Jumat.
Bulan Ramadhan.
Kamu keluar kelas jam 16.00 WIB.
Syukurlah kelas pendidikanmu pindah ke Bendungan Hilir jadi kamu tidak harus
melewati perjalanan panjang ke Cikini.
Kamu berdiri di pinggir jalan.
Menunggu bis kota yang sederhana lewat. Bis yang lewat XXI Metropole. Kamu
janjian dengan Sidi di sana. Jantungmu berdebar hebat. Entah apa yang akan
terjadi. Sama sekali tidak tergambar. Jujur saja, jantungku berdebar kencang
ketika menulis bagian ini. Di kepalaku sudah tergambar apa yang akan terjadi
padamu.
Perjalanan ke Cikini cukup jauh.
Kurang lebih membutuhkan dua jam. Arus lalu lintas sangat padat. Bis yang kamu
tumpangi tidak bisa melaju dengan cepat. Kamu tertidur sesaat. Hingga akhirnya
sang kernet berteriak “Metropole! Metropole!” dengan sigap kamu berdiri,
berjalan di kerumunan orang yang berdesakan di dalam bis. Aturan turun bis yang
pertama adalah turunkan kaki kiri terlebih dulu.
Masih dengan debaran yang sama. Kamu
menunggu Sidi di depan pintu masuk. Tidak berapa lama Sidi datang. “Kita ke KFC
langsung ya.”
“Nanti aku tunggu di KFC ya mas.”
“Iya. Nanti aku ajak Andi ketemu
kamu abis buka ya.”
“Iya, mas. Makasih.”
Kamu turun di depan KFC. Sidi
memanggilmu lembut, “Bunga.”
“Ya?”
“Kamu yakin?”
“Ya, mas. Udah lama aku nunggu hari
ini.”
Sidi tersenyum dan berlalu.
Kamu
memesan satu minuman ditambah satu donat yang ditaburi meses cokelat. Duduklah
kamu di lantai dua. Ini sudah mendekati jam buka puasa. Ramai sekali orang yang
datang. Kamu duduk seorang diri. Menghadap ke kaca. Mengarahkan pandanganmu
pada sebuah tempat makan bertenda. Tempat dimana Andi dan teman-temannya yang
juga temanmu tengah bercengkrama melepas rindu. Lalu apa yang kamu lakukan?
Kamu mencoba menyusun kata perkata agar kalimat yang kamu sampaikan tidak
menyakitinya. Bodoh! Kamulah yang tersakiti, Bunga! kenapa kamu selalu
menganggap kalau kamu yang salah.
Adzan
berkumandang. Artinya sebentar lagi Andi akan datang.
Benar
saja. Sidi datang. Andi mengikutinya dari belakang. Matamu berkaca-kaca. Tidak
banyak yang berubah darinya. Badannya tetap gemuk. Perutnya tetap buncit. Dia
mengenakan batik yang kamu belikan. Dia memang tidak punya banyak batik. Jadi
kemanapun kamu pergi dan melihat batik, pasti kamu terpikir untuk
membelikannya. Dia menjabat tanganmu, “Apa kabar?”
Sidi
pergi, “Kalian ngobrol dulu aja ya.”
“Makasih
mas Sidi.” Ucapmu lemas. “Baik. Ka... kamu apa kabar?” Ucapanmu mulai
terbata-bata.
“Baik.
Jauh lebih baik sekarang.”
Ah.
Tanganku bergetar hebat. Terbayangkan keadaanmu kala itu, Bunga. “Gimana
kerjaan?” Tanyamu. Pertanyaan yang aku akui adalah pertanyaan yang bodoh.
“Bagus.
Kamu?”
“Masih
pendidikan, belum kerja.”
“Kenapa
bisa Sidi?” Tanyanya mencengangkanmu.
“Maksudnya?”
“Kamu
selingkuh sama Sidi?” Tatapan mata Andi semakin tajam. Penuh kecurigaan dan
kebencian.
Matamu
mengalirkan air yang sudah tidak tertahan lagi. “Nggak, A. Karena yang bisa
bantu neng ketemu aa cuma dia. Makanya neng hubungin dia buat minta bantuan.”
“Keterlaluan
kamu! Selingkuh sama temen saya. Mulai sekarang nggak usah hubungin saya!”
Disambar
ribuan anak panah. Hatimu sakit sekali. Andi pergi meninggalkanmu seorang diri.
Kamu membeku. Tidak bisa berkata apa-apa. Seolah rohmu juga ikut pergi
meninggalkan ragamu. Seketika kamu tersadar, “Kenapa Andi pergi?” Tanganmu
menghapus air mata yang tumpah.
“Mas.
Dimana?” Kamu menelepon Sidi.
“Di
Mushola. Abis solat. Kenapa?”
“Andi
pergi, mas. Dia ninggalin aku.” Kamu benar-benar seorang diri. Berdiri di depan
KFC. Menangis. Meratapi kepedihan ditinggal oleh lelaki yang sama. Lelaki yang
kamu cintai sekaligus kamu benci. Lelaki yang pernah membahagiakanmu namun kini
secara tak gentar terus menyakitimu.
Teringat
kamu harus membelikan teman-teman paket nasi untuk makan sahur mereka.
Kembalilah lagi kamu masuk ke KFC. Kamu keluar lalu berlari ke ATM untuk
mengambil sejumlah uang tunai karena mesin EDC di KFC rusak. Kamu berjalan agak
cepat. Menutup mulut dan hidungmu dengan masker. Usaha untuk menyamarkan air
mata yang terus mengalir. Siapa sangka. Sebelum melangkah ke ATM, kamu bertemu
dengan teman-teman kantor lamamu. Teman-teman yang ingin kamu hindari. Tapi apa
daya. Mereka terlanjur melihatmu. Pikiranmu kalut sekali. Tidak bisa lagi
berpikir jernih. “Terserah mereka mau berpikir apa. Aku tidak perduli lagi.”
Kamu
menyalami mereka satu persatu. Ada Dewi dan Hamzah. Sisanya... aku sudah lupa
siapa nama mereka. “Bunga, kenapa?” Tanya Dewi. Entah apa yang ada di
pikiranmu. Kamu tetiba memeluknya. Aku tahu betul. Kamu hanya perlu pelukan
hangat. Pelukan yang sadar betapa terlukanya kamu. Pelukan dengan bisikan, “It is gonna be allright.”
“Kenapa Andi ninggalin aku, mba?”
Tanyamu lirih.
Hamzah melihatmu menangis. Wajahnya
iba sekali. Hatimu semakin sakit.
“Andi? Oh jadi kesini buat ketemu
Andi. Pantes aja. Andi ada kok. Tadi sholat berjamaah.”
“Tapi dia bilang nggak mau ketemu
aku lagi.”
“Nggak kok.” Dewi berusaha
menenangkanmu.
“Apa salah kalau aku sakit, mba? Apa
itu menganggunya? Kenapa dia bilang lelah kalau aku penyakitan gini?”
“Bunga minum dulu ya.” Dewi
menjulurkan sebotol air mineral.
Andi datang. Menuruti perintah
teman-temannya. Ya. Dewi memintanya datang menghampiri kalian. Dengan wajah
tanpa dosa, Andi datang, “Kan tadi aa bilang sholat dulu, neng.” Andi menarik
tanganmu dengan kuat. Menggenggamnya erat. Seolah ada aura kebencian yang
mengalir. “Kita pulang ya.” Ajaknya.
Sidi berbisik, “Hati-hati.”
Kamu pasrah sekali. Benar-benar
pasrah. Kalian menghentikan sebuah taksi. Tinggal kamu dan Andi di dalam mobil.
Dia tidak banyak bicara. “Aa, kenapa ninggalin neng?” Kamu membuka obrolan.
“Karena lo selingkuh sama Sidi.”
“Wallahi. Neng nggak selingkuh
dengan siapapun. Kenapa aa ninggalin neng? Apa salah neng?” Air matamu kembali
tumpah.
“Lo bisa diem nggak?” Mata Andi
melotot seolah hendak keluar.
Kamu hanya terisak.
Tidak banyak yang Andi sampaikan.
Jawaban yang kamu harapkan... tunggu dulu. Jawaban yang kamu harapkan akhirnya
kamu ketahui juga, “Karena kita tidak bisa bersatu. Itu kenapa aku ninggalin
kamu.” Menyesakkan hati. Sungguh.
Andi
pergi. Dia mengantarmu dengan sampai depan pagar kos.
Runtuhlah
tubuhmu. Tangismu tak berhenti sampai di depan pagar. Matamu yang sembab akibat
menangis membuatmu tidak bisa tidur. Dalam tahajudmu. Dalam doa malam yang
selalu kamu sampaikan. Kamu masih saja menyebut namanya. Masih saja
menyampaikan pertanyaan yang sudah kamu ketahui jawabannya. Jawaban yang membuatmu
terluka. Sungguh Bunga. Aku bahkan tidak tahu lagi harus menggambarkannya
dengan kalimat apa. Karena lukamu begitu dalam. Begitu dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar