Di pertengahan
Maret tahun lalu, dia melafalkan namanya dengan baik sembari menjabat tanganmu.
“Andisyah Putra. Andi.” Kamupun tersenyum membalas, “Bunga.”
Itu pertemuan pertama kamu dan dia.
Wajahnya biasa saja. Sama sekali tidak tampan. Tubuhnya juga tidak terlalu
tinggi sekitar 160 cm. Perutnya sedikit buncit. Menunjukkan bekas kejayaannya. Warna
kulitnya cokelat mendekati hitam. Senyumnya luas membentang. Tangannya lebih
besar dari tanganmu. Satu yang membuatmu bergetar, sinar matanya. Sinarnya
lembut dan menghangatkan. Lupakan!
“Di bagian ADMP ada Pak Kiki, kalo
marketing, ini tempat duduknya Mba Ananda dan Mba Santi. Kalo ini...” Pak
Sunaryo terdiam. Ananda adalah supervisor marketing di capem kelapa gading.
Tingginya tidak jauh berbeda denganmu. Cara berpakaiannya BIG NO! Meskipun
lahir di keluarga kaya, dia tetap berpakaian se-“mau”-nya. Karena penampilannya
jauh dari kata PROFESIONAL. Sangat sederhana atau lebih tepatnya lagi selenge’an. Tapi tahu tidak, wajahnya
mirip denganmu. berwajah bulat, berkaca mata, dan pipinya sedikit berisi.
Orang-orang bilang, wajahmu memang mirip sekali dengannya. Yang membedakan
hanya satu; dia berwajah lebih putih dan mulus dari pada wajahmu. Santi salah
satu Account officer yang ayu,
pendiam, anggun, dan sederhana, di usia yang begitu muda, Santi memutuskan
untuk menikah. “Ibadah.” Begitu katanya. Entah mengapa kamu selalu kagum dengan
wanita atau pria yang memutuskan untuk berumah tangga di usia muda.
“Radit. Account officer.” Pria berbadan tinggi besar dengan rambut tipis
itu mengangkat tangannya padamu.
“Didik. Funding officer.” Pria berikutnya. He was the one of the most charming person you’ve ever meet. Sayang
sekali di jarinya sudah melingkar sebuah cincin. Yes he got married.
“Diangga.” Satu nama pria terakhir
yang kamu dengar. Tinggi badannya mungkin diatas 165 cm. Tubuhnya kurus. Kantong
matanya cukup besar, mungkin dia sering begadang. Bibirnya hitam namun tidak
pekat. Mungkin dia perokok aktif. Bicaranya santai dan akrab. Mengenakan.
Kamu membalasnya dengan senyum
sambil menyebutkan namamu. Tidak berapa lama datanglah Ananda dan Santi.
Sambutan mereka begitu hangat. HANGAT. Kemudian kamu duduk di kursi sebelah
Ananda. Meja itu sudah lama kosong. Penghuni lamanya bernama Soni. Sudah
berbulan-bulan lamanya Soni menghilang tanpa kabar. Seringnya orang di kantor
memang menghilang jika sudah diterima kerja di tempat lain. Karena kalau mereka
berpamitan secara normal, mereka harus membayar denda yang mereka sendiri tidak
tahu untuk apa. Sudahlah. Tidak perlu juga kita bicarakan tentang kebijakan
perusahaan lainkan?
Waktu
berjalan begitu lambat. Kamu lebih sering terdiam. Tidak banyak bicara. Hanya
membolak-balik kebijakan perkreditan atau brosur produk simpanan. Sampai
akhirnya jarum jam berhenti di angka 12. Para lelaki tadi mengajakmu makan
bersama di salah satu swalayan besar tepat di depan kantor. Menyebrangi jalan
yang lebar dan ramai. Dengan sok gagah berani, Radit ambil bagian untuk
menyebrangi kalian. Kamu satu-satunya wanita tercantik. Baju hitam, celana
panjang hitam, kerudung coklat terang. Make up tipis dengan lipstik soft pink. Sama
sekali tidak terlihat menarik. Tapi keempat pria itu justru menunjukkan usaha
untuk menarik perhatianmu.
Makan siang berjalan seperti di
ruang interogasi. Satu per satu dari mereka mengajukan pertanyaannya. Seputar
perkuliahan, keluarga, bahkan sampai ke kehidupan percintaanmu. Memang tidak
banyak yang kamu ceritakan tentang dunia cinta. Sudah lama juga kamu memutuskan
untuk sendiri. Memfokuskan untuk masa depan.
Setelah
satu minggu berlalu...
“Mba, aku nanti di FO atau AO?”
Tanyamu pada Ananda.
“Tergantung kebutuhan kantor aja,
Bung. Kenapa?”
“Kok gitu, Mba?”
“Ya kan gimana nanti rekomendasi
buat kamu.”
BRAK!!!
Edo melempar berkas ke atas mejamu
setelah Ananda pergi. Oh ya. Aku belum sempat cerita tentang Edo. Ada AO lain
di kantormu. Fendri dan Edo. Mereka sudah cukup berusia. Keduanya sudah
berkeluarga. Fendri beranak tiga, sedangkan Edo baru punya satu anak.
Orang-orang bilang, Fendri dan Edo seperti kakak-beradik. Mereka sangat dekat.
Bahkan keluarga mereka sudah saling kenal. Fendri sudah berpengalaman di dunia
perbankan. Sebelumnya dia bekerja di Bank Swasta. Dan kini menjadi pegawai
tetap di kantor yang sama denganmu. Lain Fendri, lain Edo. Meski mereka dekat,
tapi kehidupan perkantoran mereka berbeda. Edo sudah mencicipi hampir semua
bank yang ada di Indonesia. Agak aneh bukan.
“Lo harus berjuang buat jadi AO.
Kalau lo jadi FO, lo nggak dapet ilmu apa-apa.”
Kamu terkaget mendengar celotehan
Edo yang ada benarnya juga. “Terus ini buat apa?” Menunjuk pada berkas yang dia
lempar ke atas mejamu.
“Itu ada nasabah. Dia punya
kos-kosan. Mau bangun lagi yang ketiga. Sekitar Grogol. Nah gue mau kesana. Lo
ikut aja.”
Kamu masih belum mengerti. Namun
karena Edo memintamu ikut, kamu pun langsung menyambar tas. “Aku harus belajar
bukan?” Kamu sedikit berlari mengikuti Edo.
Ditemani seorang supir, Kalian pergi
ke daerah Grogol, melewati kampus Trisakti. Melewati jalan yang hanya cukup dua
mobil. Berhenti di sebuah rumah yang memiliki banyak pintu. Kamu masih saja
terdiam. Seorang perempuan berkulit putih keluar pintu rumah lalu menyambut
kalian. Pakaiannya agak nyentrik, hot pants dan tank top putih. Dari kulitnya
kamu menebak usianya sekitar 30-an. Bukan hanya perempuan itu, ada seorang
lelaki yang ternyata suaminya. Perbincangan yang menarik dimulai. Mereka
terlihat sangat akrab.
Satu jam
Dua jam
Selesai
Akhirnya pulang
Sebelum singgah di kantor, Edo
mengajak kamu makan di salah satu rumah makan enak areal Kelapa Gading.
“Lo proses berkas ini. Pengajuannya
empat milyar. Buat bangun kos-kosan. Kalau lo berhasil, lo bakal
direkomendasiin jadi AO. Gue cuma mau bantu. Gimana lo aja mau apa nggak.” Edo
membuka percakapan.
“Oke mas.” Kamu menjawab dengan
mantap. “Tapi aku butuh bimbingan mas Edo ya.”
“Iya. Tenang aja. Ada Radit juga. Lo
tandeman aja sama dia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar