Satu
bulan setelah perkenalan itu, kalian pergi ke Bandung. Hanya ada kamu, Radit,
Andi, dan Diangga. Mayda tidak bisa ikut. Seperti kebiasaannya; membatalkan
janji tepat di hari H. Berempatlah sudah. Radit menyetir dan kamu duduk di
sampingnya. Kebetulan sekali. Di Bandung, Mama, papa, Bulan, dan adikmu sedang
bebenah karena rumahmu akan diisi mulai Senin oleh keluarga lain. Weekend
terakhir di rumah, bersama teman-teman kantormu. Moment itu juga yang kamu manfaatkan untuk meminta penilaian mama
bapak. Penilaian terhadap pria yang mendekatimu. Kamu memang tidak berubah, penilaian orang tua terhadap semua hal
sangat penting bagimu. Terlebih lagi urusan hati. Kamu tidak mau menjalani
apapun dengan pria manapun kalau Mama-bapak tidak mengenal pria yang kamu suka
atau menyukaimu. Kamu memang tidak
pernah berubah.
Sampai Bandung, langsung menuju
Setiabudi. Mereka mau makan serabi Enhai. You
took some pictures. Laughed together. Enjoyed kota kembang di malam Sabtu.
Kalian menginjakkan kaki di rumah
sudah cukup malam. 23.00 WIB. Mama papa sudah tidur. Rehatlah sejenak. Karena
esok, kalian akan pergi menjelajah kota Bandung. Lagi.
Kamu mempersilahkan mereka tidur di
kamar teteh. Begitu instruksi dari Mama. Mengenakan dress malam berwarna hitam dengan kerudung menjulur sampai menutupi
perut, kamu mengetuk pintu kamar mereka. Membawakan selimut tebal untuk tidur
di malam yang dingin. Ketiganya sedikit ternganga. Baru kali pertama bagi
mereka melihat wajahmu yang polos tanpa make
up dengan balutan busana yang lebih sederhana.
Whatsapp masuk...
Radit : Kamu cantik dengan kesederhanaanmu. Anggun
Bunga : ga usah lebay, mas. Pujian mas itu ujian buat aku.
Adit : uda malem. Yu rehat.
Kalian hanya selisih satu kamar
mandi. “Kenapa dia nggak bilang langsung?” tanyamu dalam hati dengan
kejengkelan karena dia mengganggu matamu yang hendak terpejam.
“Ayo
makan!” Mama mengajak kami makan.
Sudah ada beberapa piring nasi
kuning bersemedi di meja ruang tamu. Mereka bertiga turun dengan barisan rapi. Kamu
perkenalkan mereka pada orang tuamu, satu persatu. Mereka mengambil posisi
duduk masing-masing. Papa menghampiri mereka, memegang piring nasi kuning yang
sama.
Keakraban dimulai. Papa lebih sering
mengobrol dengan Andi. Dulu Andi sempat kerja sambilan dengan mengadakan jasa
pengadaan untuk PC di sekolah-sekolah. Dia juga sering sekali ikut tender
terkait dengan pengadaan barang. Wajarlah kalau dia lebih nyambung ngobrol
dengan papa ketimbang Radit dan Diangga. Kamu hanya mendengarkan obrolan mereka
dari ruang makan.
Mama menyentuh tanganmu, “yang
nganterin Bunga kemaren yang mana?”
“Andi, Mam. Yang pake celana
loreng-loreng.”
“Yang duduk deket papa?”
“Iya mam. Yang lagi ngobrol sama
papa juga.”
Mama terdiam.
“Gimana, Mam? Mendingan yang mana?”
“Ya mending yang Andi sih dari pada
dua lainnya.”
“Kenapa, Mam?”
“Ya gampang deket aja sama papa.”
“Dia ngajak Bunga nikah, mam.”
Mama terkejut. “Jalanin aja dulu ya.
Kenal satu sama lain. Kalau emang menurut Bunga dia yang terbaik, silahkan.”
Mantap! Hatimu rasanya mantap dengan
Andi. Ibumu menyukainya, maka apalagi? Kamu harus menyusun rencana untuk masa
depan yang lebih baik dengan lelaki yang disukai kedua orang tuamu. Lalu apa
kabar hatimu? “Cinta bisa datang karena terbiasa.” Bisikku lirih dalam hati.
Lepas sarapan, kalian pergi ke Kawah
Putih. Di tengah perjalanan yang terus menanjak dan berkelak-kelok, terjadi
sedikit insiden. Mobil sedan berwarna hitam yang kalian tumpangi tiba-tiba
tidak kuat menanjak jalan. Kamu sedikit panik, tapi mencoba biasa saja.
Menurutmu sangat penting mengendalikan emosi di saat genting, karena kalau
sampai kamu ikut panik, “Gimana sama Radit? Pasti bakal makin panik. Yang ada
malah nggak oke.” Begitulah pikirmu.
Kalian melalui hari dengan
senang-senang. Berfoto, bercanda, bernyanyi, atau bahkan sekedar bergumam
menjadi hal yang paling menyenangkan. Mereka bertiga menjagamu dengan baik.
Sangat baik. Rintik perlahan hujan turun. Dari dekat kawah, kalian berlarian
menuju mobil. Bersusah payah melawan hujan yang kian deras. Hujan membawa
kalian pada sebuah ruangan yang isinya... entahlah ruangan apa. Lupa sekali.
Hanya saja banyak orang yang juga sedang berteduh.
Hujan yang cukup lama tetiba berubah
menjadi gerimis romantis. “Gimana kalau kita pelan-pelan ke mobil ambil baju,
langsung ganti baju?” Saran Andi.
Berlari kecil dengan hati-hati kami
menuju mobil. Radit menutup kepalaku dengan tangannya. Kalian mengambil baju
masing-masing. Gerimis mulai jarang jatuh menginjak tanah. Akhirnya matahari
datang. Indahnya hujan yang baru saja turun. Membuatmu merasakan perhatian yang
dalam dari dua orang pria sekaligus, Andi dan Radit. Ya. Mereka berdua. Namun
hatimu tidak gentar, komentar mama tadi pagi mengarahkan kemantapan hati untuk
memilih Andi. Bukan Adit. Meskipun Adit lah yang lebih dulu dekat denganmu. Cinta bukan berkata siapa duluan yang
menyatakan cintanya padamu, tapi siapa yang lebih dulu meluluhkan hati kedua
orang tuamu, lalu meluluhkan hatimu seiring berjalannya waktu. Setidaknya
begitulah cinta menurutmu yang masih bodoh akan cinta. MASIH BODOH AKAN CINTA.
Mereka
melanjutkan perjalanan setelah mengantarmu di rumah tepat pukul 21.00 WIB.
Andi harus mengantar kakeknya ke
rumah sakit besok. Sehingga kalian harus mengubah rencana, semula hendak pulang
di hari Minggu tapi Sabtu mereka sudah pulang. Mau apalagi. Kamu juga harus
membenahi barang-barang yang akan dikirim ke Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar