Rabu, 31 Desember 2014

Berjalanlah (2)

Kamu menyendiri di teras depan. Duduk. Memperhatikan aliran air dalam kolam. Memperhatikan angin yang menderu menghepas bulu matamu. Air matamu mengalir landay. Merenungi ucapan tadi : NENG NGGAK SAMA SEPERTI ANAK-ANAK LAINNYA.
            “Kenapa harus saya, Ya Allah? Saya suka berjalan-jalan. Saya suka berlari. Saya suka melakukan banyak hal. Lalu kenapa harus saya yang tidak bisa melakukan hal yang saya suka?” Tanyamu dalam hati yang berontak.
            “Assalamualaikum...” Datang seorang wanita yang menggendong seorang anak. Rambutnya diikat rapi. Kulitnya berwarna kuning cerah. Pakaiannya sangat sederhana.
            “Waalaikumussalam.” Kamu menjawab perlahan.
            Kamu berjalan memasuki ruang tamu. Mengikuti wanita itu di belakangnya. “Berobat juga?” Tanyamu memulai pembicaraan.
            “Iya.”
            “Sakit apa, Bu?”
            “Ini yang sakit.” Wanita itu menunjuk pada anak yang sedang digendongnya.
            “Anaknya?” Tanyaku ramah.
            “Bukan. Anak majikan saya. Ibu bapaknya lagi kerja. Jadi kesini sama neneknya dan saya.”
            Sebut saja namanya Melati. Melati mengidap autis. Entah harus menyebutnya autis atau bukan. Hanya saja. Dia berbeda. Dia lebih istimewa dari pada kamu, Bunga. Meski sering orang memandangnya dengan keanehan, dia tetap tidak peduli. Dia selalu tersenyum. Seharusnya kamu pun seperti itu. Jangan peduli seberapa kurangnya kamu. Jangan pernah pedulikan mereka yang bertanya aneh tentang penyakitmu. Setidaknya kamu masih dapat menggunakan kaki-kakimu untuk berjalan, kamu tidak perlu digendong untuk menuju tempat yang kamu inginkan. Orang tuamu masih sangat meluangkan waktunya untuk mengantarmu berobat, Bunga. Kamu hanya diminta melalui apa yang Allah SWT takdirkan untukmu, bukan memecahkan hal itu. Jangan terlalu keras berpikir, Bunga. Jangan terlalu senang bersedih, Bunga. Kamu hanya perlu ikhtiar, doa, dan tawakal. Satu lagi : bersyukur. Itu saja.
            Dalam renunganmu. Allah SWT langsung menunjukkan jawaban-Nya. Air mata yang mengalir kini kering seketika. Kamu melempar senyum tulus seperti biasanya kepada kedua orang tuamu. Kamu melegakan hati mereka. Tidakkah kamu pernah berpikir bahwa disudut hati kecil mereka, mereka menyesal dan mempertanyakan kepada Illahi tentang penyakit yang kamu derita? Tapi Bunga, mereka tegar di hadapanmu untuk membantumu untuk tetap bertahan. Bertahan di jalan yang Allah SWT buat agar kamu tetap lurus. Agar kamu tidak menyimpang. Agar kamu dapat melalui semuanya. Mereka menggandengmu, Bunga. meski fisik tidak selalu di sisimu, doa mereka menggandengmu melewati jalan yang kamu rasa itu berat. Laluilah jalan itu. Buat mereka bahagia. Mereka tidak butuh apa-apa. Mereka hanya ingin kamu berjalan lebih sehat dari sekarang. Ya. Mereka hanya ingin kamu sembuh.  

Rabu, 24 Desember 2014

Berjalanlah (1)

Lima hari setelah kepulanganmu dari Sukabumi
            Tubuhmu tidak juga pulih. Kamu semakin cepat lelah dan tidak bergairah. Meski senyummu tetap bersama langkahmu.
            Perjalanan panjang menuju Kota Kembang. Membuat jantungmu berdebar lebih dari biasanya. “Ada sesuatu yang akan terjadi? Apa ini?” Tanyamu dalam hati.
            “Bung. Bunga. Bunga. Bangun, Nak.” Mama membangunkanmu.
         Kalian telah sampai di rumah sederhana. Kang Asep. Ya. Kang Asep. Hatimu bergetar tidak karuan. Akan ada kabar baikkah? Atau jangan-jangan? Entahlah. Tapi percayalah. Allah swt sesuai dengan prasangka umat-Nya. Jadi ya berprasangkalah yang terbaik. Kamu berjalan perlahan. Sangat perlahan. Entah lelah atau mungkin karena memang tubuhmu sudah tidak sanggup lagi menopang badan yang semakin lama terasa semakin berat. Atau jangan-jangan menghentakkan kaki saja kamu sudah tidak sanggup. Ini hati atau fisikmu yang terluka?
Masih teringat jelas. Waktu itu tanggal 07 Juni 2014. Kali keempat kamu datang ke rumah sederhana. Untuk hal yang sama. Masih sama. Masih spasmofilia.
Kang Asep memegang pergelangan tanganmu. Kepalanya bergeleng-geleng. Kanan-kiri. Kamu hanya tertunduk. Takut sekali. “Neng disana ngapain aja kegiatannya? Cerita dong!” Kang Asep memecah kesunyian berbalut ketakutan yang kental.

Sedikit cerita tentang kegiatanmu di Sukabumi. Setiap pagi kalian harus berlari menuju masjid untuk menunaikan sholat subuh atau tempat ibadah lainnya. Lepas subuh berlari menuju lapangan luas lalu ditutup dengan olah raga pagi yang ringan. Namun tidak jarang para pelatih meminta kalian mengambil posisi serong kiri. Kalau sudah serong kiri, kalian pasti diminta untuk push up. Hukuman yang sering sekali kalian terima jika melanggar atau sekedar melakukan hal-hal yang kekanakan. Kamu yang selalu berpikiri untuk memberikan yang terbaik, maka kamu pun berpikir untuk melakukan segalanya semampumu. Sampai tumbang. Segimanapun beratnya latihan yang harus kamu lakukan, kamu akan terus melakukannya sampai memang kamu jatuh dan terkapar. Satu hal yang selalu kamu tekankan dalam hidup : never do complain. Ya. Kamu memang tidak pernah mengeluh. Jangan pernah mengeluh.
Satu minggu sudah kamu tidak meminum obat herbal yang dibekalkan padamu karena basi. Syukurlah sejak awal kamu tidak pernah merahasiakan penyakitmu dari pelatih. Kamu hanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Meski hati ingin menyembunyikan sakit, tapi kamu sadar betul kalau kamu butuh pemakluman bila tubuh lelah. Suatu pagi, kamu dan teman-teman lain diminta untuk periksa kesehatan di rumah sakit disana. Pemeriksaan itu dilakukan sebelum memulai tes fisik. Dipanggillah kalian berlima untuk memasuki ruangan dokter yang berseragam polisi lengkap. Dokternya masih sangat muda dan cantik. Kalau dibilang cantik, berarti dia seorang wanita. Ya. Tubuhnya indah, wajahnya cantik, rambutnya lurus meski dipotong pendek. Dokter yang hampir sempurna.
“Disini ada yang pernah sakit parah?” Tanyanya.
Masing-masing dari kalian menjelaskan penyakit yang pernah dideritanya. Tiba giliranmu. “Spasmofilia.”
Wajah dokter muda itu langsung berubah, “Apa itu?”
“Kram otot intinya, dok. Karena kekurangan kalsium.”
“Pantangannya apa?”
“Nggak boleh terlalu capek, dok.”
“Gini aja. Kalo nggak kuat, bisa langsung berhenti aja ya ujian fisiknya.” Syukurlah dokter menutup pertanyaan-pertanyaannya. Kamu selalu merasa terganggu kalau harus menceritakan banyak hal tentang si istimewa.
Kamu duduk bersandar sambil mengikat tali sepatu olah raga. Dokter yang tadi di ruangan datang menghampiri bersama dokter lainnya, seorang pria yang usianya sekitar 35 tahun. Tubuh dokter yang satunya lebih gemuk. Dia dokter asli nampaknya. Tidak mengenakan seragam polisi. Wajahnya sedikit lebar namun putih. “Dek. Tadi kamu sakit apa?” Tanya dokter polwan.
“Spasmofilia.” Jawabku.
“Apa itu?” Tanya dokter. “Hemofilia?”
“Loh bukan dong, dok. Itu penyakit kekurangan kalsium. Saya bawa hasil tes EMG.”
“Boleh lihat?”
Kamu mengeluarkan kertas kecil yang bertuliskan HASIL TES EMG : (+) 3.
Dokter itu hanya mengangguk seolah mengerti betul penyakit apa yang kamu derita. “Ya udah. Kalau udah nggak kuat jangan dipaksakan ya.” Sarannya.
Aku terheran melihatmu diam membeku. “Kenapa, Bung?” Tanyaku.
“Dokter itu nggak tahu apa itu spasmofilia. Dia hanya berpura-pura tahu.”
Aku terperangah. “Dari mana kamu tahu?”
“Tatapannya kosong dan penuh ketidak mengertian.”
Lanjut lagi kamu dan mereka membentuk barisan. Siap menuju lapangan untuk memulai tes fisik. Jantungmu berdebar lebih cepat. Nampak kekhawatiran akan ketidak sanggupanmu melewati tes ini. Kamu tidak ingin gagal. Kamu memang tidak terbiasa untuk gagal. Segala cara terbaik akan kamu lakukan untuk terhindar dari sebuah kata : GAGAL.
Kamu dan mereka harus berlari mengitari lapangan yang luasnya tiga kali lebih besar dari lapangan sepak bola biasa. Dengan nomor dada 012, kamu berlari semampunya, sekuat kakimu berlari. Satu putaran dilampaui. Tidak banyak upaya yang kamu keluarkan. Hanya saja di putaran berikutnya, kamu menjadi lebih lelah. Kakimu meraung kesakitan, tanganmu melamah seolah tidak lagi mampu berayun. Tapi satu yang tidak pernah lelah : pikiranmu yang positif. Kamu terus berpikir kalau kamu mampu menyelesaikan tes fisik itu. Di putaran keempat. Putaran terakhir setelah harus berlari 12 menit. Putaran yang melegakan. Kamu menghentikan larimu. Membiarkan kakimu beristirahat. Meregangkannya sembari meneguk satu gelas air mineral. Kamu berhasil. Pikiranmu berhasil menuntunmu menjalankan semuanya dengan sangat indah. SELAMAT BUNGA.

“MasyaAllah, neng.. capek banget. Neng sanggup kaya gitu?” Mata Kang Asep sedikit berkaca-kaca.
Kamu tertawa pelan.
“Dunia ya. Kita suka diperbudak sama dunia.” Lagi-lagi Kang Asep menggelengkan kepalanya. “Ini udah semakin parah, neng. Harus serius ditanganinnya. Kalau nggak nanti malah lebih fatal.”
Kamu tertegun. “Terus gimana dong, kang?”
“Penyakit ini emang nggak bisa sembuh 100%. Jadi harus ada kekuatan hati dan keinginan yang kuat supaya bisa sembuh. Nggak mungkin Allah kasih penyakit tapi nggak ada obatnya. Cuma neng nggak boleh kecapean. Neng kan nggak boleh lari sering-sering.”
“Tapi kok aku ngerasanya sehat-sehat aja ya, kang? Kayanya nggak apa-apa deh.”
“Emang si penderita nggak bakal ngerasain apa-apa. kerasanya ya sehat aja. Tapi sekalinya jatuh kondisi daya tahan tubuh bisa merosot drastis.”
“Sekarang daya tahan tubuh aku berapa persen, kang?”
“Mencapai 40% aja, neng. Kalau daya tahan tubuh neng sampai dibawah 30% neng harus istirahat total. Sama sekali nggak boleh ada aktivitas berat. Paling nggak satu sampai dua tahun. Bed rest total.”
Kamu terkejut, “Separah itu kah?”
“Kalau nggak serius ditangani, nanti bahaya. Harus hati-hati betul, neng. Dijaga kondisinya. Kalau nggak diseriusin, tubuh bakal sering merasa lelah, demam, alergi, dan nafsu makan bisa menurun.”
Mama dan papa menyela, “Kedah kumaha atuh, kang?”
“Usahakan satu bulan ini jangan terlalu capek. Lepas pendidikan langsung pulang dan istirahat. Akhir pekan juga dipaka aja buat istirahat. Jangan kemana-mana.”
“Sebentar lagi bulan ramadhan, kang. Boleh puasa kan?” Tanyamu terbata-bata.
“Sebaiknya jangan dulu puasa. Kondisinya benar-benar parah. Harus ada asupan gizi yang baik.”
“Tapi kan puasa bisa menyehatkan, kang?” Tanyamu sedikit memaksa.
“Menyehatkan untuk yang sehat, neng. Kalau neng yang sakit, nanti malah semakin parah. Allah Maha Mengerti kok. Allah juga tahu kalau neng sakit jadi nggak bisa puasa. Allah yang lebih mengetahui kondisi neng sendiri.”
Kamu menahan air mata.

“Neng... neng harus sadari. Neng nggak sama seperti anak-anak lainnya. Neng nggak bisa sering jalan kaki apalagi lari, neng nggak bisa kelelahan. Jadi neng harus bisa membedakan apa yang bisa dan nggak bisa neng lakukan. Neng kan nggak boleh dzalim sama badan neng sendiri.” 

Rabu, 17 Desember 2014

Kembalilah Kini

Dua minggu sudah di Sukabumi. Rindumu pada mama dan papa sudah tidak tertahan. Akhirnya handphone yang dikumpulkan sudah kembali ke pemiliknya masing-masing.
            “Pap... aku dari sini pulang jam dua siang. Nanti malemnya bisa ketemu kan, pap?” pertama kali memegang HP, kamu langsung menghubungi mama dan papa. Sayang mama tidak menjawab teleponmu.
            “Iya sayang. Bunga sehat sayang?”
            “Alhamdulillah Bunga sehat, pap.”
            Satu nama lagi. Masih ada satu nama lagi yang ingin kamu hubungi. Andi. “Apa kabar dia?” Tanyamu. Tapi tangan begitu kaku. Enggan sekali menekan nomornya. “Baiklah. Sampai di Jakarta, aku akan menghubungi dia.” Pikirmu.

From   : Krisna           
To        : Bunga
Hei. Ini hari trakhir km di smi. Bole nanti sore aku ktmu?

Aku lupa menceritakan Krisna. Sejak kepergian Andi menuju tempat pelatihannya. Krisna datang. Menawarkan jabatan pertemanan. Krisna. Dialah seniormu di masa kuliah. Wajahnya tampan. Kulitnya putih. Matanya coklat terang. Potongan rambutnya begitu modern. Badannya tinggi dan proporsional.
            “Apa sekalian aja temuin sama mama papa ya?” Tanyamu dalam hati. Tidak ada salahnya mama dan papa mengenal temanmu bukan?
            Menjelang maghrib, mama, papa, dan kedua kakakmu datang. Senyum sumringah menghiasi wajahmu yang semakin gelap. Dua minggu di Sukabumi cukup menghanguskan wajah yang memang sejak semula tidak juga terlalu putih. Kamu memeluk mama dan papa begitu erat. Kakak perempuanmu, Berlian, menatapmu lekat. “Iteman ya kamu, dek.” Begitu komentarnya.
            “Iya. Nanti juga aku putih lagi, teh. Lagian item itu eksotis!”
            Mama dan papa tertawa lepas.
            Selama menyantap makan malam, kamu tidak pernah berhenti bercerita tentang pengalamanmu di Sukabumi. Pengalaman yang sampai kapanpun tidak akan pernah kamu lupakan kecuali Allah SWT menghendakinya.
            Tidak seberapa lama, lelaki itu datang. Menyapa keluargamu dengan hangat. Ada yang beda dari tatapan mata mama dan papa. Seperti tatapan ketidak sukaan. Entah mengapa. Tria menendang kakimu sambil berbisik, “Ganteng, Bung.” Kamu hanya tersenyum.
            “Iya.” Menjawab sembari mengangguk.  
            Obrolan papa dan Krisna mulai agak serius. Seputar pekerjaan Krisna. Mama terlihat begitu antusias. “Emang kerja dimana?” Tanya papa.
“Di anak perusahaan Telkom, pak.”
“Apa tuh?”
“Jadi di Induk Koperasi pegawai Telkomnya, pak.”
“Dimana?”
“Deket Gambir.”
Entahlah perbincangan apalagi yang tercipta diantara mereka. Suasananya serius. Tetiba keheningan menghadang. “Bayar dulu aja kali ya, a.” Ucapmu.
            Krisna tetap saja duduk. Membiarkanmu berdiri. Mengambil dompet. Lalu membayar semua makanan yang dia makan. Kamu melihat teteh dan mama bertatap satu sama lain. Ada percakapan yang tersirat tanpa terucap dari keduanya. Meski sesaat, pertemuan terasa begitu hangat. Kamu berhasil melepas rindu yang dua minggu ini tidak dapat kamu lampiaskan kepada mereka, kepada keluargamu. Kamu berhasil tidur lelap. Malam singkat yang menyenangkan. Menorehkan senyum manis dalam tidurmu.

       Perusahaanmu sekarang memberimu tempat tinggal untuk satu minggu saja. Di sebuah hotel di samping Gedung Diklat. Hotel itu berjumlah enam lantai. Sayangnya tidak seperti hotel kebanyakan yang menaruh televisi di dalam kamar, hotel itu tidak menyimpan televisi di kamar. Hanya ada empat ranjang lengkap dengan selimut, bantal, dan sepre berwarna putih. Setiap penghuni mendapatkan meja belajar dengan lampu duduk diatasnya, dan lemari pakaian. Lemari diletakkan dekat dengan pintu kamar mandi. Mungkin bertujuan agar kamu mudah menggapai benda-benda di dalam lemari setelah keluar dari kamar mandi. Ada dua kamar mandi yang menyambutmu setelah pintu masuk. Di satu sisi terdapat lemari yang barangkali digunakan untuk menyimpan buku. Sedangkan di satu sisi lainnya terdapat kaca yang besar. Kaca dengan gordin berwarna krem. Kaca yang menghadap ke sebuah rumah dengan halaman yang luas. Dapat dibayangkan seluas apa kamar itu. Ya kamar itu memang untuk empat orang.
Kamu, Susan, Lia, dan Novi. Satu minggu ke depan kamu akan berada dalam satu kamar dengan mereka. Mereka adalah teman yang kamu temui. Teman sekaligus keluarga baru yang hadir dalam hidupmu. Meski baru saja ya baru saja saling mengenal dua minggu lalu, kalian sudah begitu akrab. Tidak ada kecanggungan. Entah apa yang menyatukan kalian. Kalian sudah mulai menjaga dan memahami satu sama lain. Seringkali
          Susan misalnya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki. Dia lulusan salah satu Universitas negeri di Malang. Dari caranya berhijab, kamu dapat menilai bahwa dia hijaber yang selalu mengikuti trend. Kerudungnya selalu yang persegi panjang, dengan jarum di kanan-kiri kepalanya. Panjangnya selalu menutupi dada. Susan juga paling tidak suka menggunakan celana jeans. “Pantatku kan besar, kalau pake jeans kelihatan banget besarnya.” Begitu ucapnya setiap kali ditanya alasan tidak suka jeans. Dari cara bicaranya, kamu dapat menilai bahwa dia perempuan dari keluarga baik-baik saja. Meski sering kali kata-katanya terlihat begitu kasar dan kotor. Mungkin dia salah bergaul dulu atau bisa saja karena gaya hidup keluarganya. Hampir setiap malam dia menelepon keluarganya. Ayah dan ibunya. Dan setiap kali dia menelepon, kamu mendengar suara manja pada ayahnya. Hangat dan begitu dekat. Begitulah gambaran setiap kali dia berbincang dengan ayahnya. Seperti seorang kekasih yang tengah menelepon kekasihnya yang jauh disana. Susan punya seorang pacar di Malang. Satu kampus dengannya. Sayangnya kekasih hati di sana belum lulus kuliah. Kamu selalu bertanya-tanya, “Gimana LDR bisa berjalan lancar? Bukankah cinta yang jauh dan dingin akan digantikan oleh cinta yang dekat dan akrab? Paling tidak itulah yang diucapkan oleh Pak MT.”
        Lia. Beda orang beda kepala. Beda kepala beda pemikiran. Beda pemikiran beda karakter. Beda karakter ya beda juga sikapnya. Susan dan Lia berbeda. Lia cenderung lebih hangat, penyayang, lembut, dan keibuan. Yang kamu suka darinya adalah perhatian hangat dan tulus yang selalu dia ungkapkan. Konsisten. Satu kata lain yang dapat menggambarkan kepribadian seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dengan kulit putih. Lia selalu konsisten mencintai kekasih hatinya yang saat ini juga tengah bekerja di salah satu bank swasta. Setiap malam, Lia selalu saja terlelap dengan handphone membeku di telinganya. Ya. Dia harus selalu bercengkrama dengan kekasihnya meski hanya via suara. “LDR never works, Li.” Komentarmu sinis. “Yang penting keduanya bisa jaga kepercayaan, Bung.” Jawabnya ringan. Lia benar. Hanya saja kamu tidak pernah berhasil membuktikan kebenaran yang disampaikan Lia. Pergi meninggalkan Andi dua minggu saja, dua minggu saja, dia sudah meninggalkanmu. Sesuatu yang luar biasa yang dia miliki adalah mulut tajamnya. Lia selalu memberikan mereka nasehat dengan caranya sendiri. Pelan namun menusuk. Tapi justru yang menusuklah yang mampu menyadarkanmu bukan?
       Satu lagi. Si hitam manis, Novi. Dia punya kharisma yang tidak dimiliki wanita lain. Sikapnya yang mudah bergaul membuatnya dekat dengan para lelaki. Tidak jarang juga dia mengajarimu cara menggombali lelaki. Tapi tahukah? Novi. Memiliki hati dan pola pikir yang dewasa. Dia mampu memberimu nasehat jika yang kamu keluhkan adalah masalah yang pasti, masalah hati. Dia dapat membawamu melihat masalah dari berbagai sisi kehidupan. Kehadirannya membawa kemeriahan. Meski anak orang kaya, Novi tidak manja. Dia mengajarimu menikmati hidup dengan kemandirian. Meski kadang dia juga menjadi jauh lebih manja dibandingkan dirimu. Wajar toh. Manja adalah sifat dasar wanita.
            “Muka kamu merah, Bung.” Ucap Lia.
            “Iya. Kayanya mau flu.” Ucapmu.
            “Ya udah. Jangan kemana-mana. Istirahat dulu. Baringan ya.”
             Kamu memutuskan untuk membatalkan janji dengan teman-temanmu. Nampaknya tubuhmu lebih lelah dari yang kamu duga.
        Rasanya selimut malam ini tidak begitu hangat. Kamu melipat kaki. Menahan dinginnya malam meski air conditioner sudah dalam keadaan off. Hpmu berdering. Mama rupanya. “Iya, Ma?”
            “Bunga kok suaranya bindeng gini. Kenapa?”
            “Bunga kayaknya mau kena flu, Ma. Ini lagi baringan di tempat tidur.”
            “Udah makan?”
            “Udah tadi pas buka puasa, Ma.”
            Mama menutup telepon setelah menyampaikan beberapa wejangan.
Tidak seberapa lama, papa menelponmu. ”Bunga puasa?”
            “Iya, pa.”
            “Papa nggak abis pikir sama Bunga. Kan Bunga belum boleh puasa. Kenapa bunga puasa? Bunga itu capek abis dari Sukabumi. Eh malah puasa. Gimana sih? Sekarang udah makan kan?”
            ”Papa nggak usah panik. Bunga baik-baik aja. Cuma mau flu aja kayanya. Bunga istirahat dulu ya, pa.”
            “Bunga jaga kesehatan ya. Nanti Jumat papa jemput. Kita ke Bandung sabtu Pagi. Ketemu Akang ya.”
           
            From   : Andi
            To        : Bunga
            Mulai skrg km lupain sy

            From   : Bunga
            To        : Andi
            Apa salah neng, a? Knp aa giniin neng? Knp aa ninggalin neng?

            From   : Andi
            To        : Bunga
            Technically, kamu yg ninggalin sy

    SMS masuk dari Andi. Menampar wajahmu. Apa dia benar-benar telah meninggalkanmu? Tanpa menatapmu? Dia meninggalkanmu? “Apa salahku?” Tubuhmu semakin panas. Wajahmu terus memerah. Air matamu berlinang. Kamu sendirian. Sendirian di kamar yang luas. Dengan pertanyaan yang sama, “Why?”
Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Mungkin di malam inilah resmi Andi menyatakan keinginannya meninggalkanmu. Dia memintamu melupakannya. Hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi. Ingatan tentang cinta dan kasihnya akan selalu kamu rasakan di hati. Ingatan yang membuatmu berjanji akan membuangnya nanti. Nanti ketika kamu di-khitbah lelaki lain. Ingatan yang juga menyakitimu. Menyakitimu begitu dalam. Andi benar-benar telah meninggalkanmu.