Lima
hari setelah kepulanganmu dari Sukabumi
Tubuhmu tidak juga pulih. Kamu
semakin cepat lelah dan tidak bergairah. Meski senyummu tetap bersama
langkahmu.
Perjalanan panjang menuju Kota
Kembang. Membuat jantungmu berdebar lebih dari biasanya. “Ada sesuatu yang akan
terjadi? Apa ini?” Tanyamu dalam hati.
“Bung. Bunga. Bunga. Bangun, Nak.”
Mama membangunkanmu.
Kalian telah sampai di rumah
sederhana. Kang Asep. Ya. Kang Asep. Hatimu bergetar tidak karuan. Akan ada
kabar baikkah? Atau jangan-jangan? Entahlah. Tapi percayalah. Allah swt sesuai dengan prasangka umat-Nya. Jadi ya
berprasangkalah yang terbaik. Kamu berjalan perlahan. Sangat perlahan.
Entah lelah atau mungkin karena memang tubuhmu sudah tidak sanggup lagi
menopang badan yang semakin lama terasa semakin berat. Atau jangan-jangan
menghentakkan kaki saja kamu sudah tidak sanggup. Ini hati atau fisikmu yang
terluka?
Masih teringat jelas. Waktu itu tanggal 07
Juni 2014. Kali keempat kamu datang ke rumah sederhana. Untuk hal yang sama.
Masih sama. Masih spasmofilia.
Kang Asep memegang pergelangan tanganmu.
Kepalanya bergeleng-geleng. Kanan-kiri. Kamu hanya tertunduk. Takut sekali.
“Neng disana ngapain aja kegiatannya? Cerita dong!” Kang Asep memecah kesunyian
berbalut ketakutan yang kental.
Sedikit cerita tentang kegiatanmu di
Sukabumi. Setiap pagi kalian harus berlari menuju masjid untuk menunaikan
sholat subuh atau tempat ibadah lainnya. Lepas subuh berlari menuju lapangan luas
lalu ditutup dengan olah raga pagi yang ringan. Namun tidak jarang para pelatih
meminta kalian mengambil posisi serong kiri. Kalau sudah serong kiri, kalian
pasti diminta untuk push up. Hukuman
yang sering sekali kalian terima jika melanggar atau sekedar melakukan hal-hal
yang kekanakan. Kamu yang
selalu berpikiri untuk memberikan yang terbaik, maka kamu pun berpikir untuk
melakukan segalanya semampumu. Sampai tumbang. Segimanapun beratnya latihan yang harus kamu lakukan, kamu akan terus
melakukannya sampai memang kamu jatuh dan terkapar. Satu hal yang selalu kamu
tekankan dalam hidup : never do complain.
Ya. Kamu memang tidak pernah mengeluh. Jangan pernah mengeluh.
Satu minggu sudah kamu tidak meminum obat
herbal yang dibekalkan padamu karena basi. Syukurlah sejak awal kamu tidak
pernah merahasiakan penyakitmu dari pelatih. Kamu hanya takut terjadi hal yang
tidak diinginkan. Meski hati ingin menyembunyikan sakit, tapi kamu sadar betul
kalau kamu butuh pemakluman bila tubuh lelah. Suatu pagi, kamu dan teman-teman
lain diminta untuk periksa kesehatan di rumah sakit disana. Pemeriksaan itu
dilakukan sebelum memulai tes fisik. Dipanggillah kalian berlima untuk memasuki
ruangan dokter yang berseragam polisi lengkap. Dokternya masih sangat muda dan
cantik. Kalau dibilang cantik, berarti dia seorang wanita. Ya. Tubuhnya indah,
wajahnya cantik, rambutnya lurus meski dipotong pendek. Dokter yang hampir
sempurna.
“Disini ada yang pernah sakit parah?”
Tanyanya.
Masing-masing dari kalian menjelaskan
penyakit yang pernah dideritanya. Tiba giliranmu. “Spasmofilia.”
Wajah dokter muda itu langsung berubah, “Apa
itu?”
“Kram otot intinya, dok. Karena kekurangan
kalsium.”
“Pantangannya apa?”
“Nggak boleh terlalu capek, dok.”
“Gini aja. Kalo nggak kuat, bisa langsung
berhenti aja ya ujian fisiknya.” Syukurlah dokter menutup
pertanyaan-pertanyaannya. Kamu selalu merasa terganggu kalau harus menceritakan
banyak hal tentang si istimewa.
Kamu duduk bersandar sambil mengikat tali
sepatu olah raga. Dokter yang tadi di ruangan datang menghampiri bersama dokter
lainnya, seorang pria yang usianya sekitar 35 tahun. Tubuh dokter yang satunya
lebih gemuk. Dia dokter asli nampaknya. Tidak mengenakan seragam polisi.
Wajahnya sedikit lebar namun putih. “Dek. Tadi kamu sakit apa?” Tanya dokter
polwan.
“Spasmofilia.” Jawabku.
“Apa itu?” Tanya dokter. “Hemofilia?”
“Loh bukan dong, dok. Itu penyakit kekurangan
kalsium. Saya bawa hasil tes EMG.”
“Boleh lihat?”
Kamu mengeluarkan kertas kecil yang
bertuliskan HASIL TES EMG : (+) 3.
Dokter itu hanya mengangguk seolah mengerti
betul penyakit apa yang kamu derita. “Ya udah. Kalau udah nggak kuat jangan
dipaksakan ya.” Sarannya.
Aku terheran melihatmu diam membeku. “Kenapa,
Bung?” Tanyaku.
“Dokter itu nggak tahu apa itu spasmofilia.
Dia hanya berpura-pura tahu.”
Aku terperangah. “Dari mana kamu tahu?”
“Tatapannya kosong dan penuh ketidak
mengertian.”
Lanjut lagi kamu dan mereka membentuk
barisan. Siap menuju lapangan untuk memulai tes fisik. Jantungmu berdebar lebih
cepat. Nampak kekhawatiran akan ketidak sanggupanmu melewati tes ini. Kamu
tidak ingin gagal. Kamu memang tidak terbiasa untuk gagal. Segala cara terbaik akan kamu lakukan untuk terhindar dari sebuah kata
: GAGAL.
Kamu dan mereka harus berlari mengitari lapangan yang
luasnya tiga kali lebih besar dari lapangan sepak bola biasa. Dengan nomor dada
012, kamu berlari semampunya, sekuat kakimu berlari. Satu putaran dilampaui.
Tidak banyak upaya yang kamu keluarkan. Hanya saja di putaran berikutnya, kamu
menjadi lebih lelah. Kakimu meraung kesakitan, tanganmu melamah seolah tidak
lagi mampu berayun. Tapi satu yang tidak pernah lelah : pikiranmu yang positif. Kamu terus berpikir kalau kamu mampu
menyelesaikan tes fisik itu. Di putaran keempat. Putaran terakhir setelah
harus berlari 12 menit. Putaran yang melegakan. Kamu menghentikan larimu.
Membiarkan kakimu beristirahat. Meregangkannya sembari meneguk satu gelas air
mineral. Kamu berhasil. Pikiranmu
berhasil menuntunmu menjalankan semuanya dengan sangat indah. SELAMAT BUNGA.
“MasyaAllah, neng.. capek banget. Neng
sanggup kaya gitu?” Mata Kang Asep sedikit berkaca-kaca.
Kamu tertawa pelan.
“Dunia ya. Kita suka diperbudak sama dunia.”
Lagi-lagi Kang Asep menggelengkan kepalanya. “Ini udah semakin parah, neng.
Harus serius ditanganinnya. Kalau nggak nanti malah lebih fatal.”
Kamu tertegun. “Terus gimana dong, kang?”
“Penyakit ini emang nggak bisa sembuh 100%.
Jadi harus ada kekuatan hati dan keinginan yang kuat supaya bisa sembuh. Nggak
mungkin Allah kasih penyakit tapi nggak ada obatnya. Cuma neng nggak boleh
kecapean. Neng kan nggak boleh lari sering-sering.”
“Tapi kok aku ngerasanya sehat-sehat aja ya,
kang? Kayanya nggak apa-apa deh.”
“Emang si penderita nggak bakal ngerasain
apa-apa. kerasanya ya sehat aja. Tapi sekalinya jatuh kondisi daya tahan tubuh
bisa merosot drastis.”
“Sekarang daya tahan tubuh aku berapa persen,
kang?”
“Mencapai 40% aja, neng. Kalau daya tahan
tubuh neng sampai dibawah 30% neng harus istirahat total. Sama sekali nggak
boleh ada aktivitas berat. Paling nggak satu sampai dua tahun. Bed rest total.”
Kamu terkejut, “Separah itu kah?”
“Kalau nggak serius ditangani, nanti bahaya.
Harus hati-hati betul, neng. Dijaga kondisinya. Kalau nggak diseriusin, tubuh
bakal sering merasa lelah, demam, alergi, dan nafsu makan bisa menurun.”
Mama dan papa menyela, “Kedah kumaha atuh, kang?”
“Usahakan satu bulan ini jangan terlalu
capek. Lepas pendidikan langsung pulang dan istirahat. Akhir pekan juga dipaka
aja buat istirahat. Jangan kemana-mana.”
“Sebentar lagi bulan ramadhan, kang. Boleh
puasa kan?” Tanyamu terbata-bata.
“Sebaiknya jangan dulu puasa. Kondisinya
benar-benar parah. Harus ada asupan gizi yang baik.”
“Tapi kan puasa bisa menyehatkan, kang?”
Tanyamu sedikit memaksa.
“Menyehatkan untuk yang sehat, neng. Kalau
neng yang sakit, nanti malah semakin parah. Allah Maha Mengerti kok. Allah juga
tahu kalau neng sakit jadi nggak bisa puasa. Allah yang lebih mengetahui
kondisi neng sendiri.”
Kamu menahan air mata.
“Neng... neng harus sadari. Neng nggak sama
seperti anak-anak lainnya. Neng nggak bisa sering jalan kaki apalagi lari, neng
nggak bisa kelelahan. Jadi neng harus bisa membedakan apa yang bisa dan nggak
bisa neng lakukan. Neng kan nggak boleh dzalim
sama badan neng sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar