Setelah dua minggu bermesraan
dengan kamar kost yang pertama, finally, keputusan
penempatan sudah muncul. Namaku tertera di baris yang mendekati urutan
terakhir. Tertulis satu daerah yang tidak asing namun jarang juga kujumpai;
Kelapa Gading.
Ting! Bayangin langsung melayang ke ingatan masa
kecil. Dulu, bapak pernah mengajak aku, mama, Ena, Teteh, dan Epang ke Mall
Kelapa Gading. Waktu pertama kali mall mau dibuka.
Okay. Kembali
lagi ke kehidupanku yang sekarang.
Nah. Langsunglah panik. Sedari awal
pernyataan yang muncul adalah; penempatan setelah satu bulan. Ya mungkin ada
pertimbangan lain mengapa penempatan diputuskan di minggu kedua. Dengan kepeningan
yang luar biasa, kubatalkan rencana ke Bandung malam Sabtu. Bapak langsung
mencari solusi. Otakku pun demikian. Berkelana mencari solusi yang tepat. Tapi
kembali lagi pada ingatan; “Bahwa Allah SWT lebih tahu yang terbaik, Dia juga
lebih tahu yang kubutuhkan, karena Dia berada lebih dekat denganku dari pada
diriku-sendiri.” Dengan besar hati, aku
menerima keputusan yang sebenarnya tidak sesuai harapan.
Sabtu siang, aku menunggu bapak. Bapak
mau mengantarku mencari kost baru di daerah Kelapa Gading. Meski aku sempat
menolak bapak untuk mengantarku. Aku tidak mau merepotkan bapak. Kasihan bapak.
Harus berlelah-lelah mencari kost denganku. Tapi dilemma lain menyerang. Kalau aku
pergi mencari kost seorang diri, label nyasar dan tidak tahu arah sudah melekat
di seluruh bagian otak. Yap! Aku yakin, aku akan tersesat. Ditambah lagi, aku
belum mengenal Jakarta seutuhnya. Beda dengan bapak, dari kecil bapak sudah
keluyuran di Jakarta. Akhirnya, kuterima tawaran bapak.
Bapak datang dengan wajah yang
menua. Keringat mengalir dari dahi menuju pipi. Aku semakin merasa kasihan dan
menyesal. Tapi cinta kasih bapak lebih besar padaku. Bapak bilang, aku masih
tanggung jawab bapak selagi belum punya suami, jadi bapak harus menjamin
keselamatanku. Makanya bapak mau menemaniku mencari kost baru.
Setelah mengisi perut dengan bensin
eh nasi, aku dan bapak pergi ke Gading dengan kendaraan roda empat berwarna
biru. Di pintu mobil terdapat nama perusahaan pemilik mobil, Putra. Betul! Aku
dan bapak pergi dengan taksi. Menelusuri Jalan Pramuka yang lalu mempertemukan
kami dengan Matahari Dept. Store.
Pertama kali orang di kantor yang
kukenal adalah, Pak Herman dan Mas Andri. Pak Herman memperkenalkan aku dan
bapak pada Mas Ichwan. Yang pada akhirnya Mas Andri dan Mas Ichwan yang
mengantarku dan bapak untuk berkeliling di sekitar Kodamar. Rumah yang pertama
kali kami datangi adalah… Rumah Tante *** (sensor ya). Ada kamar kosong yang di
lantai dua. Harganya Rp 600.000 per bulan. Kasurnya besar. Cukup untuk dua
orang. Ada kipas angin dan juga lemari. Pencahayaan dari matahari juga bagus. Kalau
siang datang, pasti kamar akan terang-benderang. Hanya,kamar mandi di luar. Bersamaan
dengan anak kost lain, yang ternyata… laki-laki. Yap! Kost ini adalah kost
campuran. Untuk pergi ke kamar mandi, aku harus melewati dua kamar yang
penghuninya bergender pria. Bapak sih oke-oke saja sebab bapak takut semua kost
penuh. Sebelum kami ke rumah tante ini nih, kami juga menemui satu kost khusus
wanita yang penuh. Jadi bapak takut aku tidak dapat kost lain. Dengan
basa-basi- ½ busuk, akhirnya aku dan bapak berhasil keluar dari rumah tante ini
nih. Terus terang kusampaikan pada bapak, bahwa aku tidak mau tinggal di Tante ***. Kost yang bercampur dengan lawan jenis itulah yang membuatku menolak untuk tinggal di sana.
Kami menelusuri jalan Bengkalis. Terpautlah
aku pada satu rumah yang sederhana namun hijau. Penuh dengan tanaman. Sayangnya,
lagi-lagi semua kamar terisi penuh. Aku kecewa sekali. Syukurlah sepasang suami
istri yang baik hatinya, memberi tahu mas Ichwan kalau ada kost kosong di rumah
sahabat baiknya. Sedikit memutar, kami langsung menuju rumah yang dimaksud.Di Jalan Tamiang Raya.
Bertemu dengan ibu kost. Bapak yang
berjalan paling depan. “Ini ada yang mau cari kost, Bu.” Mas Ichwan memulai
percakapan setelah mengucap salam.
Dari balik punggung bapak, kulihat
wajah Ibu cukup keheranan.
“Ini anak saya yang keempat yang
mau cari kost, Bu.” Seolah bapak tahu betul kebingungan yang dirasakan oleh Ibu
Kost.
“Oh. Saya kira bapak yang mau cari
kost.” Ibu tertawa.
“Gini, Bu. Ini anak saya yang
keempat. Nama saya Taufik. Anak saya pindah tugas kerja di ruko Inkopal depan. Jadi
mau cari kost. Barangkali ada kamar kosong.”
“Kebetulan sekali… kebetulan sekali…”
Ibu antusias.
“Haduuuuh. Jangan-jangan kamarnya
pada penuh lagi.” Pikirku dalam hati.
“Kebetulan sekali ada kamar yang
kosong. Tinggal satu lagi. Kemaren ada dua orang yang datang, tapi saya nggak
cocok lihat anaknya, makanya saya bilang kamar penuh.”
Aku dan bapak serentak mengucap
syukur pada Illahi, “Alhamdulillah…”
Ibu mengajak kami melihat kamar. Ukuran
kamarnya sebesar kamarku yang ada di Bandung. Catnya berwarna kuning yang
sayang sekali sudah ternoda dengan gambar tempel tokoh kartun. Ada Winnie the
pooh, mickey mouse, dan piglet. “Dulu ini kamar bekas anak saya. Tapi karena
semua sudah pada pindah, jadi saya buat kamar kost. Kecil-kecilan saja.” Ibu mulai
bercerita. Usut setelah usut, ternyata darah Banten mengalir di tubuhku, bapak,
dan ibu kost. Maka obrolan semakin hangat. Hingga berakhir pada kesimpulan;
Yes! This is gonna be my room!
Flash
back…
Sebenarnya sejak gerbang pintu
dibuka, aku sudah yakin kalau kost ini berjodoh denganku. Aku sangat yakin. Hati
terasa ‘srek’ ketika melihat rumah berwarna hijau muda. Mungkin begitulah kalau
bertemu dengan jodoh, tanpa alasan yang jelas, kita akan merasa yakin bahwa ini
dan itu adalah jodoh kita. Jodoh bukan hanya terkait dengan pasangan hidup loh.
:D
Besoknya, aku langsung pindah ke
kamar baruku. Kamarnya lebih nyaman. Jelas. Lebih nyaman dibanding kamar kost
yang pertama. Bayarnya hanya Rp 500.000 per bulan. Tidak masalah meski kamar
mandi di luar.
Dan kini, aku menyebutnya RUMAH
MERPATI.
Ibu kost yang kupanggil ibu, menyebut
kami –anak-anak kostnya- merpati. Beliau bilang, kami secantik merpati yang
terbang bebas tapi akan kembali ke rumahnya. Beliau bilang, hanya perempuan
tertentu yang bisa tinggal di sini, karena ibu yang terlalu selektif, untuk
itu, kamilah merpati yang istimewa. Beliau juga bilang, merpati yang putih
menjadi lambang putihnya hati kami. Sungguh luar biasa bukan. Ibu kost yang
sangat luar biasa.
Ibu pernah bercerita, di Tangerang
sana, banyak sekali saudara laki-lakinya yang senang main kemari. Mereka bilang
ingin bertemu dengan merpati Ibu.
Yap! Inilah rumah merpati yang
Allah swt jodohkan denganku saat ini. Dan kamarku adalah kamar merpati. Di minggu
ketiga, aku benar-benar berhasil membuat kamar merpatiku menjadi kamar yang
indah. Even it is not more beautiful than
my real room in Bandung. But I am
happy to live here now. Ruang kamar yang besarnya 3x3 membuat
barang-barangku berserakan di bawah tanpa kendali. Untunglah banyak paku yang
menempel erat di dinding. Dengan begitu, aku bisa memanfaatkannya menggantung
semua barang, bahkan yang tidak bisa digantung sekalipun.
Box dengan 5 sorog berwarna cokelat
kini tidak lagi sendirian. Tempo lalu, mama dan bapak membawakan box
warna-warni untuk menghilangkan kesendirian si box cokelat. Posisi buku kini
rapi di meja kecil sudut ruangan. Ada lagi tempat makanan dan minuman yang
berdiri di samping gallon air minum. Meski banyak barang, tapi kamar tetap
luas. Ditambah lagi, menjelang libur, aku HARUS membersihkan seluruh kamar. Mulai
dari mengelap seluruh meja, cermin, box, menyapu lantainya, sampai harus
mengepel lantai. Alhasil, meski hanya satu minggu satu kali, paling tidak ada
moment dimana kamarku tercium wangi semerbak. Haha.
Jadi. Inilah aku. Sekali lagi. Inilah
aku dengan kamar merpatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar