“BODOH!
APA YANG KAMU LAKUKAN, NIDA?”
“Tidak ada. Aku hanya mengejar hati
yang ingin kutemui.”
Hari Rabu, 31 Desember 2014.Beberapa
jam yang lalu. Tawa masih mengiringi bibirmu meski aku tahu betul. Kamu
terluka. Terluka akan kepergiannya yang tiba-tiba. Kalian satu meja. Bersama
dengan teman lainnya. Dia duduk tepat di sisimu. Seorang mengambil foto kalian
berdua. Affan mengenakan kemeja berwarna biru muda. Wajahnya terlihat lelah
sekali. Mungkin karena beberapa hari ini dia berusaha dengan keras
menyelesaikan pekerjaannya sebelum pindah. Ya. Dia harus pindah kembali ke kota
dimana dia berasal.
“Kenapa kok mendadak, mas?” Tanyamu.
“Nih biar nggak banyak pertanyaan.”
Dia menunjukkan text yang datang dari atasannya. Dia tampak bosan menjawab
pertanyaanmu. Mungkin sudah banyak orang yang bertanya padanya.
Kamu hanya diam.
Kalian kembali ke kantor. Kamu
melihatnya beredar di lantai dua. Di lantai yang sama denganmu. Dia mengobrol
dengan orang-orang. Entah apa yang dia bicarakan. Kamu pun berpura tidak
peduli.
“Kris. Aku mau ke bandara.” Ucapmu.
“Mau apa, Dea?”
“Aku mau melepas kepergiannya.”
“Naik motor?”
“Yes. Apalagi.”
“Aku ikut ya.”
“Jangan. Nanti aku malah khawatir.”
“Tapi di luar hujan.”
“Mau gimana lagi Kris. Aku mau dia
tahu apa yang aku rasa sebelum dia pergi.”
“Yakin? Aku khawatir loh.”
“Nggak apa-apa. Kita uda barengan
hampir tujuh bulankan? Percaya deh.”
Kristina begitu berat melepasku.
Tapi aku memaksanya.
Pesawat Affan pukul 18.30 WIB. Bel
pulang kantor berbunyi. Kamu langsung pulang. Sedang Kristin tinggal di kantor
karena ada acara akhir tahun.
Segera kamu membuka lemari.
Mengeluarkan sweater hangat berwarna pink. Memindahkan dompet dan handphone ke
dalam tas ransel yang lebih kecil. Kamu juga menghangatkan badan dengan minyak
kayu putih. “Pasti akan sangat dingin.”
“Nida! Tunggu. Apa kamu yakin?”
Tanyaku.
“Yes.
insyaAllah. Why?”
“Ini gerimis, Nida. Nanti kamu
sakit.”
“Nggak. insyaAllah nggak bakal. Aku
cuma nggak mau hidup dalam penyesalan karena kehilangan orang yang terkasih
tanpa dia tahu aku mencintainya.”
“Kamu yakin kamu mencintainya?”
“Sudah empat bulan. Aku sudah pergi
ke Jakarta dua kali. Sudah berusaha melakukan apapun untuk melupakannya. Tapi
apa yang kudapat? Setiap harinya perasaan yang sama. Merindunya,
menginginkannya, memikirkannya, dan aku sadar bahwa aku mencintainya. Apa ini
kurang?”
“Bukan begitu Nida. Kamu harus
pikirkan kesehatanmu juga. Kesehatanmu belum pulih.”
“Aku sehat. Aku tidak ingin membiarkan diriku menyesal seumur hidup. Kalau memang
dia tidak membalas cintaku, paling tidak dia harus tahu kalau aku pernah
mencintainya. Pernah sangat mencintainya.”
“Baiklah, lalukan kebodohanmu itu!”
Setelah menunggu instruksi dari
Kristin, kamu pun pergi. Melesat dengan cepat.
Aku memperhatikanmu dari jauh.
Dengan sebuah payung membentang. Memperhatikan kegilaanmu membawa motor dibawah
air hujan yang semakin deras. Jalan licin tidak membuatmu mengurangi kecepatan.
Hampir 90 km per jam. Sesekali ada lubang, kamu kepayahan mengurangi kecepatan.
“Ya Rabb. Aku pasrah kalau memang dalam perjalanan ini ada yang terjadi padaku.
Tapi aku mohon biarkan aku bertemu dengannya.” Pintamu
“Sudah pukul 18.00 WIB. Ya Allah.. tolong keburu. Jangan dulu pergi,
mas.” Tangismu terurai. Baju, celana, jaket, dan kerudungmu sudah basah total.
Bibirmu membiru akibat dingin yang merundung. Bukan hanya itu. Gigimu beradu
karena menggigil. Sudah lebih dari setengah perjalanan. Kamu tidak mungkin
mundur. Baru. Baru pertama kalinya aku
melihatmu seperti ini. Memperjuangkan cinta yang bahkan tidak pernah ada
untukmu. Memperjuangkan seorang lelaki yang namanya tidak pernah absen melewati
doamu. Memperjuangkan hati yang tidak pernah merasakan keberadaanmu. Begitu
besarkah kamu mencintainya, Nida? Kuakui. Ini sudah empat bulan. Aku tahu
betapa seringnya kamu menangis. Mencoba mengubur perasaanmu padanya. Tapi tetap
tidak berhasil. Wajahnya selalu tergambar jelas dalam ingatanmu.
18.15 WIB. Sampai di bandara. Kamu memarkirkan motor. Berjalan lebih
cepat.
“Dimana dia?” Kamu terus mencarinya.
“Halo, mas! Kamu dimana?” Ternyata Affan masih di jalan.
Kamu berjalan cepat menuju loket
salah satu maskapai penerbangan. “Sriwijaya delay nggak mas?” Tanyamu.
“Iya, Bu. Kurang lebih 30 menit.”
Text
Kamu :
mas. Pesawat delay sampe 30 menit
Affan : kt siapa?
Kamu :
Td aku nelp customer service
Padahal... kamu tengah berdiri di
pintu masuk bandara. Menunggu kehadirannya.
Wajahmu kusam terkena hujan.
Kerudungmu basah. Baru kali itu aku melihat penampilanmu yang benar-benar
payah. “I don’t care!” jawabmu.
Tidak berapa lama. Mobil innova biru
tua berhenti di lobi. Turunlah seorang lelaki berkaca mata hitam. Dengan jaket
seperti biasa. Dia menggendong sebuah tas ransel dengan benar. Di pundak
kirinya bertengger sebuah tas lagi yang cukup besar. DIA DATANG. AFFAN DATANG.
Kamu menghampirinya, “Ini masukin.”
Menyerahkan kantong plastik berisi makanan.
“Loh kamu kok disini?” Tanya Affan.
“Ya. Mau ketemu kamu.”
“Aku check in dulu ya.”
Kamu melihatnya berlalu.
Berapa lama dia datang. Mengajakmu
menunaikan sholat maghrib.
...
Akhirnya kalian berada di satu meja.
Dia asik menyantap makanannya. Kamu pun sama. Harus makan. Perjalanan pulang
masih jauh. Kamu harus mengisi perutmu yang kosong agar tetap sehat.
Affan bercerita tentang pekerjaan
yang harus dia selesaikan selama tiga hari. Kamu memperhatikannya dalam-dalam.
“Ayo, Nida! Apa kamu kemari untuk mendengar ceritanya? Kamu lupa tujuanmu yang
sebenarnya?” Aku berbisik.
“Mas... aku jauh-jauh cuma buat
denger kamu ngomong? Boleh kasih aku kesempatan?”
“Oh ya.”
“Aku nggak tahu kenapa aku kayak
gini. Sejak awal ketemu kamu selalu deg-degan. Kamu deket sama cewek lain aku
cemburu, marah, dan nggak tahulah. Aku nggak peduli apa respon kamu. Aku cuma
mau bilang...” Terhenti. Kamu menarik napas. Kamu bicara terlalu cepat, Nida.
“Udah udah. Ngobrolinnya biasa aja
ya. Apa perlu aku jawab sekarang?”
Ah entahlah. Aku tidak begitu dengar
lagi apa yang kalian bicarakan. Suara speaker
pengumuman mengganggu konsetrasiku.
“Ya udah. Kita kesana yuk!”
Kalian menuju lobi bandara.
Pesawatnya sudah lending. Kalian
berjabat tangan. Bertatapan satu sama lain. Cukup lama. Menghempaskan serpihan
hatimu yang sudah berceceran. “Hati-hati ya.” Ucapmu menutup pertemuan kalian. Kamu memanggilnya. Ingin rasanya kamu
bilang kamu mencintainya. Tapi bibirmu membeku. Entah karena dingin yang
menyerang atau... entahlah.
Bergegas kamu menuju motor meski
sebenarnya langkahmu melemah. “Pacarnya eh suaminya ya, Mba?” Tanya seorang
petugas.
“Iya, pak. Suami saya.” Omongankan
doa.
“Mau kemana?”
“Ke Jakarta Pak.”
“Dinas disana? Kok Mba nggak ikut?”
“Saya ada kerjaan di sini, Pak.
Mari, pak.” Kamu berjalan agak cepat.
Apa yang kamu katakan, Nida? Kamu
berbohong? “Entahlah. Omongan adalah
doa. Dan aku berdoa semoga dia yang menjadi suamiku kelak.”
Perjalanan satu jam setengah menuju
kosan sudah kamu tempuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar