Minggu, 26 Agustus 2012

Berjuang Mengulurkan Jilbab


“Astaghfirullah!” Teriakku lalu bangun seketika. Denia yang tidur disampingku terkaget mendengarku berteriak. “Aku mimpi buruk, Denia.” Jelasku singkat.

“Mimpi apa, Dia?” Tanya Denia dengan wajah ketakutan.

“A… a… aku… aku mimpi kiamat.” Wajahku tertunduk dan gemetar ketakutan. “Aku baru pulang dari sekolah lalu aku melihat banyak orang berkerumun di rumah. Tak henti-hentinya mereka melantunkan ayat suci Al-Quran. Ketika kutanya ada apa, ibu bilang, “Sebentar lagi kiamat.” Segera kucari Arga, Elfa, Indri, dan bapak. Tapi bapak nggak ada, Den. Waktu aku cari keluar, aku lihat bapak datang. ayah bilang,

"Hati-hati Adia! Banyak meteor jatuh.” Kulihat meteor berjatuhan. Dan ayah berlarian menuju rumah. Lalu menggandeng tanganku masuk. Aku takut dan terus menangis. Seolah semua nyata. Bukan mimpi, Den.” Jelasku. Arga adalah kakak tertua di keluargaku, Elfa si bungsu, dan Indri kakak kedua yang kumiliki. Sedang Denia adalah saudari kembarku.

“Udah Adia. Semua bakal baik-baik aja ko.” Tenang Denia.
Aku langsung bangun mengambil air wudlu. Setelah sholat subuh, kucari ayah. Karena dalam mimpiku, aku tidak dapat menemukan ayah. “Bu! Ayah mana?” Tanyaku pada ibu di dapur.

“Olah raga, Adia.” Legaku tak terbendung. Segera kuberlari ke kamar. Kututup pintu dan siap melantunkan ayat suci Al-Quran. “Apa aku harus mengenakan jilbab? Apa mimpi itu peringatan dari Allah SWT?” Pikirku dalam hati. Menutup aurat yang memang seharusnya ditutup menurut aturan islam. “Tapi ibu aja nggak pake kerudung? Masa aku pake?” Tanyaku dalam hati seolah menolak keinginan untuk memenuhi salah satu kewajiban seorang muslimah itu.


Sudah tiga malam berturut-turut aku memimpikan hal yang sama. Namun responku kali ini sangat serius. Tidak seperti dua hari sebelumnya yang begitu dingin. “Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak! Aku… aku harus mengenakan jilbab!” Tekadku dalam hati. Beberapa hari belakangan ini, aku memang ingin sekali mengenakan jilbab. Tapi belum juga kurealisasikan keinginan itu. Seolah terbentur banyak kendala; karena ibu tidak mengenakan jilbab atau bahkan karena aku tidak punya kerudung. “Itu bukan kendala. Aku harus segera menutup auratku. Bagaimana kalau kiamat datang cepat lalu aku belum menjalankan salah satu kewajiban muslimah dengan menutup aurat? Naudzubillah…” Dengan tekad yang kuat diiringi sedikit ketakutan kuhampiri ayah dan ibu yang sedang menyantap sarapan. “Yah, Bu, semalam Adia mimpi buruk.” Kuceritakan dengan jelas mimpi yang telah menghantuiku selama tiga malam berturut-turut.

“Sayang, itu cuma mimpi.” Ibu berusaha menenangkan.

“Terus… ayah tanya, mau Adia apa? Biar Adia tenang?” Tanya ayah.  

“Aku mau pake jilbab, yah.” Ucapku tertahan ketakutan kalau-kalau ayah dan ibu tidak setuju.

“Bagus itu!” Jawab ayah mengagetkan “Ayah setuju.”

Aku senang karena ayah dan ibu memberikan respon positif. Tidak lama aku segera ke kamar ibu. Mencari-cari kerudung yang bisa kukenakan sementara. Tentunya setelah meminta izin pada ibu. Akhirnya kutemukan satu buah kerudung siap pakai berwarna putih. Ukurannya pas di kepalaku. “Ma, minta yang ini ya!” Teriakku pada mama menuju dapur sambil membawa kerudung yang kutemukan.


