak satu sampai dua tahun. Bed rest total.”
Kamu terkejut, “Separah itu kah?”
“Kalau nggak serius ditangani, nanti bahaya. Harus hati-hati betul, neng. Dijaga kondisinya. Kalau nggak diseriusin, tubuh bakal sering merasa lelah, demam, alergi, dan nafsu makan bisa menurun.”
Mama dan papa menyela, “Kedah kumaha atuh, kang?”
“Usahakan satu bulan ini jangan terlalu capek. Lepas pendidikan langsung pulang dan istirahat. Akhir pekan juga dipaka aja buat istirahat. Jangan kemana-mana.”
“Sebentar lagi bulan ramadhan, kang. Boleh puasa kan?” Tanyamu terbata-bata.
“Sebaiknya jangan dulu puasa. Kondisinya benar-benar parah. Harus ada asupan gizi yang baik.”
“Tapi kan puasa bisa menyehatkan, kang?” Tanyamu sedikit memaksa.
“Menyehatkan untuk yang sehat, neng. Kalau neng yang sakit, nanti malah semakin parah. Allah Maha Mengerti kok. Allah juga tahu kalau neng sakit jadi nggak bisa puasa. Allah yang lebih mengetahui kondisi neng sendiri.”
Kamu menahan air mata.

“Neng... neng harus sadari. Neng nggak sama seperti anak-anak lainnya. Neng nggak bisa sering jalan kaki apalagi lari, neng nggak bisa kelelahan. Jadi neng harus bisa membedakan apa yang bisa dan nggak bisa neng lakukan. Neng kan nggak boleh dzalim sama badan neng sendiri.” 

Tidak ada komentar: