Selama sebulan
sudah kamu mengkonsumsi obat kalsium. Namun tidak ada perubahan yang
signifikan. Semua anggota keluargamu sudah lelah memintamu berobat alternatif
ke Kang Ujang bahkan sampai keluar dari pekerjaanmu yang sekarang.
“Kenapa nggak mau
berobat ke Kang Ujang?” Mama bertanya dengan nada yang marah.
“Mama kan tahu,
dulu waktu Bunga ngilangin kista itu pake herbal dari Kang Ujang. Bunga
kesakitan bukan main sampe nggak bisa sekolahkan?”
“Ya itu karena
memang racun dari badan Bunga. Bukan efek samping.”
“Ya tapi Bunga
nggak mau, ma. Bunga kan harus kerja setiap hari. Nanti kalo setiap pagi
kesakitan gimana? Bunga nggak enaklah harus sakit-sakitan terus.”
“Kalo gitu mama
minta Bunga berhenti kerja aja.”
“Ma, Bunga banyak
kebutuhan setiap bulannya. Bunga nggak enaklah kalau harus minta mama dan papa.
Belum lagi Bunga udah terbiasa pegang gaji tiap bulan.”
“Baiklah. Mama
nyerah. Gimana Bunga aja. Mama mau nginep di kos Bunga beberapa malam besok.
Kalau memang Bunga sudah lebih baik, mama nggak akan paksa Bunga ke Kang Ujang
lagi.”
Kamu menyetujui
perjanjian tanpa diatas kertas yang mama tawarkan.
-------------------------------------
Maret.
Andi sudah mulai
pendidikan di Bogor. Dia selalu bilang, “2014 ini tahun kita, Neng. Jadi kamu
harus sembuh dan sukses dalam karir.” Aku sempat bahagia mendengar doanya.
“Ya, Aa. Selamat
ya udah keterima di Depdagri.”
“Pokoknya
sayang... kita bakal nikah kalau kamu diterima di BI.”
Ucapan Andi membangunkanmu
dari tidur panjang yang tidak berkesudahan. Seperti disambar ratusan panah
petir. Sungguh mengecewakan. Dengan tatapan tajam mencerminkan sakitnya hatimu,
kamu mengatakan padanya, “A. Kalaupun neng nanti keterima di BI, neng nggak
bakal nikah sama Aa.”
Cinta meluluhkan amarah seorang Andi. Setiap
kali dia memarahimu sembari melotot, meninggalkanmu di jalanan, dia selalu
kembali memohon maaf. Kamu pun terlalu mencintainya. Entah terlalu cinta atau
bodoh! Kamu selalu memaafkan salahnya. Kamu selalu berpikiran kalau dia hanya
perlu dituruti. Maunya apa harus selalu kamu yang mengalah. Kamu lupa, kalau
kamu juga manusia. Sungguh kesabaranmu laksana malaikat. Ucapannya kali ini,
menghancurkan hatimu sampai-sampai kamu sendiri tidak tahu lagi harus bertahan
hidup dengan hati yang mana.
“Kenapa neng?”
“Karena aa nggak
mau terima neng apa adanya. Aa terlalu berorientasi pada dunia. Aa lupa bahwa Allah menjanjikan rezeki yang tidak pernah
habis sampai tujuh turunan kalau aa menjadi suami yang bertaqwa. Kalau kita
menjadi keluarga yang berada dalam ridho-NYA. Neng nggak pernah khawatir
Allah mengingkari janji-Nya.” Hanya berucap dalam hati. Mulutmu seolah masih
membeku. Kamu selalu takut mengatakan apa yang kamu yakini.
Cukup matamu saja
yang mengatakan bahwa hatimu benar-benar sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar