Hai
Deanida Alsyahrin. Apa kabar sekarang?
Ini bukan kali pertama kamu
mengajakku menginjakkan kaki di kota asing. Oh mungkin kedengarannya agak
berlebihan. Kamu asik bersyukur dengan binaran mata seperti biasa. Sedari dulu
aku selalu heran padamu, sebagus apakah hatimu? Sebab matamu jarang terlihat
bersedih di depan orang. Matamu selalu berpancar positif. Meninggalkan jejak
aura kebaikan di hati siapa saja. Asik sekali memperhatikanmu mengambil
beberapa foto untuk diabadika. Melupakan tangis ayah dan ibu yang baru saja 20
menit lalu pecah. Berat hati mereka melepasmu pergi, Nida. Ditambah lagi kamu
adalah anak bungsu perempuan yang tidak pernah pergi jauh dari mereka.
Lalu siapa aku? Aku adalah temanmu.
Mengikuti kemanapun kamu pergi. Ingatkah? Dulu kecil kamu selalu menangis kala
bertengkar dengan kakak dan adikmu. Hingga akhirnya kamu bercerita. Cerita
tentang sedihnya hatimu. Bukan hanya itu, menginjak SMA, kamupun selalu
menceritakan keluh kesahmu padaku. Waktu terbaring lemah di RSAI Bandung.
Ruangan VIP A itu membuatmu kesunyian meski sekalipun orang tuamu tidak pernah
meninggalkanmu. Sepanjang hidupmu sedari SD, aku selalu menemanimu. Kini
biarkan aku yang mengurai ceritamu ya, Nida.
Kisah yang menyentuh. Ketika cinta yang kamu temui tidak pernah lagi
menepuk sebelah tanganmu.
Kamu dibesarkan bukan dari keluarga
yang berlimpah harta dan tahta. Ayahmu hanya seorang bankir yang luar biasa. Di
tengah karir yang menanjak, ayahmu harus mengundurkan diri dari perusahaannya
karena terjadi kekeliruan yang tidak pernah kamu fahami. Kamu mengalami masa
dimana harus mengencangkan ikat pinggang akibat tidak lagi bisa makan apapun
yang kamu inginkan. Dalam keterpurukan ekonomi, akhirnya ayahmu bangkit lebih
melesat. Maju menjadi pengusaha yang besar. Memenuhi semua yang kamu butuhkan.
Tapi bukan yang kamu inginkan. Ayah
selalu mengajarimu untuk berupaya mendapatkan apapun yang kamu inginkan.
Berupaya, berdoa sambil berusaha. Misalkan untuk memiliki sikat gigi
berkarakter, kamu harus mendapat juara 1 di kelas. Bukan hanya sikat gigi,
untuk memiliki buku cerita yang kamu inginkan pun kamu harus berbuat baik atau
berprestasi di sekolah. Bagusnya ayah mendidikmu menjadi lebih baik. Kamu jadi lebih mengerti bahwa tidak ada
hal yang diperoleh dengan mudah. Segala hal yang kamu inginkan harus dibarengi
dengan usaha yang gigih.
Ibumu. Wanita paling sempurna di
dunia. Ibu tidak pernah sedikitmu mengeluhkan rutinitasnya. Semua pekerjaan
rumah selesai ditangan Beliau. Tangan mulianya mampu menyajikan makanan yang
selalu menggairahkan lidahmu dan semua anggota keluargamu. Dari ibu, kamu
belajar arti menjadi wanita yang penuh kasih, tanggung jawab, cinta, kesabaran,
kepasrahan, apapun itu. Kamu belajar hal
baik menjadi seorang wanita. Ketika kamu dewasa, kamu punya satu cita-cita.
Menjadi seperti ibumu. Bagimu, sosok ibu sungguh sempurna. Sekali lagi.
Sempurna. Pernah sekali kamu melihat ibu menangis. Ibu tidak pernah mengeluh
padamu. Beliau langsung mengusap air matanya. Terkadang ditengah lamunannya,
kamu melihat air matanya menetes seketika. Beliau hanya berkata, bangga
memiliki anak seperti kalian yang bisa membahagiakan orang tua.
Keluarga besar yang hangat dan
harmonis. Begitulah keluargamu. Banyak dari teman-temanmu iri melihat
kebahagiaanmu, merasakan kehangatanmu yang tercermin pada sikap hangatmu. Nida
kamu sangat beruntung. Syukuri itu.
“Langsung ke kantor atau hotel
dulu?” Tanya Wahyu
“Aku udah hubungi mas Bas, katanya
kita taro dulu aja barang-barang ke hotel, langsung ke kantor.” Jawabmu.
Dari jauh aku memperhatikanmu
menunggu antrean bagasi. Menunggu koper besarmu muncul ke permukaan.
“Kita naik apa?” Tanya Argo.
“Katanya sih berjuang sendiri.
Haha.” Kamu tertawa lepas.
Dengan perut kelaparan, kalian
langsung menuju kantor setelah menaruh barang-barang di hotel yang telah
disediakan. Masih teringat betul. Kala itu pukul 13.00 WIB. Kamu mengenakan
blus berwarna putih, blazer abu-abu, celana panjang hitam, dan kerudung
bermotif merah abstrak muda-biru. Kamu menyentuhkan sedikit bedak, memoles sedikit
lipstik untuk menyempurnakan penampilanmu. Begitulah kamu. Selalu ingin tampil
maksimal di depan orang baru. Bagimu, first
impression is one of the most important thing. Dulu saja, bekas kekasihmu
selalu protes melihatmu terlalu tampil sempurna. “Nanti kalau ada yang naksir
kamu, gimana?” Begitu ucapnya.
...
Sudah pukul 14.00 WIB. Kalian
diminta menghadap seorang Kabag. SDM. Konon kabarnya, Dia senang dengan
penampilan yang menarik. Kamu merapikan sedikit blazermu. Kalian menghadapnya.
Perbincangan satu arah dimulai. Siapa kira kamu terkantuk-kantuk di dalam.
Sesekali kamu menunduk menahan kantuk.
Pukul 15.00 WIB. Hujan deras
mengguyur kota. Kalian kesulitan berjalan mencari tempat makan. Ditengah
derasnya hujan, kalian memutuskan untuk tetap mencari makan. Karena perut
kalian sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Derasnya hujan menciptakan banyak
genangan di jalan. Tidak ingin sepatu rusak, kalian melepas alas kaki besarta
kaosnya. Lucu sekali. Kalian berjalan seperti orang kampung yang baru datang di
kota. Itulah uniknya. Lucu tapi tidak memalukan kok. Paling tidak aku berusaha
menghibur kalian.
Hari selesai.
Besok kalian harus terjun ke kantor
cabang masing-masing.
Tidak banyak hal yang ingin
kuceritakan tentang masa kerjamu di cabang. Aku hanya tertarik dengan hatimu
yang sekarang tengah patah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar