Ini
kisah seorang gadis yang hendak meninggalkan masa remajanya menuju masa
dewasanya. Bunga. Ya... namanya Bunga Zevalia Alamsyah.
Tepat di Februari 2014. Dokter salah satu RS Swasta Islam
di Jakarta, Dokter Johan, di ruang EMG, memvonismu mengidap spasmofilia. Sekilas tentang Spasmofilia. Spasmofilia adalah penyakit dimana terjadi
kejang atau keram pada otot akibat sebuah kelainan; elektrolit dalam tubuh
tidak seimbang karena tubuh tidak dapat menyerap kalsium dengan baik. Sehingga
kebutuhan kalsium dalam tubuh tidak dapat terpenuhi.
“Gimana hasilnya, dok?” Bunga memasuki ruang tes EMG
setelah menunggu 30 menit.
“Hasilnya positif, +3.” Dokter Johan menunjukkan kertas
hasil pemeriksaan tadi.
“Terus apa bisa sembuh, dok?”
“Karena ini kelainan, maka tidak bisa disembuhkan.”
Dokter menjawab pertanyaanmu dengan tegas dan lugas.
“Efeknya kenapa bisa ke kepala ya, dok? Apa hubungannya?
Kepala saya juga kan sering sakit kaya ditonjok-tonjok.”
“Ya ada dong. Kalau semua tubuh tegang, maka responnya
akan ke otak juga. Otak itu pusat seluruh tubuh. Jadi kalau yang dirasa sakit,
maka akan terus ke kepala. Nanti untuk konsultasi, ketemu dokter Vijal saja
ya.”
Dokter Vijal adalah dokter spesialis syaraf yang
merawatmu selama kamu menginap di RS. --Di akhir Januari, kamu masuk RS setelah
berjalan kaki dari Jalan Boulevard Barat Kelapa Gading menuju Jalan Emas. Kamu
mengeluh sakit kepala yang luar biasa. Lambat laun, kakimu mulai terasa kaku
dan tidak bisa digerakkan. Andi yang amarahnya sempat meninggi dan
meninggalkanmu berjalan kaki begitu jauh, akhirnya mau mengantarmu ke RS. Lima
hari dirawat, hasil CT Scan tidak memperlihatkan sesuatu yang berbahaya. Maka
dokter mengizinkanmu untuk rawat jalan. Dua minggu setelahnya kamu harus
kontrol dan di hari yang sama, dokter memintamu untuk tes EMG--
Kamu keluar ruang EMG dengan tatapan mata yang kosong dan
hampa, tidak tahu harus berbuat apa. Kamu hanya terus berjalan seorang diri.
SEORANG DIRI. Menelusuri lorong rumah sakit yang membawa langkahmu pada ruang
tunggu pasien. Kamu menangis dalam hati. “Andi? Kemana Andi?” Kamu bertanya
dalam hati. Kamu sedang butuh lengan untuk membantumu berdiri lalu berjalan.
Membantumu untuk yakin bahwa semua hanya omong kosong. “Kamu baik-baik saja,
sayang...” Satu kalimat yang ingin sekali kamu dengar. Itu saja. Kamu tidak
ingin apa-apa lagi. Tapi Andi tidak ada. Dianya pergi entah kemana.
Meninggalkanmu setelah pertengkaran satu jam yang lalu. Pertengkaran yang
terjadi karena dia memarahimu di depan umum. Kamu hanya duduk di kursi lalu
dengan gemetaran, kamu memencet sebuah nomor. “ha... ha... halo mam.” Suaramu begitu parau.
“Gimana sayang? Udah
keluar hasil tesnya?”
“Sudah, Ma. Hasilnya
positif, Ma. Hari Kamis aku ketemu dokter Vijal lagi. Mastiin.”
“Sementara apa kata
dokter EMG?”
“Nggak ada, Ma.
Katanya baik-baik aja.” Bunga berbohong. Kamu hanya tidak ingin
membuat orang tuamu cemas bukan? “Kamis
ini bisa temenin Bunga ketemu dokter Vijal, Ma?”
“Bisa, sayang. Kok suaranya gini? Bunga nangis?”
“Bisa, sayang. Kok suaranya gini? Bunga nangis?”
“Ma, Bunga minta
tolong telpon Andi dan bilang Bunga udah selesai. Tadi Andi ke kantor dulu
soalnya, Ma. Andi ada urusan.” Kamu juga tetap
menyembunyikan pertengkaran yang membuat Andi meninggalkanmu sendirian di RS.
Kamu menutup telpon dengan ibumu. Otakmu
terus berputar. Bertanya-tanya. Apa spasmofilia? Kenapa bisa? Kelainan gimana
maksudnya? Bahayakah?
Andi akhirnya menjemputmu dengan wajah
yang sama sekali tidak bersahabat. SAMA SEKALI TIDAK BERSAHABAT. Dia pun tidak
menanyakan hasil tes EMG tadi. “Aku mau balik ke kos aja. Aku nggak enak
badan.” Ucapmu.
Andi mengantarmu sampai depan gerbang
kos. “Kamu nggak apa-apa?” Akhirnya kalimat khawatir keluar dari mulutnya.
“A... Aku... aku positif spasmofilia.”
Jawabmu dengan tangis yang pecah.
Andi menatapmu tajam. Penuh cinta. “Itu
nggak bahaya kok. Kamu ketemu dokter kapan?”
“Kamis.”
“Aku anter ya.”
Ah! Hanya berkhayal. Andi sama sekali
tidak peduli. Kenyataan yang terjadi, dia menurunkanmu di depan gerbang tanpa
bertanya apapun. Tanpa peduli akan hasil tes yang baru saja kamu lakukan. Dia
meninggalkanmu begitu saja. Dengan kepedihan dan kesakitan yang tidak bisa dia
rasakan. Perhatian yang dia berikan waktu kamu dirawat di RS dua minggu lalu
tidak lagi kamu rasa. Mungkin dia masih marah.
Di atas kasur kamar kosmu, kamu mencari tahu apa itu
spasmofilia. Ternyata cukup banyak yang mengidap kelainan spasmofilia seperti yang
dokter bilang. Dan kelainan ini memang sulit untuk dapat dideteksi. Gejalanya
sangat biasa. Dulu sering sekali kamu merasakan pegal pada kaki dan tangan,
kadang juga sakit. Kamu pikir hanya masuk angin atau kelelahan, makanya kamu
sering sekali minta dipijit. Parahnya lagi, kelainan ini dapat menurun pada
anakmu nanti. Sedangkan cara penyembuhannya belum juga kamu temukan. Kamu mulai
benar-benar cemas dan khawatir. Terlebih memang ada artikel yang menyatakan
kalau kelaianan ini tidak dapat disembuhkan. Menurut ilmu kedokteran. Tapi ada satu cara untuk mengontrolnya agar
tidak menganggu aktivitasmu; kamu harus pandai mengontrol suasana hati dan
fisikmu. Jangan bekerja terlalu keras apalagi kalau sampai stres.
Frustasi sudah. Kamu semakin khawatir. Sangat khawatir
dengan “si istimewa” ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar