“Kenapa
kamu?” Tanyaku.
“Entahlah. Jantungku deg-degan
banget. Sesak.”
“Bernapas pelan-pelan...”
Kamu
tengah duduk di main hall. Sebentar
lagi doa pagi. Meski baru pukul 7.15 WIB. Wajahmu terlihat menegang seiring
degupan yang tidak juga kamu fahami maknanya. Seketika kamu menoleh ke sisi
kanan. Tepat ke lorong yang menghantar setiap orang menuju banking hall untuk absen pagi. “Dia.” Bisikmu.
“Siapa dia?” Tanyaku.
“Affan.”
Dia datang dengan kemeja warna biru
muda. Masih dengan jaket yang sama. Gaya yang sama. Tas gendong yang berlabuh
di satu sisi bahunya. “Inikah jawaban dari malam-malam tahajudku?” Tanyamu.
Aku hanya terdiam. Degupanmu begitu
cepat. Aku bisa merasakannya. Tapi kamu tidak banyak berkata. Bukannya menyapa
dia, kamu malah menundukkan wajahmu. Mengacuhkannya. Kebodohan berikut yang
kamu lakukan. Tidakkah kamu membiarkan dia untuk mengetahui kalau kamu
memperhatikannya? “Jangan!”
Hari-hari berikutnya terjadi.
Degupan yang selalu muncul sebelum kehadirannya. Setiap malam kamu terbangun
dengan doa yang sama. Dengan permohonan yang sama tentangnya. Sering kali
jantungmu berdegup kencang, tidak berapa lama dia dan kawanannya datang. Atau
sesaat secara tidak sengaja degupan itu datang lagi dan kalian berpapasan di
depan pintu. Bukan hanya itu. Suatu sore dia pernah membantumu untuk
mengeluarkan motor yang terparkir begitu dekat dengan motor lainnya. Lagi dan
lagi kamu mengalami degupan yang sama. Kamu sendiri tidak bisa memaknai degupan
apa itu.
Suatu hari kamu memberanikan diri
untuk bicara dengan temannya, Hudaya. Dia cukup bijak. Membuat kamu sadar bahwa
Jalan Allah lebih indah. Bodohnya... perasaan yang tidak karuan itu kamu
sampaikan kepadanya. Responnya dingin, “Kamu fokus aja dulu pendidikan. Aku
seneng kok berteman sama kalian.”
“Lalu? Apa yang akan kamu lakukan?”
Tanyaku.
“Melupakannya.”
“Kamu hanya perlu waktu lebih lama
untuk memastikan perasaannmu, Nida. Apakah benar kamu mencintainya atau hanya
rasa penasaran saja.”
“Yes. Waktu lebih lama.”
Tiga bulan sudah kamu berada di kota
ini. Waktunya kamu kembali ke Jakarta untuk menunaikan kewajiban lainnya. “Mungkin
dengan menjauh darinya kamu akan melupakannya.” Ucapku.
Kurang lebih dua minggu kamu di
Jakarta. Selama itu pula kamu tidak
pernah melewatkan malam tanpa memikirkannya. Selalu merindunya. Masih namanya
yang terucap di setiap doamu. “Aku sampai bosan, Nida. Lupakan dia yang
tidak pernah mencintaimu.”
“Tidak. Mencintainya indah.”
Kamu bersikeras yang kamu rasakan
adalah cinta. Mungkin kamu benar. Belum pernah aku lihat kamu memiliki perasaan
sekuat ini. Dari dulu, kamu tidak pernah mencintai lelaki. Selalu mereka yang
mencintai dirimu lebih dulu. Restu dari orang tua yang menggiringmu menyukai
mereka. Sialnya di tengah cinta sudah tumbuh, mereka meninggalkanmu. Dua lelaki
terdahulu. Yang satu menikah. Yang satunya lagi, kamu tidak pernah
menceritakannya padaku. Yang jelas dia sudah menghilang.
Di salah satu malam, sebelum tidur,
kamu memberanikan diri untuk menekan nomor seseorang. Nomor Affan. Ya. Saking
rindunya, kamu hendak meneleponnya. Tapi kamu tidak ada keberanian untuk
melanjutkannya. Kamu terlalu takut dan malu. Merindunya. Adalah satu kata yang bisa menggambarkan perasaanmu saat
ini. Meski dia tidak pernah merindumu. Selalu saja mengacuhkanmu, tidak
mempedulikan perasaanmu.
Kembalilah ke kota asal. Setelah dua
minggu di ibukota. Kamu bertemu dengannya. Memalingkan wajah setelah menampilkan
senyum yang sok ceria. Masih dengan degupan yang sama. Sadari,
rasa yang ada di hatimu tidak berubah sejak tiga bulan yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar