Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Oktober 2011

tidur dalam damai

aku berjalan sedikit terburu-buru menuju ruang UKM.
pintunya terbuka. kuintip sedikit. dari jauh kulihat sebuah kepala sedang terbaring. aku terus mendekat.
ternyata dia.
aku diam. tidak berani membuat keributan sedikitpun. aku takut membangunkannya. dia tertidur dalam damai. damai sekali. tidak ada beban sedikitpun yang tersirat di wajah damainya.
yah...
dia memang tidur dalam damai

Kamis, 07 Juli 2011

Perbincangan Malam Lalu

Malam sebelum mama pulang ke Rangkasbitung...

“Mama... Udah tenang aja. Ni bisa bikin sendiri kok. Ni kan bukan anak kecil lagi. Mama jangan terlalu khawatir.”

“Iya gitu? Bukan anak kecil lagi? emang umur Ni berapa?” Tanya mama menggoda.

“Agustus nanti kan 20, mam...”

“Tapi kok kalo makan masih mau disuapin sama mama?”

zzzzzzzzzzz

“Ni, kok makannya sedikit?” Tanya mama lagi sambil melihat nasi di atas piring biru kesukaanku.

“Nggak nafsu makan, ma.”

“Tuh. Mama nggak mau Ni sakit. Emang lagi ada pikiran apa? Udah. Kondisi bapak kayak gini nggak usah dipikirin. Yang penting Ni kuliah yang bener. Mandiri.”

“Nggak mikirin kok, mam. Sekarang Ni emang fokus kuliah, mam. Nggak mikirin pengen cepet nikah, mam. hehehe.”

“Pujing kamu mah kalo banyak pikiran suka sakit. Jangan sampe kaya kemaren. Masuk RS gara-gara beban pikiran. Ke jantung juga kan jadinya.”

Deg! jantungku langsung berdegup. “Dari mana mama tahu ‘beban pikiran’ itu?” Tanyaku dalam hati.

“Teranglah mama tahu. Mama yang ngandung. Mama yang ngelahirin. Mama yang besarin. Kenapa nggak mau cerita sama mama?”

“Takut mama anggep dia jelek.” Jawabku singkat.

“Dengerin mama ya, Ni. Jangan pernah kamu nangis gara-gara lelaki. Apalagi sakit. Kecuali kalo dia suami kamu. Itu baru boleh. Laki-laki yang baik itu, bakal ngejaga omongannya ke kamu. bakal juga ngejaga kesetiaannya ma kamu. semua itu bentuk penghargaan dia ke kamu.”

“Siap, ma!!” Sambil hormat. Mama geleng-geleng kepala.

“Ni, mama nggak pernah ngelarang Ni deket sama siapapun. Soalnya, mama mau Ni seneng. Nggak ngerasa dipaksa sama mama. Tapi Ni harus cari laki-laki yang cuma cinta sama Ni aja, tapi juga cinta sama keluarga Ni. Suami yang bisa ngebimbing Ni dunia-akhirat, suami yang bisa ngehargain Ni, suami yang bisa penuhin kebutuhan Ni.”

“Lah mama? kenapa ngomong kayak gini?”

“Nggak. Tiba-tiba aja mama keingetan Na nanya gini, “mam. kalo setelah lulus kuliah ni langsung nikah boleh ga?” Ya mama kaget dong.”

GUBRAK! tuh anak satu!

“Mama kan jadi ngerasa kayaknya harus ngomong kayak gini sama Ni.”

“Mama tenang aja ya. target ni nikah 23 kok. Jadi tahun depan ni lulus, ni langsung kerja, beliin mama bapak rumah patungan sama yang lain, baru entar ni nikah.”

“Iya. Mama tahu. Ni, tahu nggak? kalo udah tua itu pengennya deket anak aja loh. Mama mah pengen ni tetep di Bandung atau nggak masih di pulau Jawa deh setelah nikah. Kalo mama udah tua, mama cuma bisa bertumpu sama anak.” Pembicaraan mama mulai menjurus.

“Mama. Jangan pikirin aneh-aneh deh. Mama tenang ya... Kalo ni punya uang banyak, ni bakal beli rumah pas di samping rumah mama. Jadi kalaupun Ni nggak di Bandung, Ni bakal sering main ke tempat mama. kan rumah Ni deket rumah mama.”

Mama diam. Kulihat mata mama berkaca-kaca. Aku tahu betul. Berbagai hal yang dialami belakangan ini, membuat mama terlihat jauh lebih tua dan rentan. Aku melanjutkan makan malam yang tertunda.

“Mama kenapa?”

“Nggak apa-apa Ni. Mama cuma mau semua anak mama dapet yang terbaik aja. Mama nggak mau anak mama susah. mau beli ini, susah. mau jajan aja, susah. mama nggak mau. mama sama bapak nggak bisa kasih apa-apa. Cuma bisa kasih ilmu. itu pun nggak seberapa.”

dengan sadar, aku meneteskan air mata.

“Mama tenang ya. apa yang mama bapak kasih itu lebih dari cukup. Ni mohon doa dari mama ya. Biar kuliah ni lancar, ni bisa lulus cepet, dapet kerja, biayain kuliah epang juga, dapet suami yang sayang sama mama bapak dan semua keluarga ni. Ni mohon doa aja ya, ma.”

mama segera menyeka air matanya.

malam haru yang penuh air mata di atas meja makan.

Selasa, 29 Maret 2011

"Taaruf Dadakan? it must be a joke"

“Hua… aku kesiangan!!” risuh Alea dalam hati sambil berlari menuju lift. “Eh teteh.” Sapanya pada asisten dosen marketing.

“Hey!” Balas gadis jelita berkerudung creamy itu. “Hari ini Bapak nggak masuk. Nanti buat materi ada di foto kopian ya. Nggak ada tugas juga ko.”

Netnew! Seolah disambar petir. Alea jadi marah dalam hati, “Tau gitu nggak usah lari-lari.”

“Dosennya nggak masuk…!!” Teriak Alea pada teman-teman yang sudah menunggu dalam kelas setelah mengucapkan salam dengan lembut.

“Serius, lea? Ada tugas nggak? Materi gimana?” Tanya Via teman satu kelompok Alea.

“Iya nggak ada. Tugas juga nggak ada. Eh pengumuman! Buat materi boleh diambil di foto kopian.”

Kelas langsung ricuh. Banyak yang menyesalkan ketidak hadiran dosen pagi itu. Alea langsung merapikan kursi dan siap duduk. “Loh? Nggak pulang, Alea?” Tanya Fitri.

“Tar ah. Aku mau chat dulu sama temen. Mau nanyain tentang games gitu. Ada tugas nih.”

“Yaudah, kami duluan ya.” Teriak Fitri dan Via bersamaan.

Tak berapa lama, Alea pun siap untuk Online. Dia masuk ke Yahoo Messenger. Mata Alea melirik ke atas dan ke bawah mencari satu nama, Witz. Teman yang akan ia interview seputar games yang pernah Witz buat.

Alea : Witz. Mau ganggu dongs.

Witz : boleh, Lea.

Karena Witz nonmuslim, maka Alea tidak mengucap salam terlebih dulu. Perbincangan seputar games pun dimulai. Alea dibuat pusing tujuh keliling karenanya.

BUZZ

Tiba-tiba masuk salah satu chat dari teman lama Alea. Teman yang sudah lama tidak pernah bersua. Sebut saja namanya Hilman. Percakapan pun dimulai. Dimulai dari pertanyaan, “Apa kabar, Alea?” simple question.

Sudah hampir 30 menit Alea chat dengan Witz dan Hilman. Dan setelah 30 menit itulah tiba-tiba…

Hilman : iya nih. Aku lagi cari istri, Lea. Caranya gimana ya, Lea?

Alea : caranya ya kalau mau dapetin yang terbaik harus tingkatin kualitas diri terbaik dulu dong, man. kita harus mencintai seseorang karena keimanannya. Dengan begitu, keimanan kita juga akan bertambah.

Hilman : kamu uda nemuin iman yang kamu cintai belum?

Alea : insyaAllah udah, :D

Hilman : jadi kamu juga cinta aku?

Alea : sesama muslim bersaudara… jadi harus saling mencintai. Dan kamu saudara aku. J

Hilman : kalau gitu, aku mencintai kamu seperti muslim yang mau taarufan

Alea : maksud kamu? Jangan main-main hilman. Taaruf itu bukan mainan.

Hilman : pacaran itu Cuma bahasa gaul dari taaruf

Alea : nggak. Taaruf itu sampe ke walimahan maksimal 3 bulan.

Hilman : siapa yang main-main?

Alea terdiam sejenak. Ia tengah berpikir kalimat apa yang harus ia lontarkan.

Alea : wah. Hahaha.kamu lagi error ya? Apa karena ini masih pagi?

Hilman : kamu kali ya

Alea : yaudah. Aku anggep kamu nggak ngomong apa-apa ya. Aku off dulu. Bye. Assalamualaikum.

Percakapan selesai. Alea terdiam. Wajahnya memerah. “Taaruf dadakan?” tanyanya dalam hati.

Sabtu, 30 Oktober 2010

MID (4)

Hari ini aktivitas Laras seperti biasa. Bangun, sholat, sarapan, pergi ke kampus, dan pulang. Tetapi ada hal lucu yang menarik. Tingkat semangat Laras benar-benar memuncak. Tidak seperti biasanya. Sepulang kuliah, dengan santai ia menarik gas motor. Ketika lampu merah, seorang pria berteriak padanya, “Sayang! Hati-hati di jalan ya…” Laras tersenyum mendengarnya. Bukan karena ia mengenal orang itu, tetapi justru karena ia tidak mengenalnya.

Motor yang ditumpanginya terus melaju. Ketika melalui mesjid Istiqomah, sebuah mobil katana berhenti, mengizinkannya untuk menyebrang. Laras melihat seseorang dalam mobil katana. Seorang pria tersenyum manis penuh keramahan dan TAMPAN. Laras terpesona seketika. Tiba-tiba ia cengingisan. Seperti gadis yang tengah jatuh cinta pada pandangan pertama. itu hanya gurauan.

Sesampainya di rumah. Laras segera masuk kamar. Ia berdiri di depan cermin. Dan teringat perbincangannya dengan Ibu seminggu yang lalu di ruang makan.

“Nak, apa yang membuatmu tertarik sama Haris?” Tanya ibu.

Laras kaget karena ibu menanyakan hal yang membuatnya tersipu malu. Haris adalah senior Laras sewaktu di SMA. Kedekatan Laras dengan Haris didefinisikan lain oleh sang ibu.

“Laras nggak tertarik sama Haris kok, bu.” Bantah laras sambil tertunduk.

“Oh… gitu…” ibu diam berlagak tidak tahu apa-apa

“Sejauh ini ya, bu. Laras senang dan nyaman bertukar pikiran dengan Haris. Haris selalu bisa menjadi teman sharing baik. bukan Cuma itu, bu… Haris selalu pergi ke masjid untuk menunaikan solat subuh. Menurut Pak Ustadz, itu salah satu indikasi pria bertaqwa. Laras sih Cuma mau suami bertaqwa, bu.”

“Ia… tapi bukan itu saja yang harus kamu perhitungkan, Nak. Seorang pria juga punya tanggung jawab untuk menghidupi istrinya. Jadi kamu juga harus cari suami yang berpotensi menghidupimu lahir dan batin. Dunia dan akhirat.” Nasehat ibu.

“Ia, bu. Pasti itu mah. Rasulullah juga mengizinkan kita sebagai wanita mencari pria yang mapan kok. Tapi, bu. Haris itu orangnya kadang selalu serius. Semua gurauan Laras dianggapnya serius. Kadang kami juga mempeributkan masalah-masalah kecil.”

“Emang kamu kira bapakmu ini bisa diajak bercanda, Nak?”

Laras dan ibunya tertawa terkikih-kikih.

Laras senang sekali mengingat kejadian seminggu lalu. Betapa sang ibu memperhatikan perkembangan Laras. Betapa sang ibu tidak sekaku dulu. Dulu waktu masih SMP sampai kelas sepuluh, Laras dipingit di rumah. Tidak boleh main dengan laki-laki. Kalaupun mau main dengan lawan jenis, itu harus di rumah. Tidak boleh pergi dengan laki-laki meskipun bersama dengan teman-teman perempuannya juga.

Jumat, 29 Oktober 2010

MID (3)

Disisi lain, Gio sedang memikirkan cara untuk mengajak Laras keluar. Gio mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia menggaruk-garuk kepala. “Haduh! Gimana nih ya? Uda kangen… pengen ketemu. Tapi pasti kalau jalan gitu aja nggak bakal mau.” Pikir Gio.

Tidak lama, cellphone-nya berbunyi. Ada sms dari Laras

Laras : Gio lagi apa?

Gio : Lagi berdiri. Knp?

Laras : Nggak apa-apa cuma tanya.

Selesai.

Gio menyesal sekali ia tidak membalas sms dari Laras. “Ajak nggak ya? Ajak nggak ya? Mau nggak ya? Mau nggak ya?” lagi dan lagi Gio mengalami krisis keraguan yang luar biasa. Pernah beberapa kali Gio mengajak Laras keluar sekadar jalan-jalan, tapi Laras selalu saja menolak. Banyak alasan. Tapi bukan alasan juga. Laras bukanlah seorang gadis yang senang bersantai ketika tidak pergi kuliah. Kalaupun ia tidak keluar rumah untuk mencari barang yang dibutuhkan, ia selalu di kamar, di depan laptop, dan menulis. Kalau tidak menulis, Laras selalu asik membaca. Dan kadang, membaca itulah yang membuatnya malas pergi kemanapun. Jadi setiap kali Gio mengajaknya keluar, Laras selalu menyebutkan segudangnya kegiatan yang akan ia lakukan hari itu.

Tangan Gio sudah bersiap untuk mengetik sms pada Laras. Tapi batal. “Bagaimana kalau Laras menolak?” tanyanya dalam hati.

Akhirnya, Gio mengirim sms juga pada Laras.

Gio : Laras, tau tempat makan salad yang enak nggak?

Laras : Mmm… nggak tau. Palingan aku juga kalau beli salad ke PH atau nggak ke Hokben.

Gio : Oh. Gitu.

Laras : coba cari aja atuh. Da aku juga nggak tau.

Selesai

Gio tidak langsung mengajak Laras. Dia hanya menunggu inisiatif dari Laras untuk mengajukan tawaran mengantarnya. Tapi Laras tidak juga mengajukan tawaran. Akhirnya dengan sedikit keberanian dan harapan, Gio mengirim sms lagi pada Laras.

Gio : Laras. Besok kita ke Dago yuk! Ada car free day. Mau nggak?

Laras : Maaf, Gio. Aku nggak bisa. Soalnya mesti belajar. Nanti aku ada quis. Maaf banget ya. Minggu depan aja, gimana?

Gio : Oke deh nggak apa-apa. Yaudah ya. Makasih. Semangat belajar.

Alhasil, seharian ini Gio kerimpungan. Karena keinginannya untuk jalan dengan Laras, BATAL.

Selasa, 26 Oktober 2010

MID (2)

Tangisnya tumpah begitu saja. Laras terisak-isak. Ingin rasanya ada sebuah bahu untuk tempatnya meneteskan air mata yang terus turun. Ingin rasanya ada sepasang lengan terbuka dan berkata, “sini sayang… menangislah di pelukan ibu. Semua akan baik-baik saja.” sayang sekali ibu Laras sedang pergi mengunjungi neneknya di Palembang sana. Malam itu… Ibunya menelpon Laras.

Laras : Assalamualaikum, ibu sehat?

Ibu : Waalaikumsalam. Alhamdulillah sehat, sayang. Tadi gimana tesnya?

Laras : Ada 3 nomor yang nggak kejawab, Bu. Laras bener-bener lupa. Bu, bapak ada? Ibu dan bapak uda makan belum?

Ibu : Loh? Kok bisa? Emang berapa soal semuanya? Ibu uda makan, Sayang. Bapak juga uda.

Laras : tadi tuh ada 10 soal. Tapi analisis semua. Nah yang nggak bisa itu bagian pertanyaan hapalannya, Bu. Ibu makan apa?

Ibu : Tadi ibu makan mie goreng sama nasi. Kalau bapak, makan bihun.

Laras terdiam. Tetes air matanya turun perlahan. Laras tidak sampai hati mendengar ibunya makan mie goreng. “Ibu kan punya sakit maag. Uda lama juga nggak makan mie. Kalau ibu makan mie, nanti perut ibu nggak enak.” Miris Laras dalam hati. Ia tidak mampu menyampaikan pikirannya pada sang ibu. Karena dia tahu apa yang akan dijawab ibunya, “Itu untuk penghematan, sayang. Bapakmu sudah nggak punya uang banyak lagi.”

Ibu : Laras sudah makan, Nak?

Laras : Udah, bu. Tadi Laras makan banyak sekali. Oh ya bu… rumah jadi dikontrakin? Nanti barang-barang gimana? Kapan ibu ke bandung?

Ibu : Nanyanya satu-satu, sayang. Ia, rumah jadi dikontrakin. Barang-barang sebagian dibawa ke Bandung, sebagian lagi disimpen di pavilion nenekmu. Minggu ini, bapakmu terima DPnya. Nggak terlalu banyak. Tapi nggak apa. Syukuri aja, sayang. Uangnya nanti buat jajan mingguan Laras sama Dion ya.

Air mata Laras semakin deras.

Laras : Maafin Laras uda nyusahin ibu dan bapak ya.
Laras menahan tangisnya. Ia tidak ingin sang ibu tahu kalau ia tengah menangis.

Ibu : Itu sudah tanggung jawab kami, sayang. Laras nggak nyusahin ibu sama bapak kok. Yaudah ya… jangan lupa belajar, solat, makan juga teratur. Inget pesan dokter. Jangan kecapean ya, sayang. Urusan keuangan… nggak usah dipikirin. Laras fokus kuliah aja ya.

Laras : Yauda. Ibu juga jaga kesehatan. Salam untuk bapak. Assalamualaikum.

Laras menutup telepon setelah ibunya menjawab salam. Air matanya laksana hujan yang terus-menerus mengguyur Ibu Kota hingga menyebabkan banjir. Baju tidur bagian depannya sudah basah karena air mata yang terus menembakinya.

Pikirannya kalut. Ingin rasanya ia berbagi dengan orang lain. Tapi siapa? Kak Lena, kakak tertuanya sedang asyik dengan dunia maya setelah seharian bekerja. Diambillah handphone yang tergeletak begitu saja. ia ketik kalimat dan mengirim kepada seseorang yang ada di phonebooknya. Seseorang yang selalu bisa memberinya semangat. Seseorang yang menyuguhkan senyum hangat di pagi hari walau hanya lewat sms. Seseorang yang periang. David, namanya. Senior yang dikenalnya di SMP dulu. Dan sekarang satu kampus dengannya.

Laras : Kak, aku pengen nangis deh…

David : Nangis aja, De. Itu bisa bikin lega. Emang kenapa, De?

Laras : Aku nggak bisa cerita, Kak. Ceritanya panjang kayak rel kereta api

David : Tuh, kan… tapi kakak nggak punya pulsa buat nelpon Ade. Ade mau telpon kakak?

Laras : Laras juga nggak ada pulsa nelpon, Kak.

Setelah mengirim sms, segera Laras mengenakan mukena. Baginya… momen saat itu sangat indah untuk berkeluh kesah pada Sang Khalik. Karena hanya Dialah yang mampu mengatasi kesulitan yang dialami Laras dan keluarganya. Segera ia menunaikan sholat isya. Ada tangis kuat dalam doa yang dipanjatkan. Tangisan itu tak henti-hentinya. Hingga Laras merasa kepalanya berat.

“Kak Lena, aku tidur duluan ya.” Pamit Laras untuk pergi tidur.

“Ia, De. Jangan lupa nanti malam bangunkan kakak ya kalau kamu bangun buat sholat.” Pinta Kak Lena.

Dalam diam sambil memutar tasbih di tangan beriringan dengan dzikir yang berpeluk di hatinya, Laras tertidur meski matanya masih basah.