Dunia perkuliahan adalah salah satu dunia yang selalu kutunggu-tunggu. Aku melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Tapi aku harus berpisah dengan Denia yang akan melanjutkan studi di Jakarta. Setelah satu bulan masuk kuliah dan mengikuti kurikulum di kampus swasta berbau Information Technology, aku memutuskan bergabung ke dalam Lembaga Kerohanian Islam. “Aku agak takut masuk situ, Dina. Kan disitu kerudung cewek-ceweknya pada besar. Kayak pake mukena. Hehehe.” Aku terkikih sambil sedikit mengejek. Karena caraku berkerudung masih sangat minim.

“Udah. Nggak apa-apa. Kita ikut dulu aja yu, Dia. Aku juga mau.” Ajak my classmate, Dina.

Aku segera bergabung dengan LKI. Ternyata dugaanku selama ini salah. Tidak semua perempuan mengenakan jilbab besar. Banyak juga perempuan mengenakan ’jilbab modern’. Lambat laun aku merasa nyaman bergabung dengan LKI. “It feels like I have a little second family in my campus.” Hingga akhirnya masa jabatan kepengurusan saat itu berakhir. Aku terpilih menjadi kordinator mentoring akhwat[1].

Rasa keingin tahuanku tentang dunia islam semakin menguat. Aku mulai membeli berbagai buku yang berisi aturan-aturan islam. Termasuk buku yang membahas aturan hijab muslimah. Salah satu buku yang kusukai adalah bukunya Subhan Nur LC tentang Mayoritas Wanita Masuk Neraka. Isi buku itu sangat menarik. Bukan hanya bicara tentang banyak hal yang menyebabkan muslimah masuk neraka, tetapi juga membahas tentang betapa mulianya seorang muslimah. Hingga harus menutup auratnya guna menjaga kemuliaan yang Allah berikan. Semakin banyak aku mencari tahu tentang hijab muslimah, semakin banyak juga yang aku tidak tahu, yang artinya semakin banyak pula aturan yang tidak kutaati. “Lalu? Selama ini jilbab apa yang kukenakan?” Timbullah pertanyaan hasil dari perenungan malam setelah membaca sebagian buku itu.

Aku tahu satu hal. Allah memberikan manusia waktu untuk memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik. Tetapi Allah tidak memberikan manusia waktu jika ingin meninggalkan suatu keburukan. Artinya setiap keburukan yang jelas, harus segera ditinggalkan. Tetapi dibutuhkan waktu yang lebih banyak dan bertahap ketika manusia ingin menjadi lebih baik. Aku tersadar bahwa selama ini caraku menutup aurat masih jauh dari syari’at islam. Bagaimana tidak? Aku masih sering memperlihatkan lekuk tubuh. Dulu sewaktu SMA, seragam sekolah berukuran besar dan gombrang, kukecilkan membentuk lekuk tubuh. Aku juga tidak memanjangkan kerudung. Air mata mengalir begitu saja setelah aku mengetahui bahwa banyak aturan yang tidak kutaati. “Astaghfirullah… astaghfirullah…” Lalu kutertidur dengan istighfar yang kulantunkan.
Keesokan harinya aku mendapat kabar kalau Denia melepas kerudungnya. Hatiku meronta sakit. Segala upaya kulakukan untuk menggagalkan niat Denia tetapi belum membuahkan hasil.

“Adia, Denia punya pilihannya sendiri. Masa kamu mau ribut sama kakakmu sendiri?” Tegas ibu.

“Tapi, bu! Baik. Adia mengalah. Kalau ibu dan ayah nggak bisa larang Denia lepas kerudung, ibu  dan ayah nggak bisa larang aku terus berusaha supaya Denia pake kerudung lagi.” Ucapku tegas. Ibu hanya diam mematung melihat gurat ketegasan dan tekad yang bulat pada wajahku.

“Aku pergi kuliah dulu ya, bu. Assalamu’alaikum.” Langsung kutarik gas motor matic merah berusia empat tahun. “Mau beli celana bahan ah.” Tiba-tiba saja tekad dalam hati membuncah setelah aku pulang kuliah. “Tapi nggak punya uang. Gimana ya? Tapi niat baik jangan pernah ditunda. Nggak apa-apa deh. Pake uang yang ada dulu. Allah pasti kasih jalan buat umat yang mau bertaubat.” Kutarik lebih kencang gas motor menuju department store yang dekat rumah.

Setelah tiba, kucari celana bahan yang bergantungan. Kulihat harganya satu persatu, “Jangan yang terlalu mahal. Cari yang murah aja. Yang penting longgar.” Bisikku kecil takut terdengar oleh orang lain. Akhirnya kudapatkan dua buah celana bahan. Warna cokelat dan abu-abu. Kedua celana yang longgar.

Selesai membayar dua celana yang berbahan licin, aku langsung pulang. Kulihat ibu melamun di meja makan. “Pasti mikirin Denia lagi.” Dugaku sementara. Setelah sapun dan berganti pakaian, aku kembali menghampiri ibu, “Ibu kenapa?”

“Nggak apa-apa. Ibu cuma kepikiran Denia aja, Di.”

“Sudah. Jangan ibu pikirin ya. Kan ibu sendiri yang bilang kalau Denia punya jalannya sendiri. Nanti kalau ibu mikirin terus, ibu bisa sakit. oh iya, bu. Ada yang ingin Adia sampaikan. Adia berniat ingin memperbaiki cara berkerudung Adia, bu. Baru aja tadi Adia beli celana bahan. InsyaAllah Adia mantap, bu. Adia minta restu dan dukungan dari ibu.” Ibu tidak mengatakan apapun. Hanya tersenyum tulus. Senyum yang menghangatkan. Melihat senyum ibu, aku semakin yakin untuk memulai hidup baru, dengan jilbab baru. Berusaha menjaga kemuliaan yang Allah berikan.


Kubentangkan kerudung segi empat. Kulipat menjadi segitiga sama panjang pada setiap sisinya. Membentuk segitiga sempurna. Tiba-tiba tanganku bergerak mengulangi lipatan itu. Segitiga yang tadinya sempurna berubah menjadi tidak sempurna karena satu sisinya lebih panjang dari satu sisi lainnya. “Bismilahirrahmaanirrahiim!” Mantap kuucapkan basmalah. Kukenakan kerudung itu. Kerudung yang biasanya kulilitkan pada leher, kini kujulurkan setengah badan. Kini aku sadar, sudah seharusnya kukenakan kerudung sesuai syari’at islam.

Setelah kukenakan kerudung yang panjang, hatiku mulai khawatir. “Gimana kalau orang lain bilang aku aneh? Gimana kalau orang lain nggak suka dengan penampilan baruku? Gimana kalau cowok-cowok pada protes? Gimana kalau aku jadi nggak fashionable lagi?” Banyak ketakutan akan hilangnya kesenangan duniawi bergerayangan dalam rongga kepalaku .

Perjuangan tersulit bagiku dengan keimanan yang masih rapuh ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu, perjuangan melawan segala ketakutanku terhadap semua hal yang fana’. Tetapi harus kuhapus segala ketakutan akan hilangnya kesenangan dunia. Karena ada janji yang Allah berikan kepada siapa saja yang mau bertaqwa di jalan-Nya, kepada siapa saja yang mau berjuang di jalan-Nya. Sekali lagi kulafalkan basmalah dengan lebih keras, tegas, dan mantap “Bismillahirrahmaanirrahim. Kuniatkan jilbab ini untuk berjuang di jalan-Mu, Ya Allah. Untuk menjaga kemuliaan yang Engkau berikan.”  


[1] Artinya perempuan

2 komentar:

risty kartika febrianty mengatakan...

obagus loh vani ceritanyaa ;)
true story?
oh iyaa, minal aidin wal faidzin yaa maaf lahir batin.

Vani Triani Sudarto mengatakan...

sama2 ya risty. minal 'aidzin wal faidzin.