Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Februari 2012

Holiday : menjelajah MONAS





Keesokan hari setelah berpetualang di Pangandaran, aku kembali melaksanakan tugasku sebagai anak rumah tangga. Nyapu, pel, mencuci baju, menyikat kamar mandi, dan membereskan piring.
Setelah lelah aku membiarkan tubuhku beristirahat sebentar. Sambil mempertimbangkan rencana kepergianku ke Cibinong untuk bertemu Fajar –sepupuku. “Pergi nggak ya? Badan berasa capek bener. Tapi nggak enak juga udah janji.”
Finally, aku pergi ke Cibinong. Berangkat dari Bandung menuju Gambir dengan kereta Argo-Parahyangan pukul 06.30 WIB. Kondisi lingkungan makro tidak mendukung. Kali itu tengah terjadi blokade jalan tol Cikampek oleh ratusan buruh. Akibatnya banyak penumpang travel dan bis berpindah ke kereta. Perpindahan tersebut membuat tiket eksekutif yang biasa kubeli habis. Tetapi aku masih mendapat tiket bisnis. “Biarlah panas sedikit. Yang penting sampe.” Ujarku dalam hati.
Di dalam kereta...
Tiga orang lelaki datang. Salah satunya duduk tepat di sampingku. Aku mulai merasa tidak nyaman. Karena dua orang temannya terus bergurau untuk menggoda temannya yang duduk di sampingku. “Ya Allah... semoga tiba-tiba ini kereta cepet sampe.” Doaku dalam hati. Aku terus memandang keluar jendela. Membiarkan sang lelaki di sebelahku tertidur. Sesekali kepalanya menempel di bahuku. Lalu kutarik cepat tubuhku menjauh darinya. Ia terbangun lalu meminta maaf.
Tiga jam berlalu. Akhirnya sampai di Gambir.
Nanda Iqbal Ibrahim. Dia sudah menungguku di Gambir. Dia bilang ingin menemaniku sampai Fajar menjemput. Rencananya Fajar memang akan menjemput di Gambir dan membawaku ke Cibinong dengan KRL.
Dengan sengaja memperlambat gerakan mengambil tas, aku membiarkan ketiga lelaki tadi berlalu. “Duluan ya, teh...” Pamit mereka. Di tangga turun aku mulai mempercepat langkah. Menyadari mereka ada di belakangku. Aku tidak curiga kepada mereka. Tapi kalau waspada, apa salahnya kan?
Setelah melewati pintu keluar, aku melihat Iqbal datang menghampiri. Mengambil tas ransel yang memelukku di belakang. Ia selalu seperti itu. Dan aku menyukai tindakannya. Seakan dia tidak ingin aku membawa barang yang berat. “Terus mau kemana ini?” Tanyanya.
“Ya paling nunggu di sini aja.” Jawabku.
“Ke Monas yuk!”
Aku mengiyakan. Kami pergi ke Monas. Hari itu hari Sabtu. Matahari cukup terik. Kami mencari pepohonan dan duduk di bawahnya. Meluruskan kaki. Menarik napas dalam. Aku cukup kelelahan memang. Kami melihat monas menjulang tinggi di depan. Aku asik bercerita seputar perjalanan ke Pangandaran. Sedang ia mendengarkan dengan gaya yang selalu sama, seolah tidak menyimak. Dan sering aku geram akan kelakuannya.
Karena bosan duduk, kami memutuskan untuk masuk ke dalam monas. Menjelajahi setiap cerita sejarah yang ada di dalamnya. Mengagumi miniatur yang dibuat begitu detail. kami ingin mencapai puncak. Tapi niat itu dibatalkan melihat antrean lift yang begitu panjang. Aku khawatir Fajar tiba.
Pukul 12.00 WIB kami kembali ke stasiun sambil mencari es buah. Fajar sudah tiba. Kami duduk menunggunya di depan Holland Bakery. Dari kejauhan, kulihat tubuh kurus Fajar menggendong ransel. “Ayo Teh Ni!” Ajaknya. Iqbal berlalu setelah mengucapkan salam. Sedang aku dan Fajar melanjutkan perjalanan menuju Cibinong.

Sabtu, 04 Februari 2012

Holiday to Pangandaran : it was time to go home





menunggu bis



makan siang di warung nasi terminal Pangandaran

Slow but sure. Begitulah yang aku rasakan ketika menaiki sebuah becak bersama Ade menuju terminal pangandaran. Becaknya sangat pelan. ½ bagian tulang dudukku tidak mendapat tempat yang layak. Oke... bahasa halusnya. Entah becak terlalu kecil, entah aku dan Ade terlalu besar sehingga Ade aku jepit. Dan aku pun tidak mendapat tempat duduk seutuhnya di atas becak.

Kembali lagi. Kenapa harus pelan tapi pasti? Karena sang abang becak mengayuhnya dengan sangat pelan. Tapi pasti mengantar kami ke terminal Pangandaran. Sesampainya di terminal, kami langsung turun. Menuju sebuah ruangan yang diatasnya tertulis AGEN BUDIMAN pada sebuah papan. Tetapi ruangannya kosong.
“Neng! Neng! Ada apa?” tanya seorang pria yang sedang duduk di depan kopi cokelat.
“Bis yang ke Bandung kapan ya, kang?” Tanya kami.
“Nanti jam 4 ada. Tunggu aja!”
Tapi tiba-tiba di kejauhan. Kondektur bis Budiman yang ke Tasikmalaya. “Neng! Naik bis ini aja! Bis yang ke Bandung jam 7 malem!” Teriaknya.
“Nanti dari Tasik naik apa?” Tanyaku.
“Ada bis lagi yang dari Tasik ke Bandung.”

Kami tetap bersikukuh menunggu bis yang jam 16.00 WIB. Kami yakin bis itu ada. Dan kondektur tadi tidak berkata jujur. Bukan berbohong. Dia hanya sedang tidak berkata jujur.
Kami pergi mencari minimarket terdekat. Membeli beberapa botol minuman yang sudah habis ketika di Cagar Alam. Setelahnya mencari warung nasi dan siap mengisi perut dengan nasi. Waktu makan siang telah lewat. Sudah pukul 15.30 WIB.

Kami berjalan menuju tempat tunggu bis. Hujan datang. Ia datang tidak sendirian. Berjamaah dengan angin yang sangat kencang. Kami wanita. Dan kami ketakutan. Angin dan hujan berkolaborasi membentuk kesatuan yang hampir sempurna. Menakuti kami dan beberapa calon penumpang lain yang menunggu kedatangan bis ke Bandung.
“Pan. Ini ujannya gede banget, pan.” Ucap Atik.
“Iya. Tenang, mpok! Nggak akan apa-apa kok.” Jawabku.
“Yakin mau pulang sekarang?” Tanya Atik lagi. Ketakutan terlihat sangat kuat di wajahnya.
“Apa kita mau pulang besok pagi aja. Nanti kita cari penginapan terdekat sini.”
“Iya, Van. Kalo pulang sekarang bahaya. Anginnya gede.” Tegas Ade.
Otakku terus berpikir.
“Kita tidur di masjid gede yang di depan aja, Pan.” Saran Atik lagi.
Tiba-tiba bis ke Bandung yang kami tunggu datang. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap naik bis. “Yakin ini, pan?” tanya Atik dan Ade ragu.
“Yakin. insyaAllah nggak ada apa-apa. Kita selamat.” Aku menutupi kecemasan yang sedari tadi juga menyelimuti hati dan pikiran.
Aku membiarkan Atik, Ade, dan Hana naik bis lebih dulu. Membiarkan Ade membawa Hana dan Atik masuk bis dengan payung yang dipinjamkan oleh agen Budiman. kemudian Ade menghampiriku. Kubiarkan Ade masuk bis. Kulipat payung dengan cepat lalu memberikannya pada kondektur. Kami sedikit basah. Tapi sepertinya aku banyak basah. Punggung dan sepatu basah. Dingin mulai menjalar ke atas tubuh. Tapi aku menutupi dinginnya tubuh.
“Sadar nggak sih. Kalau ini bis yang kita naikin pas berangkat?” Atik memulai perbincangan hangat.
“Iya gitu?” tanyaku.
“Coba liat nomornya!”

Ternyata benar. Bis yang sama. Kondektur yang sama. Dan posisi duduk yang berubah hanya satu baris lebih maju. Kami kaget sekali. Amazing. Tepat pukul 16.00 WIB bis berangkat. Cuaca masih belum bersahabat. Angin dan hujan masih betah berlama-lama menemani kami. mobil besar lainnya menghiasi jalan yang berliku. Jantungku semakin berdegup kencang. insyaAllah dzikrullah selalu kulakukan. Karena hanya kepada Allah aku dapat meminta keselamatan di saat apapun.

Sekitar pukul 22.30 WIB kami tiba di terminal Cicaheum. Menunggu taksi lewat. Setelah berupaya dengan keras, akhirnya kami menemukan taksi. Rencana membeli bubur ayam batal sudah karena taksi terus melaju. Aku dan Ade berlari menggapai taksi. Melambaikan tangan agar sang sopir mau berhenti.

Ya... hanya dua hari satu malam memang. Tapi menjadi perjalanan yang panjang. Menghiasi liburan kali ini.

Holiday to Pangandaran : Cagar Alam Pangandaran


batu berbentuk gajah yang sudah terkikis.



batu yang berbentuk induk gajah dengan anaknya


di belakang kami ada maqom dan gua kecil. dalam gua ini selalu ada orang yang bersemedi. konon katanya,orang yang punya tujuan tertentu dan bersemedi di dalam gua itu... maka tujuannya akan terkabul




di dalam gua ini, ada batu berbentuk pocong dan kuntil anak. kami harus berjalan miring untuk bisa melewati gua ini. bukan hanya berjalan miring, tapi juga membongkok agar tidak terkena batu.

Jumat, 03 Februari 2012

Holiday to Pangandaran : Beautiful Green Canyon.

Semalaman bangun tidur... tidur lagi. Bangun tidur... tidur lagi. Seperti itulah keadaanku. Bukan karena tidak bisa tidur. Tapi sedikit terganggu dengan televisi yang terus menyala. Aku melihat Ade dan Atik. “Mereka tidur apa masih nonton ya?” tanyaku setiap kali terbangun. Ternyata Ade dan Atik memang sengaja menyalakan televisi semalaman. Supaya orang lain mengira kami tidak tidur.
Pagi ini aku berhasil menempati kamar mandi lebih dulu. Setelah sholat subuh, aku langsung mandi. “Kalian mandi nggak?” tanyaku pada Atik, Ade, dan Hana.
“Nggak usahlah. Kan nanti di Green Canyon juga nyebur.” Jawab Atik.
Aku tidak terhasut. Dengan semangat aku langsung masuk kamar mandi. Dan mandi. Ade, Atik, dan Hana berniat tidak akan mandi. Karena di GC kami akan berenang. Aku selesai. Ade menyusul masuk kamar mandi. “Com! Mandi nggak?” Tanya Atik berteriak pada Ade yang terdengar seperti mandi.
“Nggak.” Jawabnya singkat.
Ade selesai. Atik mulai siap menguasai kamar mandi. Dan yang terakhir adalah... si pasrah Hana. Kenapa aku bilang Hana pasrah? Nanti jawabannya. Tapi begitulah adanya.
Setelah semua selesai mandi, kami mulai bersiap rapi. Menggunakan sunblock di tangan. Karena perjalanan jauh akan segera dimulai.
“Semuanya bilang nggak mandi tapi kayak mandi ya?” Tanyaku polos.
“Lah emang semuanya mandi, paaan...” Jawab Atik.
“Ya lagian kok Ade bilang nggak mandi?” Kami mulai tertawa. Menyadari bahwa mereka sudah berbohong.

Semua siap dengan setelan anak kaki gunung. Seperti backpacker sejati dengan ransel bertengger di punggung dengan kaki berbalut sandal jepit saja. Tenaga sudah dikencangkan hanya menghabiskan pop mie, kami pun pergi ke tempat rental motor. Rencananya kami akan menyewa motor seharian. Karena dari informan terpercaya yang kami dengar, untuk pergi ke GC dengan kendaraan umum akan membutuhkan waktu sangat panjang. Sedangkan kami harus keluar dari penginapan pukul 13.00 WIB.
Hanya dengan mengeluarkan uang Rp50.000 per motor kami sudah bisa menggunakannya setengah hari. Sebenarnya aku yakin itu tarif satu hari. Tapi kami akan menggunakannya setengah hari saja. Motor matic ditunggangi oleh aku dan Hana. Hana sebagai rider-nya. Dan motor yang satunya lagi dikendarai oleh Atik. Kami memulai perjalan 27 km menuju Green Canyon dengan basmalah. Sesekali bertanya pada orang di sekitar. Memastikan kami tidak salah jalan. Perjalanan ke GC dengan motor cukup jauh. Jalan yang pas untuk dua mobil saja membuat jantungku berdegup kencang tiap kali ada truk besar yang mengklakson di belakang kami. Sebelum sampai ke tujuan, aku dan Hana menuju pom bensin. Mengisi tangki dengan penuh. Khawatir kehabisan di jalan.

Sepuluh menit berlalu...
Menit berikutnya dan berikutnya...
Akhirnya kami tiba di Green Canyon. Aku sempat terhentak kaget melihat tarif untuk menyewa perahu mengelilingi sungai hijau tersebut. Rp75.000 satu perahu dan maksimal lima orang. It’s too expensive. Aku menaruh helm di atas motor. Tiba-tiba datang wanita berusia sekitar 30-an, beliau menghampiri kami meninggalkan suaminya di depan tempat tiket perahu.
“Neng, pada mau naik perahu ya?” Tanya wanita yang ternyata berasal dari Bandung juga.
“Iya, Bu.” Jawab kami.
“Gimana kalau bareng aja, Neng. Ibu berdua sama bapak disana. Katanya kalau berenam masih boleh. Dari pada kalau berempat bayarnya mahal, Neng.”
Kami pun setuju. Alhasil kami hanya mengeluarkan uang Rp12.500. Dengan wajah berseri kami menaiki perahu. Menyiapkan mental untuk takjub pada alam yang diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Benar saja. Pemandangannya sangat indah. Subhanallah. Hijau di sana-sini. Pohon menemani di kanan-kiri kami. Perahu berjalan dengan bantuan mesin. Hatiku tak berhenti berdzikir. Betapa indahnya buatan Allah.

Tibalah kami di sebuah tempat yang boleh dibilang... masternya di GC. Subhanallah subhanallah. Kali ini mungkin ratusan dzikir pun dapat diungkapkan sebagai bentuk kagumku pada indahnya alam. Tebing besar menjulang. Mengapit sungai hijau yang terus mengalir. Katanya kedalaman air hanya dua meter. Di tengahnya banyak pengunjung yang berenang menuju batu loncat. Sayang... kami tidak berenang. Karena biaya yang dikeluarkan untuk berenang terlalu mahal. Yaitu Rp125.000 untuk satu perahu. Setelah batu loncat, ada lagi kolam pemandian putri. Dan untuk mencapai kolam tersebut, biayanya semakin mahal. Haduh haduh. Kalau keluar biaya sebanyak itu, bukan backpacker namanya. Sedih hati tidak melihat keindahan lebih dalam. Tapi tak apalah... lain kali aku akan kembali ke GC dan berenang sepuasnya. insyaAllah.
Green Canyon sudah kami arungi. Hari semakin terik. Popmie yang kusantap tadi pagi ternyata hanya bertahan sebentar dalam perut. Selanjutnya... aku kelaparan. Mencari tempat makan asik di pinggir jalan. Dan hasilnya nihil. Perut semakin meraung. Timbullah perbincangan dengan Hana.
“Na. Cape nggak? Mau gantian nggak?” tanyaku.
“Ya Hana mah terserah Vani aja.” Aku yang mendengar jawaban seperti itu langsung sumringah.
“Jadi gini, Na. Vani lapar. Jadi lemes. Jadi bawa motor juga lemes. Hana aja ya. Hehehe.” Aku terkekeh.
Hana memang baik. Sangat baik. “Van, ambil aja kue cokelat di tas Hana. Lumayan buat ganjel.”
Tingtong!
Malu aku. Udah mah nggak mau gantian sama Hana, eh malah dikasih kue juga. (-__-“), “Makasih ya Hana.”
27 km yang kami lalui terasa semakin panjang karena Atik mencoba jalan baru. Untunglah kami sampai jam 11.00 WIB di pasar oleh-oleh dekat penginapan. Kami berburu oleh-oleh murah untuk mereka yang ada di benak kami. Aku membeli beberapa untuk orang terkasih. Keluargaku khususnya. Tepat jam 12.00 WIB kami kembali ke penginapan. Menunaikan kewajiban, dan bersiap membereskan semua barang kami.
Sebelum pulang, kami mampir ke penyewaan motor.
“Pak, sampe jam tiga ya, pak. Kami mau ke Cagar Alam dulu.” Izin kami pada pemilik motor.
Sang bapak hanya pasrah. Beliau mengangguk.

Dengan santai kami pergi ke Cagar Alam Pangandaran.
Setibanya disana, kami ditawari guide yang seharga Rp125.000 sekali jalan. Karena mahal, kami memutuskan untuk berjalan mandiri alias tanpa pemandu. Saat masuk gerbang, banyak monyet bergantungan. Ada pula yang berjatuhan ke bawah. Nampaknya rindu pada saudarinya, Atik. :D
Kami hilang arah. Tidak tahu harus kemana melangkah. Dimana-mana pohon. Sampai di depan sebuah gerbang Batu Kalde, seseorang berteriak. Menawarkan jasa untuk menjadi pemandu. Hanya dengan membayar Rp10.000 per orangnya. Kami pun mengiyakan dengan kilat setelah nego harga. Alhasil, kami diajak jalan mengelilingi cagar alam. Memasuki satu per satu gua yang ada.
Lagi dan lagi. Aku tak berhenti memuji dan bertasbih pada Allah. Sungguh besar kuasa-Nya. Banyak hal menakjubkan yang kutemui di tiap gua. Ada batu berbentuk pocong, kuntil anak, ibu yang menggendong anaknya, batu jagung, batu berbentuk anjing, gajah, dan masih banyak lagi yang aku lupa namanya. Tapi bentuknya masih sangat lekat dalam ingatanku.
Kami dikejar waktu. Kami harus mengembalikan motor pukul 14.00 WIB sedang jam sudah menunjukkan pukul 14.10 WIB. Kami menyudahi petualangan di Cagar Alam. Menarik gas motor dengan cepat menuju penyewaannya.

Motor dikembalikan. Kami berjalan kaki mencari becak untuk pergi ke terminal. Kami mengeluarkan Rp10.000 per becak untuk ke terminal Pangandaran.









Rabu, 01 Februari 2012

Holiday to Pangandaran : dinner time

Setelah secara bergantian dengan tertib menggunakan kamar mandi, kami pergi mencari makan malam. Makanan anak backpacker juga harus disesuaikan. Tidak bisa makan di resto mahal. Kami berjalan menelusuri jalan yang kian menjauh dari bibir pantai. Mencari pedagang kaki lima.

Sebelum makan, kami mencari mini market untuk membeli beberapa cemilan yang akan menemani kami di malam hari. Teringat ketika menelusuri perjalanan mencari penginapan. Atik melihat ada indomaret. Kami pun berjalan. Berusaha mencari indomaret yang dimaksud Atik. Aha! Akhirnya ketemu juga. Layaknya para atlet maraton, kami memasang kuda-kuda siap memburu semua makanan ringan yang ada. Aku memanggil satu per satu makanan yang aku inginkan diiringi kerja keras otak yang terus berhitung. Jangan sampai melebihi anggaran.
Selesai memburu makanan ringan untuk malam hari, kami menuju salah satu rumah makan di pinggir jalan. Ketakutan sempat menerpa. Karena tempat makanan itu sangat sepi. Khawatir harga mahal, setelah Atik memesan menunya, ia langsung bertanya harga makanan yang ia pesan. Sang ibu bilang, harganya standar. Jantungku berdegup lebih normal. Aku menghela nafas pelan. Saking laparnya dan baru bertemu nasi (seharian makan bakso dan mie ayam), kami focus pada makanan kami. Kesunyian datang. Tiba-tiba dua orang laki-laki datang dan memesan makanan juga. Mereka duduk berseberangan dengan meja kami. Kami membayar semua makanan bersama-sama. Lalu melangkahkan kaki dengan cepat.
“Kenapa, mpok?” tanyaku pada Atik.“2 cowok yang tadi matanya merah gitu, pan.” Jawabnya.

Aku mulai mempercepat langkah juga. Tidak berapa lama, di depan sebuah hotel ada segerombolan cowok-cowok plus satu ekor anjing. Kami mulai takut. Cowok-cowok itu menggoda kami dengan perkataan seperti… ah sangat sulit mendeskripsikannya. Pokoknya seperti perkataan ‘aneh’ aku menyebutnya. Ade dan Hana semakin kebut. Aku dan Atik berusaha untuk menampilkan jalan sesantai mungkin. Karena kami pikir mereka akan senang kalau kami bisa lari terbirit-terbirit. Jantungku semakin berdegup. Rasa-rasanya ingin berlari sekencang-kencangnya. Tapi tidak mungkin. Aku takut anjingnya benar-benar akan mengejar kami. Huft. Syukurlah semua semakin lapang.

Cowok-cowok sudah berlalu. Waktunya masuk penginapan. dan segera beristirahat. Memeluk bantal dengan erat. Tidur di samping Hana.





Selasa, 31 Januari 2012

Holiday to Pangandaran : Looked at the Beach

After taking a rest and eating chicken needle (actually, in Indonesia is mie ayam), we went to beach. Wanted to see sunshine nearly. Kami hanya berjalan-jalan di pinggiran pantai. Menikmati kulit kaki, wajah, dan tangan kami yang terbakar oleh sinar matahari. Meskipun hari kerja, cukup banyak turis yang datang ke pantai.

Kami memasuki pintu menuju pantai bersama-sama. Kanan-kiri banyak pedagang. Ada pedagang kelapa muda, baju, kain pantai, kaca mata, dan lain-lain. Kami berjalan terus. Memasuki area pesisir pantai. Menapakkan kaki pada pasir pantai yang basah terkena ombak. Ombak di laut yang terus berkejaran menuju tepi terlihat sangat liar. Mereka bersaing tanpa melihat siapa saingannya. Mereka hanya mencoba dan mencoba untuk menepi. Sekelompok pria muda mengucapkan salam ketika kami lewat di sampingnya. Mereka hendak bermain bola pantai.

Ombak-ombak itu menyentuh kaki kami. Atik yang takut memberanikan diri lebih dekat dengan air walau terlihat sia-sia. Berulang kali ia berujar, “Ya Allah… ih ombaknya gede ih kaliaaaan.”
Tapi aku, Ade, dan Hana tidak memperdulikan kecemasan Atik. Kami terus bermain dengan ombak-ombak kecil. Karena merasa harus mencari kegiatan, kuambil pasir basah dalam genggaman.
Dan kuhadiahkan lemparan pertama kepada Atik, disusul Ade, dan yang terakhir Hana. Lalu mereka membalas dengan gumpalan pasir serupa. Alhasil, terjadilah perang lempar pasir. Kami berlari sambil terus berusaha membuat gumpalan pasir yang paling besar. Tawa selalu menghiasi pergerakan kami di sore itu.

Nampaknya kami terlalu cepat keluar dari penginapan. Sunshine yang kami tunggu masih juga belum terlihat. Matahari akan terbenam di Pantai Barat. Posisi kami ada di Pantai Timur. Kami terus berjalan mendekati Pantai Barat hingga kelelahan memeluk kaki kami. Kami singgah pada sebuah warung yang menjual es kelapa muda.
“Pak ini es kelapanya berapa?”
“7000.”
“Oh. 2 aja kalo gitu, pak.”
Kami memesan dua es kelapa. Aku bareng sama Hana, Atik dan Ade. Kami membawa buah kelapa ke pinggir pantai. Sambil menikmati matahari yang mulai tenggelam. Ombak semakin kencang. Pengumuman untuk memberhentikan kegiatan renang sudah dari tadi bersuara. Kami mengambil beberapa foto. Membiarkan ombak yang kian kencang menghempas kaki kami. Sesekali kami berlari mendekati kelapa yang kami tinggal jauh agar tidak terkena ombak namun hamper saja ditenggelamkan oleh air laut. Kami berlari. Mengejar kelapa agar tidak terbawa arus. Mengejar sandal-sandal kami yang hampir hanyut terseret ombak.

Sore hari yang menyenangkan. Begitu indah alam ciptaan Allah. Alam dan segala isi yang diciptakan begitu sangat sangat sangat indah. Apalagi Sang Khalik. Pasti lebih indah. Begitulah sore hari yang kami lalui di pantai Pangandaran.
Menjelang maghrib, kami memutuskan kembali ke penginapan untuk membersihkan diri lalu pergi berwisata kuliner (mencari makan malam tepatnya).

Minggu, 29 Januari 2012

Holiday to Pangandaran : just the beginning

Setelah lelah berpetualan di Pangalengan 2 hari berturut-turut... then on Monday aku beristirahat. Tuesday mulai fokus pada kegiatan bersih-bersih rumah... on Wednesday we went to Pangandaran!!! hel yeaaahhh!!

Aku, Atik, Ade, dan Hana memutuskan menghabiskan satu malam romantis bersama di Pantai Pangandaran. Rencana berangkat pukul 06.00 WIB dari rumahku batal sudah karena kami harus menyiapkan bekal di perjalanan. Sebelum kami berangkat, kami berdoa. Tiba-tiba jantungku berdegup cepat. Ini perjalanan backpacker pertamaku. Ini perjalanan pertamaku dengan tiga sahabat yang sama sekali belum pernah ke Pangandaran. Dan ini akan menjadi perjalanan liburan yang menyenangkan.
Bekal roti isi susu coklat, keju, dan meses sudah siap dalam plastik. Perjalanan kami mulai tepat pukul 07.00 WIB yang dimulai dari rumahku. letaknya di Pratista Antapani. perjalanan awal kami dengan mengendarai ojeg menuju pemberhentian angkot Antapani-Ciroyom. Yeula (sahabat) bilang, naik Antapani-Ciroyom dan berhenti di SPBU yang terletak di perempatan Jalan Jakarta dan Supratman. Kami pun menurut. Sepanjang perjalanan dari terusan Jalan Jakarta aku terus mengingat rute angkot Antapani-Ciroyom, “Aha!” Otakku mulai cerah. “Angkot ini kan rutenya nggak lewat SPBU di perempatan.” Aku terus berpikir dalam diam. Hana, Atik, dan Ade terlihat sedang menikmati perjalanan macet di pagi hari. Aku terus memikirkan cara bagaimana jalan mencapai terminal Cicaheum.
“Baru inget! Angkot ini mah nggak lewat perempatan Jakarta loh. Dia mah belok.” Memecah kesunyian di antara kami berempat.
“Terus gimana?” Tanya Atik.
“Gini aja paling. Kita berhenti disini, nyebrang, nanti jalan ke Ahmad Yani. Terus naik angkot DU-Panghegar. Gimana?”
“Oke!” mereka bertiga setuju. Kami turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan menuju Jalan Ahmad Yani yang lalu naik angkot DU-Panghegar.

Tidak sampai satu jam, kami sudah menginjakkan kaki di terminal Cicaheum. “Itu bis Budiman!” Teriak Atik. Kami mulai mempercepat langkah menuju bis. Ada dua bis yang sedang asik di parkiran terminal. Yang paling depan adalah bis ekonomi non-AC. Ongkos sampai ke Pangandaran dengan bis tersebut adalah Rp35.000, sedang kalau yang AC hanya Rp40.000. Memingat perjalanan tujuh jam yang akan kami tempuh, kami memutuskan untuk naik bis AC yang masih kosong. Aku kembali melirik jam tangan. Waktu menunjukkan pukul 08.05 WIB. Karena sudah siang dan bis AC belum penuh, kami memutuskan untuk naik bis non-AC yang sudah lumayan penuh. Akhirnya. Semalam kami tidur cukup larut. Alhasil, baru juga nempel dengan sandaran jok, kami sudah mengantuk. Hanya aku dan Atik tepatnya. Hana dan Ade masih menikmati suasana panas dalam bis. Meski tak berapa lama Ade menyusul kami berdua. Larut dalam dunia mimpi.

Perjalanan semakin mencekam. Jalan yang berlika-liku membuat kepala dan perut dikocok-kocok dalam waktu bersamaan. Aku terus bersuara dalam hati, “Nggak mabok. Kuat. Nggak mabok. Kuat.” Sedang Ade wajahnya sudah pucat. Dia tidak kuat. Perutnya tidak bias diajak kompromi. Kuberikan sebuah minyak angin dengan wangi terapi.
Menghindari lika-liku yang semakin memualkan perut, aku memilih tertidur. Semoga terlelap dan melupakan mual yang sedari tadi menyerang. Tepat pukul 11.30 WIB, bis berhenti di sebuah tempat peristirahatan. Ada tempat oleh-oleh di samping tempat makannya. Kami berempat dirundung kebingungan. Dengan melawan rasa malu, aku mulai bertanya pada seorang penumpang.
“Pak. Ini mau ngapain ya?” Tanyaku memoloskan wajah.
“Ya terserah neng. Mau makan, ke kamar mandi, atau sholat… silahkan aja.” Jawab seorang Bapak-bapak berbaju hitam agak ketus.
“Lama sih nggak, Pak?” Tanyaku lagi dengan cerewet.
“Lumayan lama kok.”
“Yaudah. Kita turun aja yuk!”Ajakku. Dengan PD-nya kami berempat turun. Atik menuju toilet. Dan kami bertiga mencari bakso. Akhirnya ketemu. “Mba, baksonya empat ya.” Pintaku. Sebelum makan, kami mengambil beberapa dokumentasi sebagai kenangan.
Tiba-tiba…
‘Tin Tin…’ klakson bis berbunyi.
Ternyata bis dan penumpang lain sudah menunggu. Oh tidak. Bakso belum habis. Segera kami memacu mulut. Mengunyah lebih cepat. Takut bis meninggalkan kami. Kami berjalan agak cepat. Atik dan Hana membayar makanannya lebih dulu. “Saya beli beng-beng ya, Teh.” Teriak Atik sambil melempar satu lembar Rp2.000 yang lalu naik ke bis. Selesai aku dan Ade membayar makanan kami.
Mbak penjaga kasir bertanya, “Ini uang siapa?” Sambil mengangkat uang Rp2.000. Kami berdua sama sekali tidak sadar kalau uang itu adalah uang Atik. Mbak penjaga kasir memberi uang itu padaku, “Uang temennya kali.” Dengan polos aku mengambil uang itu.
Di dalam bis…
“Mpok. Ini uang mpok bukan?” Tanyaku pada Atik.
“Lah kan aku beli beng-beng, pan.”
Kami tertawa. “Yaudah nanti diinfakin aja deh, mpok.” Saran Ade.
Atik menyetujuinya. Perjalanan dilanjutkan. Kami melanjutkan tidur. Kali ini Hana pun tertidur.

“Lampu merah!” Teriak kondektur. Kami memang berpesan untuk berhenti di Lampu merah sebelum terminal Pangandaran. Dengan sempoyongan (baru bangun tidur) kami turun di lampu merah. Tukang becak sudah menghampiri. Kata mama Hana, untuk mencapai penginapan harus naik becak.
Terjadilah transaksi tawar-menawar. Sang abang becak bersikukuh menawarkan Rp20.000 per becaknya. Sedangkan kami menawar hanya Rp10.000. Akhirnya kami naikkan menjadi Rp15.000. “Yaudah. 15.000 nggak usah bayar tiket, neng.” Kata abang becak.
Otak yang masih menunggu segar mulai bertanya dalam hati, “Emang tiket apaan ya?” Deal dengan abang becak! Akhirnya dengan dua becak; aku sama Ade dam becak satu lagi diisi oleh Atik dan Hana. Ternyata kami dikerjai. Untuk masuk ke wilayah penginapan itu tidak perlu bayar tiket apa-apa. Jadi hati-hati bagi pendatang yang sangat baru.
Setelah becak terus diayuh mendekat pantai, kami berhenti di salah satu penginapan. Pondok Asri. Penginapannya memang tidak pas menghadap pantai. Tapi sangat dekat dengan pantai. Lagipula. Kami memang mencari penginapan murah yang cocok dengan kantong backpacker seperti kami.Lagi-lagi terjadi transaksi. Sang ibu yang empunya penginapan bersikukuh memberikan harga Rp200.000 untuk kamar yang cukup 4 orang. Tetapi kami menawar Rp150.000…setelah bercuap-cuap dan terakhir kami membatalkan untuk memesan kamar disitu, sang tukang becak yang menawarkan penginapan kami tersebut memanggil kami lagi.
“Yaudah, neng. Kata ibunya Rp150.000 buat berempat.”
Kami masuk ke kamar. Kamarnya sangat luas. Double beds. Bahkan tempat tidur yang satu bisa ditiduri tiga orang. Ada televisi, kipas angin, kamar mandi di dalam, dispenser, dan AC yang tidak bisa kami nyalakan karena pernjanjiannya Rp150.000 tanpa AC.
Kami menunaikan kewajiban yang tertunda karena perjalanan jauh. Dan menyegerakan istirahat. Berbaring di tempat masing-masing. Menunggu sunshine datang.

Aku dan Ade sedang makan bakso pake mie. ditemani es jeruk untuk menyegarkan dahaga yang sudah bermual lama.

mpok Atik juga pengen narsis loh

Hana yang biasanya makan lambat, tiba-tiba jadi cepat setelah bis membunyikan klaksonnya.

Senin, 24 Oktober 2011

Berpetualang di Kota Tua

memeluk panasnya Kota Metropolitan bukanlah hal yang menyebalkan! justru sangat menyenangkan. kisah ketinggalan kereta lalu mengejarnya hingga degupan bertambah kencang namun gagal, beralih menjadi sepotong es dan gelak tawa di Kota Tua bersama kedua orang penting dalam hidupku. Ya... Saudari kembarku -Vina- and a good man -Nanda Iqbal Ibrahim- Yeah!!!

memang sejak beberapa waktu lalu kami merencanakan untuk berjalan-jalan di Jakarta. tapi Sabtu pagi, rencana itu hampir saja aku batalkan karena satu dan lain hal. karena bosan tidak pergi kemana-mana... akhirnya kami putuskan untuk jalan ke Kota Tua dengan menggunakan Trans Jakarta.
ternyata eh ternyata ... itu kali keduanya Nanda Iqbal Ibrahim naik Trans Jakarta setelah Jumat malam utemani mencicipi Trans Jakarta yang pertama kalinya. padahal asli Jakarta loh. hihi

setelah lama punya rencana main ke Museum Mandiri, akhirnya kesampaian juga

ini di Banker Museum Bank Mandiri

ambil uang di ATM jadul aaah... Loh? kok yang keluar Rp2000 baru? :D

lomba ngetik pake Mavis (sekedar info : mavis itu aplikasi buat bisa ngetik 10 jari loh)

mesin mesin di dinding... diam diam merayap
ada kejadian unik sewaktu ambil foto di bagian tempat mesin-mesin tik ini :
karena tas harus dititipkan, maka aku hanya menenteng dompet dan HP. selesai berkeliling, sekitar 1 jam (mungkin), adzan sudah berkumandang, kami pergi ke mushola untuk menunaikan kewajiban. sesampainya di mushola...
"Na! dompet aku kemana ya?" tanyaku
"Coba tanya Iqbal!"
kulihat Iqbal sudah mulai sholat. ia tidak memegang apapun. termasuk dompetku. dompet kesayangan dari orang tersayang. kepanikan langsung naik sampai ubun-ubun. aku langsung berlari mencoba ke tempat mesin tik tadi, tapi karena jalan yang dilalui agak sulit, aku jadi takut dan memutuskan untuk kembali ke mushola. menunggu Iqbal dan Na sholat.
"Dompet aku ketinggalan." ucapku pada Iqbal dengan nada datar (kata Iqbal)
"Dimana?" tanyanya panik
"Kayaknya di tempat mesin tik tadi deh." Iqbal segera berlari. seketika kepanikan yang menggunung terus meredam. aku percaya pada Iqbal. semua akan baik2 saja.
tidak berapa lama, Iqbal mengabarkan bahwa aku harus segera ke tempat satpam. dompetnya ketemu!!! senangku setelah dompet levis cokelat itu sudah kugenggam. sekali kugenggam tidak akan kulepas lagi. kecerobohan yang mengagetkan namun tetap memberi warna.

di depan pintu salah satu ruangan di Museum Mandiri

museum wayang, fatahillah, dan museum lainnya...

di depan makam (siapa ya?)

hey! kalian ngintipin siapa tuh?


nyobain telepon kuno

perjalanan pulang. Iqbal terlihat menikmati perjalanan dengan Trans Jakarta. setelah itu, tujuan selanjutnya adalah Kosan teteh :)


Rabu, 19 Oktober 2011

Pengen Nyebur di Curug Cimahi

perjalanan kami terjadi hari Kamis minggu lalu, lupa tanggal tepatnya
awalnya mau ke CIC, tapi karena bosan. aku putar haluan.
entah sejak kapan kami menjagi "curug hunter"
senangnya berwisata dari satu curug ke curug berikutnya.

curug yang kami datangi adalah curug Cimahi kali ini. sebelumnya, iseng mencari beberapa curug terdekat dengan kota Bandung. alhasil nama bermacam curug di daerah lain pun muncul. tadinya pengen ke curug Penganten. tapi... nanti ajalah.

perjalanan menuju Curug Cimahi tidak jauh dari pintu masuk Villa Istana Bunga. sekitar 2 km mungkin. tidak perlu belak-belok. cukup ikuti saja jalan utamanya. nanti gerbang curug akan tidak terlihat. :D
maksudnya setelah 2 km, akan ada sebuah pintu masuk (yang tidak nyangka pintu masuk ke kawasan wisata curug Cimahi). Kami sempat melewati gerbang curug. karena pintu masuknya cukup kecil dan tidak begitu mencolok.
setelah memarkirkan motor, kami langsung menyambar pintu masuk curug. tiket masuknya Rp10.000. sangat sesuai dengan kondisi jalan yang sudah bagus dan nuansa alam indah yang didapat.
kami masuk ke gerbang, melewati pintu. harus menempuh perjalan 500 m untuk bisa mencapai curug. jalannya bagus. sudah dipasang pavin block. karena jalannya turunan, kami tidak merasa lelah. sekitar 250 m ada saung kecil untuk beristirahat. meluruskan kaki yang mulai pegal. dari saung pertama ini, kami bisa melihat curug secara utuh. dari ujung tempat airnya jatuh hingga ketika air mengalir. orang-orang ramai sekali. ada yang berenang atau sekedar duduk merasakan angin yang merdeka.

kami melanjutkan perjalanan sisa. setelah sampai... subhanallah. pelangi akibat gabungan air dan cahaya matahari yang bertemu, sangat cantik. luar biasa. angin pun membuai kami.
ini dia hasil dokumentasinya...






Senin, 14 Februari 2011

surprise to Cieter

Malam 12 Februari 2011.

Keluarga 15 pergi ke Cieter. Beberapa hari sebelumnya, kupastikan untuk ikut ke Cieter. Tapi ternyata, ‘mestatakung’ (semesta tak mendukung). Ada kabar kalau Aa (kakak tertuaku), bapak, dan Vina (saudari kembarku) akan berangkat ke Bandung dari Jakarta dengan kereta pukul 20.45 WIB. “Waduh. Pasti dini hari nih nyampenya. Na terancam nggak ikut nih. Kalau Na nggak ikut, aku nggak mau ikut.” Pikirku dalam hati. Mereka tiba di rumah dini hari. Tepatnya memasuki tanggal 13 Februari 2011. Aku terbangun dan melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB. Setelah turun, kulihat aa sedang memasak mie kuah karena lapar. Wangi mienya menusuk hidungku. Hingga perutku meronta minta diisi mie yang sama. kumasak mie dan memulai perbincangan ramai dengan mama, aa, Vina, dan teteh (kakak keduaku). Bapak lagi sholat waktu itu. Dalam perbincangan Na memutuskan untuk tidak ikut ke Cieter karena keluarga sedang berkumpul. Alhasil, mama merencanakan untuk keluar. Mumpung keluarga ngumpul. So, I couldn’t go to Cieter with 15.

Tanggal 12 Februari 2011

Dengan sedih hati kukabarkan pada Alfath bahwa aku dan na tidak bisa ikut ke Cieter. Yang paling menyedihkan adalah aku batal berkunjung ke rumah Emak dan Bapak di Cieter. “Orang tua dan keluargaku lebih berhak atasku disini sekarang.”

Malam Tanggal 13 Februari 2011

Dari : alfath.

Kamu ada acara nggak besok? Jalan yu!

Dari : vani.

Ada. Pergi sama na. na mau cari sepatu. Emang mau jalan kemana?

Dari : alfath

Pengen ke gramed baru ke PVJ. Yaudah. Nanti anter na mah pas pulangnya aja. Takut nggak keburu.

Dari : vani

Yaudah deh kalo gitu. Emang mau kemana ko sampe nggak keburu segala?

Dari : alfath

Ke lembang aja deh yu!

Tanggal 13 Februari 2011

Tepat pukul 11.00 WIB kami pergi. Setelah alfath membelikan makan untuk neng yang ditinggal di rumah seorang diri, kami memulai perjalan bersama. Kami bertiga. Alfath melajukan mobil menuju Tol Buah Batu, “Kok lewat tol? Emang mau kemana?” Tanyaku.

“Mau lewat tol aja. Nanti keluar tol Pasteur.” Jawab alfath meyakinkan.

Karena mengantuk, aku pun tertidur. Dan terbangun tepat pukul 12.30 WIB. “Loh? Belum nyampe? Kok jauh amat? Emang ini lewat mana?” tanyaku linglung.

“Nye! Nye! Kayaknya gw asa familiar sama jalan ini deh.” Ucap na.

“Jangan-jangan kamu mau bawa ni ke Curug Malela lagi ya?” tanyaku curiga.

“Emang kalau mau ke lembang lewat mana gitu ni?” tanya Vina ragu.

“Lewat Setiabudhi. Terus lurus ke atas.” Jawabku.

“Lah? Emang cuma bisa lewat situ aja? Banyak jalan tau.” Bantah alfath

“Uda lewatin pasar belum, na? biasanya lewatin Pasar Lembang.” Tanyaku pada Vina.

“Belum. Ih… na kenal deh pom bensin ini!” teriak Vina sambil menunjuk pom bensin di sebelah kanan.

Tak berapa lama, setelah belokan ke kiri. Aku menemukan pasar, “Nah! Ini dia pasar.” Teriakku senang. Tapi di sebelah kiri jalan, kulihat ada papan bertuliskan CIWIDEY. “Loh kok ciwidey? Ini kita mau kemana?”

Alfath menghentikan mobil. “Kita mau ke Cieter, tuh ada Yomart. Mau beli apa buat orang sana?” tanya Alfath ringan. “Gih beli dulu!”.

I was shocked, nothing to stay. Berulang kali kutanya Alfath “Bener ini mau ke Cieter?” dan berulang kali juga Alfath menjawab, “Ya!” Dengan keterkejutan, kukelilingi Yomart. Mencari barang yang akan kubeli untuk Emak dan bapak disana. Finally, we have done. We continued our trip to Cieter.

Setibanya di rumah emak, kupeluk emak dengan hangat. Kami menangis melepas rindu. Meski saat Spiritual Work Camp SMA dulu aku cuma tinggal selama tiga hari, tapi emak sangat berarti bagiku. Aku sudah menganggap emak bagian dari hidupku. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan emak. Aku juga segera menciumi Wana (anak bungsu emak) yang berusia 4 tahun, dan Sani (kakak Wana) yang berusia 9 tahun. Letak pintu yang tadinya menghadap ke kiblat, kini berganti menghadap utara. Jamban yang ada di sebalah barat pun pindah ke utara. Belum lagi di tiap pintu ada dua buah papan yang sengaja dipasang menghalangi pintu. “Buat jaga-jaga. Takut Sani keluar dari ruang tengah.” Jawab emak waktu kutanya untuk apa papan-papan menempel di pintu.

Sani memang sudah lama sakit. Sani suka kejang-kejang. Ia tidak bisa bicara dan melihat seperti orang lain. Emak dan bapak sudah membawa Sani berobat ke puskesmas. Bahkan Sani pernah dibawa ke RSHS tapi dengan alasan (yang aku lupa), Sani tidak bisa diobati. Emak langsung menyibukkan diri. Memasak gehu dan menyediakan teh hangat untuk menyambut aku, Vina, dan Alfath. Kutemani emak di dapur yang tak banyak berubah sejak dua tahun kutinggalkan dulu. “10 bulan terakhir Sani udah nggak suka kejang-kejang, pani (sebenarnya namaku Vani). Tapi semalem, Sani kejang-kejang lagi. mungkin karena obatnya abis.” Ucap emak sambil merapikan kayu bakar untuk memasak gehu. Kulihat emak meneteskan air mata.

“Kapan bapak beli obat lagi, mak?” tanyaku.

“Mungkin sore. Sepulang dari kebon.” Jawab emak. Aku memang belum bertemu dengan bapak. Karena bapak dan Heri (anak kedua emak) pergi berkebun.

Setelah memakan beberapa gehu. Aku pamit pada anak perempuan emak untuk pergi ke rumah Pak Pandi (orang tua Vina di Cieter). Kebetulan emak pergi menyusul bapak ke kebun. Cukup lama kami di rumah Pak Pandi. Vina terlihat begitu canggung. Malu mungkin. Setelah selesai. Ibu dan bapak Vina memasukkan beberapa hasil kebun ke dalam kardus. Dan Acep (anak laki-laki Pak Pandi) membawanya ke mobil.

Sebelum pulang, aku mampir lagi ke rumah emak. Bapak dan Heri sudah pulang. Heri terlihat lebih dewasa kuat sekarang. Aku kagum dengan Heri. Seharusnya ia sekolah di SMP sekarang. tapi karena biaya sekolah mahal, emak dan bapak tidak mampu membiayainya, dan karena Sani harus tetap berobat, Heri tidak bisa bersekolah. Tapi kulihat, dia masih punya semangat untuk berkebun dengan bapak. Sungguh luar biasa. Setelah berkumpul, kami makan sore bersama. Aku rindu sekali suasana yang hangat dan menyenangkan di desa. Rindu canda tawa emak dan bapak. Bapak begitu akrab denganku.

Waktu sudah semakin sore. Setelah makan, kami berpamitan. Emak dan bapak memasukkan beberapa hasil kebun ke dalam kardus sebagai oleh-oleh untukku. “Kan udah dua tahun nggak kesini.” Ucap emak. Heri membawakan semua kardus itu ke dalam mobil. Alhasil, mobil Alfath jadi penuh. (maaf ya, fath :D)

Kulambaikan tangan sebagai tanda perpisahan kepada emak. Alhamdulillah. It was the greatest surprise that Alfath gave to me. Alfath menciptakan senyum kebahagiaan yang tiada habisnya di bibirku saat itu. I was so happy to meet them again. Kalau nggak kemaren, kapan lagi aku bisa ketemu keluargaku disana?

Alfath, when you love me, you don’t just tell me but you prove it! I see you always do everything to make me happy. Thank you so much. Thank you for being here, beside me.

Sabtu, 12 Februari 2011

WARUNG LAOS dan WARUNG LELA


our last Saturday Night, we went to Warung Laos and Wale. my vina and i met Jonathan at MCd Dago.
warung laos is one of the nice restaurant in Bandung. they have a beautiful place. we can see Bandung from there. it was so beautiful. it's not only about the view, but also about the menu. i like to order some food or may be dessert there. if you go there, don't forget to take picture yap! because it is wonderful place with fresh air.



e were at Wale, Dago. Vina-my twin sister bought a balloon for me. the balloon was like flower. i still put the balloon in my room. but the big flower to be smaller now. it's okay
in my right, he is Jonathan. my new friend.
we went to Wale with Adil too.


Jonathan introduced Warung Laos to me and my Vina. so... we didn't forget to take some pictures together.

it was my style. as usual, i wore my greatest wedges



YUMMY! those are what we ordered. we love ice cream. so we just ordered banana split, tutty fruity ice cream, and green tea. it's not only because of we love ice cream... but also we just wanted to eat some desserts. and have a dinner in Wale.