Perjalanan kalian selama 14 bulan
bukan hanya memakanan kenangan yang pahit memang. Harus kamu akui, Bunga. Kamu
belajar kekuatan mental, hati, dan pikiran dari seorang Andi. Kamu belajar
lebih mandiri, lebih sabar, dan lebih dewasa. Ya kenapa lebih mandiri? Kamu
lebih sering ditinggal-tinggal sekarang. Membuatmu harus bisa menangani segala
hal sendiri. Lebih sabar karena dia yang tempramen membuatmu harus lebih sabar.
Menjadi orang yang tidak reaktif. Lebih dewasa, right! Kamu harus lebih bisa mengatur pikiran dan hatimu.
Bersamanya kamu bisa merasakan
kembali jatuh cinta setelah hampir ya kurang lebih tiga tahun kamu tidak pernah
jatuh cinta. Janji-janjinya meski palsu,
bisa membangunkan angan-anganmu. Kamu mulai menata hidup. Memikirkan masa
depan. “Neng, abis nikah mau tinggal dimana?”
“Neng sih mau kita mandiri, a.
Tinggal terpisah dari orang tua aa dan neng. Tapi kalau neng boleh menyusun
masa depan nanti, neng mau rumahnya deket rumah mama mungil (begitu kamu
menyebut ibu Andi) dan papa aja.”
“Kenapa nggak deket rumah mama
bapak?”
“Ya kan mama dan papa neng kan jauh,
a. Mama papa deket.” Kamu tertawa.
“Kan bisa kita ngekos aja di
Jakartanya, sayang...”
“Gini loh, a. Aa anak pertama. Adik
aa cewek dan udah nikah. Pastinya ikut suami. Yang ngurus mama dan papa siapa
kalau bukan aa? Setelah menikah, mama papa juga jadi orang tua kandung neng.
Kewajiban neng juga mengurus mama papa. Neng juga berkewajiban mendukung aa
memenuhi kewajiban aa juga sebagai anak harus mengurus orang tua. Masa maunya
diurusin aja sama orang tua, a. Tapi nggak mau ngurus. Nah kalau kita tinggal
jauh dari orang tua, akan sulit bagi neng ngurus mama papa. Jadi lebih baik
tinggal deket sama mama papa. Biar neng bisa maksimal.”
“Subhanallah...
calon istri aa hatinya mulia banget udah solehah, cantik, pinter, bangga aa
sama kamu.”
“Nggak usah lebay, a. Dari dulu mama
selalu bilang sama teteh, cintai mertuamu seperti kamu mencintai mama dan papa.
Karena mertuamu juga orang tuamu. Gitu, a.”
------------------------------------
Kalian pernah pergi dengan bus tak
ber-AC. “Bisnya nggak ada yang AC, neng. Jadi nggak apa-apa ya naik bis ini.”
“Iya, a. Nggak apa-apa.” Cinta. Ya cinta
memang. Karena cinta tidak masalah harus panas-panas di dalam bus. Toh Jakarta-Tangerang tidaklah jauh.
Ada hal lain yang lebih mendebarkan
hati. Bertemu calon mertua. Hari itu kamu diajak bertemu dengan orang tua Andi.
“Nikmatin aja dulu prosesnya ya, Neng.” Ucapnya pelan dan lembut.
“Iya, a. Neng yakin cuma sementara.
Nanti malah kita merindukan masa-masa kayak gini. Makan di warteg
bareng-bareng, naik bis kepanasan, jalan kaki jauh-jauh. Beuh. Nikmat, a.”
Kurang lebih dua jam di perjalanan.
Bus berhenti setelah melewati Mall Lippo Karawaci. “Siap-siap, neng. Kita mau
turun.” Andi menarik tanganku denga hangat.
“Nanti kemana lagi, a.” Kamu menarik
tangan dari genggamannya.
Andi mengarahkanmu untuk menaiki
angkutan kota berwarna kuning. Kamu kenal betul daerah itu. Ada sekolah bernama
Islamic Village. Sekolah swasta islam dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Kakak
perempuanmu, Berlian, pernah bersekolah SMA di situ. Lalu lintas cukup padat.
Banyak angkutan kota yang berhenti sembarangan. Menaik dan menurunkan
penumpang. Jalannya pun tidak terlalu lebar. Hanya cukup dua mobil. Kami turun di sebuah pasar. Ah aku lupa apa nama pasar itu. Kamu pun
juga sudah tidak ingat lagi.
“Disini, a?”
“Iya, neng. Aa kalau anter mama ke
pasar ya ke pasar sini. Dari sini kita masih jalan kaki lagi. Nggak
apa-apakan?”
“Ya nggak apa-apalah, a. Aa kan
tahu, neng seneng jalan orangnya.”
“Iya, makanya aa sayang sama kamu.
Kamu bisa banget diajak sederhana.” Andi mengusap kepalamu.
Masa yang sangat manis. Kamu
mengenakan kerudung berwarna ungu muda, dress selutut berwarna senada dengan
kerudung. Cardigan abu-abu. Sepatu
putih dengan kaos kaki warna kulit. Celana jeans yang kamu kenakan juga sepadan
dengan dress ungu. Kamu cukup berhasil dalam memilih kostum, kamu cukup nyaman
dengan pakaian yang kamu kenakan. Kenyamanan membuatmu percaya diri untuk
tampil bertemu dengan mertua. Andi pernah mengatakan padamu, bahwa ayahnya
sangat tegas. Tidak sungkan-sungkan menyatakan apa yang Beliau suka dan tidak
suka. Berbalik dengan ibunya yang sangat hangat, terbuka, baik, dan luar biasa.
“Neng, rumah aa nggak besar ya.
Atapnya aja masih seng.” Sampai menuju rumahnya pun kamu masih belum tahu apa
pekerjaan ayah dan ibunya. Andi tidak ingin menceritakan apapun tentang
keluarganya padamu.
“Atuh rumah neng juga nggak besar,
a.”
“Aa minder pas kemaren ke Bandung,
rumah neng besar. Aa udah yakin aja kalau bapak neng pasti orang kaya. Mana
bisa aa kasih makan anak orang kaya.”
Aku menatapnya lurus.
Akhirnya kalian masuk ke sebuah
pagar besi berwarna hijau. Kamu terdiam. Membiarkan Andi membuka pagar besi.
“Assalamualaikum.” Dia bersalam.
“Eh ada om Aa tuh!” Seorang wanita
yang usianya berkisar 27 tahun keluar dari rumah. Menyalami tangan Andi. Dia
menggendong seorang anak laki-laki yang masih berusia satu tahun.
Anak laki-laki itu memaksa digendong
oleh Andi. “Apa jangan-jangan dia sudah berkeluarga?” Tanyamu dalam hati. “Cit,
kenalin, ini Bunga.” Andi menggubris kehadiranmu.
“Cita.”
“Bunga.” Kamu menjabat tangannya.
Cita adalah adik perempuan Andi
satu-satunya. Dan anak laki-laki yang tadi digendong oleh Andi adalah anak
Cita. Usia Cita dan Andi hanya terpaut satu tahun. Cita memutuskan untuk
menikah dan membangun keluarga kecil bahagia. Kini Cita tinggal di rumah orang
tuanya yang juga menjadi orang tua Andi.
Cita terlalu cuek. Kamu hanya
sendirian di ruang tamu. Sedang Andi tengah asik bermain dengan keponakannya. Mereka
terlihat begitu menyayangi satu sama lain. Akrab dan hangat. Kamu duduk di sofa
berwarna emas. Menatap sekeliling. Mencoba mencari tahu informasi tentang
keluarganya. Ada lemari berisi guci, keramik, dan kristal. Bukan hanya itu, ada
juga boneka-boneka yang dibawahnya ada nama sebuah negara. Ya. Itu adalah
oleh-oleh dari berbagai negara. Satu benda yang menarik perhatianmu; sebuah
foto seorang pria berseragam putih mendamping Gubernur DKI kala itu, Bapak
Sutiyoso. Badannya tegap, tinggi, dan gagah bukan main. Sekalipun kulitnya
tidak terlalu cerah.
Jantungmu berdegup kencang seketika.
Ternyata papa mama Andi sudah datang. “Assalamualaikum!” mamanya melangkah
masuk. Kamu berdiri menyambutnya di dekat pintu. Menyalami tangannya yang
mungil. Mamanya begitu cantik. Tubuh mungilnya membuatnya terlihat lebih muda
dari umur aslinya. “Eh ini neng Bunga ya?”
“Iya, ma.”
“Aa udah cerita. Mama ganti baju
dulu ya, neng.”
Tidak berapa lama papanya masuk
rumah. Kamu menyalami. Papanya berbadan tegap. Ah persis sekali dengan foto
yang tadi terpajang di meja. Foto yang kamu amati dalam-dalam. Papanya cuek
sekali. “Ya ya ya. Silahkan duduk.” Langsung saja papanya masuk ke ruang tengah
dan bersantai sambil menghisap sebatang rokok.
Andi datang menghampirimu. “Maaf ya,
neng. Mama sama papa capek tadi. Jadi belum bisa nemenin. Nanti mama keluar
kok.” Andi tiba-tiba tersenyum.
“Iya nggak apa-apa atuh, a. Aa
kenapa senyum gitu?”
“Nggak apa-apa, sayang. Kata mama
kamu cantik dan modis.”
“Neng... apa kabar?” Mama keluar dan
menyapaku.
Andi meninggalkan kalian berdua. Mamanya
begitu hangat. Welcome. Beliau cerita
banyak hal. Lebih banyak tentang Andi memang. Jangan-jangan kamu rindu ya
sekarang? Ayolah... ini cuma mengenang masa lalu. Jangan dulu rindu.
Kamu lebih banyak tersenyum. Dan apa
adanya. Ya. Apa adanya. Itulah yang komentar dari mama Andi kepada Andi. Beliau
bilang, “Sejak pertama mama melihatnya, mama sudah jatuh hati padanya, a.
Orangnya baik, modis, cantik, dan kelihatan banget pinternya.”
“Terus aa komen apa?”
“Iya, aa bilang.. nggak sabar buat
nikahin kamu.”
Kalian berjalan menuju pasar.
Mencari taksi untuk mengantarmu pulang ke daerah Cempaka Mas. Ya. Saat itu kamu
tinggal di kos yang berlokasi di belakang Cempaka Mas. Dekat dari kantor.
Tinggal satu kali naik angkot. “Aa ini bener naik taksi? Mahal loh.”
“Aa nggak tega sayang. Kamu harus
kehujanan naik turun bis.” Andi tersenyum. Untuk pertama kalinya dia
menggenggam tanganmu. Wajahmu memerah malu. Enggan pula untuk menarik tangan
dari genggaman yang begitu erat. Meski perlahan kamu menariknya. Andi hanya
tersenyum melihat kelakukanmu. “Nanti setelah menikah, aa boleh pegang tangan
kamu kapanpun ya.” Lagi-lagi kamu hanya tersipu.
“A, mama papa gimana tanggapannya?”
“Alhamdulillah mama papa setuju aja. Makasih ya buat hari
ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar