Di
sisi lain, pria bertubuh gempal dengan tinggi badan yang pas-pasan menarik
perhatianmu. Ya! Andi! Kamu cukup terpukau melihatnya menunaikan sholat duha tiap
pagi. Dia memenuhi mushola kecil yang berlokasi di tengah-tengah antara ruang
IT dan kamar mandi. Suatu pagi lepas kamu menunaikan duha, kamu terheran
melihatnya menjalankan sholat duha lebih dari dua rakaat.
“Mas.” Kamu memberhentikan langkah Andi di
depan mejamu. Dialah satu-satunya lelaki yang tidak pernah sengaja berhenti di
mejamu untuk sekedar bertegur sapa.
“Kenapa,
Bung?”
“Tadi
kok sholat duha-nya lama? Emang berapa rakaat?”
Mata
Andi melebar. Nampak sekali dia senang ditanya seputar agama. Andi duduk di
sebelahmu. Kebetulan Ananda sedang pergi ke tempat nasabah. perlahan Andi menjelaskan
keutamaan sholat duha berdasarkan jumlah rakaatnya. Tanpa kamu sadari, hari itu
menjadi hari dimana kamu jatuh kepadanya. “Subhanallah...
bagaimana mungkin di Kota Metropolitan seperti ini, yang kata orang sudah
sangat maju, ada seorang lelaki yang sudah sibuk dengan ibadah sunnahnya. Pasti
ibadah wajibnya selalu diselesaikan dengan sangat baik.”
Kamu
mulai memperhatikannya, bagaimana dia berjalan, bekerja, berpakaian, dan
semuanya. Kamu memperhatikannya. Diam-diam. Semua kamu lakukan dalam diam. Kamu
tidak berani memberi sinyal apa-apa. Karena diapun begitu dingin. Setiap kali
dia bbm, kamu membalas seperlunya. Begitupun sebaliknya. Kalian berdua hanyut
dalam nuansa diam yang tidak terungkap.
Masih
di bulan Maret yang sama.
“Mas
kamu emang tinggal dimana?”
“Tangerang.”
“Aku
juga ada kakak di Puribeta.”
“Loh
itu deket. Suka pulang nggak?”
“Jarang
sih. Mas?”
“Ya
tiap minggu kalau mau pulang ya pulang.”
“Minggu
ini pulang?”
“Kenapa?”
“Boleh
nebeng nggak?” Rasaku Modus.
“Boleh
banget.”
Jumat
malam, rindu pada mama dan papa yang membuatmu untuk pulang. Tidak berani pergi
malam dengan taksi, akhirnya kamu ikut menumpang motor Andi. Bahasa gaulnya;
nebeng. Sepulang kantor, langit agak mendung. Kamu segera mandi lalu berkemas.
Memilih baju apa yang harus kamu kenakan agar dinginnya malam tidak menusuk
tulangmu.
Langit
tidak sedang bersahabat. Baru saja Andi mengatakan akan menjemputmu jam 19.00
WIB. Ternyata langit menumpahkan air matanya. Menangis cukup deras. Sudah
hampir satu jam tetap tidak berhenti. Kamu pikir, Andi mengurungkan niatnya
untuk pulang ke Tangerang. Ya itu pikirmu. Sebenarnya tidak. Jam 20.05 WIB
dengan helm kuning dan motor berwarna merah hitam dia menjemputmu di kosan. Di
rumah merpati. “Udah lama nunggu?” Tanyanya dengan suara berat.
“Belum.
Kan sambil nunggu hujan reda, Mas.”
“Kita
makan dulu ya.” Tanpa balasan, dia langsung meluncur membawamu ke rumah makan
padang yang berlokasi di Cempaka Putih. Hujanpun turun lagi. Menampakkan
kemesraannya padamu. Malam yang begitu romantis. Kamu mengenakan sebuah syal
yang warnanya sangat tidak senada dengan baju. “Kamu modis ya. Pandai
mencocokkan warna-warna yang nggak senada sekalipun.” Puji Andi. Kamu hanya
tersipu malu. “Takut hujannya makin besar, aku ambil jas hujan dulu di rumah.
Rumahku deket kok dari sini. Kamu tunggu di sini ya.”
5
menit
10
menit
15
menit
20
menit
Dia
datang. Memaksamu mengenakan jas hujan. Kamu menolaknya dengan keras. “Mas kan
kamu yang bawa motornya. Ya kamu yang pake. Aku pake syal sama pashmina aja
cukup kok.”
“Ya
sudah. Dari pada ribut nggak jelas.”
Saat
itulah, perjalanan hati kalian dimulai.
Dia
mengajakmu mengitari ibu kota. Wilayah menteng dan kemang. Menunjukkan mana
saja tempat anak nongkrong ibu kota. Kamu terkantuk-kantuk di belakang. Kesal
hatimu. Kamu ingin segera sampai di rumah kakak, tapi dia malah mengajakmu
berkeliling. Entah apa maksudnya. Tapi hati yang sempat jatuh padanya, kamu
urungkan juga. Dalam hati kamu mengeluh habis-habisan.
Lokasi
terakhir yang dia tunjukkan padamu adalah Apartemen Park View. “Aku punya
apartemen disini.” Ucapnya. Mau kagum bagaimana lagi. Kamu sudah benar-benar
mengantuk. “Aku juga sudah ada rumah di Rajeg. Rumahku di sebelah mantan
pacarku.”
“Mantan?” Nampaknya kamu sudah hampir
sadar.
“Iya.
Sebelum kerja di kantor sekarang, aku kerja di hotel sebagai SDM-Legal. Kami
ketemu. Karena mau menikah, akhirnya dia minta aku buat keluar. Dia mau aku
mencari pekerjaan yang lebih halal. Sempat menganggur beberapa waktu, ternyata
dia meninggalkanku begitu saja. Aku punya tabungan untuk hidup, tapi mama sama
papa bilang, aku harus menguji keseriusannya. Mama bilang, “coba aa bilang sama
dia kalau aa sekarang nggak punya uang dan masih nganggur.” Aku langsung
praktekin. Ternyata benar. Lambat laun dia menghilang. Aku jatuh
sejatuh-jatuhnya. Ya beberapa tahun ini nggak punya pacar. Takut kecewa.”
Aku
terdiam.
“Targetku
akhir tahun ini nikah. Usiaku aja sekarang sudah 28 tahun. Kita nikah yuk!”
“Hah?”
Kamu berusaha mengumpulkan nyawa. Memastikan kalau kamu tidak bermimpi. Pria di
hadapanmu. Yang tidak menatapmu. Yang selama ini dingin. Mengajakmu menikah?
Kamu benar-benar berasa dicandai.
“Aku
masih muda, Mas. Masih mau bermimpi besar.”
“Aku
sih maunya punya istri dokter.”
Duarr!!!!
Kecewa hati kamu. Tunggu tunggu. Kenapa kamu harus kecewa Bunga? Apa kamu
menyimpan secuil asa di hati kamu? “Lah aku kan bukan dokter, Mas. Kenapa
dokter?”
“Dokter
pinter aja. Nanti istriku bakal jadi ibu dari anak-anakku. Jadi harus pinter
dong.”
“Oke.”
Hening sejenak. Aneh memang. Sesaat dia mengajakmu menikah. Tapi kemudian dia
langsung mengungkapkan keinginannya memiliki istri seorang dokter. Sungguh
membingungkan. Aku kesal sekali. Jangan-jangan dia memang ingin mempermainkan
hatimu. Jangan terlalu polos, Bunga. Ini ibu kota. Sedikit sekali orang baik.
“Eh
kita beliin apa buat mama bapakmu?”
“Aku
pengen pizza dominos aja, Mas.”
“Oke.”
Kalian
berhenti. Membeli pizza di tengah malam. Dia mengantarmu tepat di depan rumah kakakmu.
Hatimu masih saja kesal karena sudah larut malam. “Kamu terlalu banyak
berpura-pura. Menutupi banyak hal.” Kalimat terakhir yang kamu dengar dari
mulut Andi. Kamu terhenyak kaget.
“Sudah
malam, Mas. Kamu pake ini aja ya.” Kamu meletakan syal di lehernya. Dia
tersenyum lalu pergi. Bayangannya masih saja di dalam pikiranmu. Tidak. Kamu
sudah meyakinkan hatimu. Kamu tidak jatuh hati padanya. Tekankan itu baik-baik,
Bunga.
Sayangnya kamu harus menunggu
sekitar tiga jam sebelum mama dan papa membukakan pintu untukmu. Kamu masih
saja menggerutu karena Andi yang mengajakmu berkeliling Jakarta hingga tengah
malam. Dia pikir kamu sama dengan perempuan lain yang senang berkeliaran di
saat langit gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar