Kamis, 21 Juli 2011

it's not suppose to be proved

Kalau ada dua orang yang kehausan, yang satu berteriak “Aku haus mama... aku haus mama...” sedang yang satu lagi tidak berkata apapun, ia hanya beranjak dari duduknya dan mengambil segelas air putih. Menurut Ni, mana yang benar-benar haus?”

Pertanyaan yang setahun lalu pernah dilontarkan seorang pria padaku. Senior di SMA. Aku langsung menjawab, “Yang kedualah. Dia tidak mengatakan apapun. Langsung bertindak.”

Begitu pun dalam sebuah kerinduan, katanya. Ketika aku merindukan seseorang aku harus buktikan kerundian itu. Bukan hanya dengan ucapannya. Sejak saat itu, aku tidak pernah berpikir akan benar-benar merindukan seseorang. Bahkan ketika mama dan bapak ada di Rangkas pun aku tidak pernah berani mengatakan “rindu”. Aku takut rindu yang kuucap itu hanya ucapan belaka, bukan rindu sesunguhnya. Padahal kala itu, aku benar-benar merindukan mama dan bapak. Tapi aku tidak bisa pulang ke Rangkas, memeluk mama dan bapak, membiarkan mereka mencium pipi dan keningku. karena aku harus kuliah.

jadi? Haruskah kesungguhan rindu dicurahkan dengan pandangan sesempit itu? Bagaimana kalau aku merindukan Mutia Muthahirah (sahabat terkasih) di Makassar? Bagaimana kalau aku merindukan sahabat lain yang ada di luar kota sedang kantong tidak mendukung untuk segera meluncur kesana, membuktikan rindu yang kurasa? Bagaimana?

See?!

Untuk menunjukkan bukti rinduku pada seseorang, aku terbentur Budget Constraint. Dimana pendapatan yang kuperoleh tidak cukup untuk membawaku membuktikan rindu kepada orang yang kurindukan. Karena aku harus mempertimbangkan konsumsi saat ini dan masa depan (termasuk konsumsi di akhirat). Jadi? Ketika aku mengeluarkan pendapatan melebihi Budget Constraint, aku tidak akan mendapatkan utility maximization.

Untuk menunjukkan bukti rinduku pada seseorang, aku terbentur teori MRS. Marginal Rate Substitution. Aku harus mengorbankan sesuatu yang lain demi mencapai sesuatu yang lain. Ketika aku dihadapkan pada pilihan untuk membeli makan siang di kampus (dulu sebelum bawa bekal :D) atau aku harus menabung lebih banyak agar bisa menemui orang yang kurindu, sepertinya aku akan memilih membeli makan siang, karena itu adalah modal utama aku dapat tumbuh dan berkembang :D. Untuk bisa mengunjungi teman di Makassar, aku harus mengorbankan porsi makan (membeli sedikit makanan agar uang yang ke luar sedikit juga). Intinya disini adalah, seseorang harus memilih satu hal yang mampu memuaskan dirinya. Tidak bisa memilih keduanya.

So?!

Haruskah ketika rindu kita menemui orang yang kita rindukan?

jawabanku adalah TIDAK! Cobalah ungkapkan kerinduan yang dirasakan maka dampaknya akan sangat baik. Akhirnya sering kuungkapkan rinduku pada mama dan bapak setiap kami berpisah. Akhirnya sering kuungkapkan cintaku pada mama dan bapak setiap kami berpisah atau tidak.

Aku akan lebih sering mengungkapkan rindu dan cintaku pada mereka, mama dan bapak. Sekalipun aku yakin, meski tidak ada satu kata rindu dan cinta yang kuucap, mereka tahu aku mencintai mereka... tapi aku hanya ingin mengungkapkannya selama masih ada waktu untukku bertemu mereka.

“I LOVE YOU” is not gonna be my last words... because i always say it, till the end of my time.

Kamis, 07 Juli 2011

Perbincangan Malam Lalu

Malam sebelum mama pulang ke Rangkasbitung...

“Mama... Udah tenang aja. Ni bisa bikin sendiri kok. Ni kan bukan anak kecil lagi. Mama jangan terlalu khawatir.”

“Iya gitu? Bukan anak kecil lagi? emang umur Ni berapa?” Tanya mama menggoda.

“Agustus nanti kan 20, mam...”

“Tapi kok kalo makan masih mau disuapin sama mama?”

zzzzzzzzzzz

“Ni, kok makannya sedikit?” Tanya mama lagi sambil melihat nasi di atas piring biru kesukaanku.

“Nggak nafsu makan, ma.”

“Tuh. Mama nggak mau Ni sakit. Emang lagi ada pikiran apa? Udah. Kondisi bapak kayak gini nggak usah dipikirin. Yang penting Ni kuliah yang bener. Mandiri.”

“Nggak mikirin kok, mam. Sekarang Ni emang fokus kuliah, mam. Nggak mikirin pengen cepet nikah, mam. hehehe.”

“Pujing kamu mah kalo banyak pikiran suka sakit. Jangan sampe kaya kemaren. Masuk RS gara-gara beban pikiran. Ke jantung juga kan jadinya.”

Deg! jantungku langsung berdegup. “Dari mana mama tahu ‘beban pikiran’ itu?” Tanyaku dalam hati.

“Teranglah mama tahu. Mama yang ngandung. Mama yang ngelahirin. Mama yang besarin. Kenapa nggak mau cerita sama mama?”

“Takut mama anggep dia jelek.” Jawabku singkat.

“Dengerin mama ya, Ni. Jangan pernah kamu nangis gara-gara lelaki. Apalagi sakit. Kecuali kalo dia suami kamu. Itu baru boleh. Laki-laki yang baik itu, bakal ngejaga omongannya ke kamu. bakal juga ngejaga kesetiaannya ma kamu. semua itu bentuk penghargaan dia ke kamu.”

“Siap, ma!!” Sambil hormat. Mama geleng-geleng kepala.

“Ni, mama nggak pernah ngelarang Ni deket sama siapapun. Soalnya, mama mau Ni seneng. Nggak ngerasa dipaksa sama mama. Tapi Ni harus cari laki-laki yang cuma cinta sama Ni aja, tapi juga cinta sama keluarga Ni. Suami yang bisa ngebimbing Ni dunia-akhirat, suami yang bisa ngehargain Ni, suami yang bisa penuhin kebutuhan Ni.”

“Lah mama? kenapa ngomong kayak gini?”

“Nggak. Tiba-tiba aja mama keingetan Na nanya gini, “mam. kalo setelah lulus kuliah ni langsung nikah boleh ga?” Ya mama kaget dong.”

GUBRAK! tuh anak satu!

“Mama kan jadi ngerasa kayaknya harus ngomong kayak gini sama Ni.”

“Mama tenang aja ya. target ni nikah 23 kok. Jadi tahun depan ni lulus, ni langsung kerja, beliin mama bapak rumah patungan sama yang lain, baru entar ni nikah.”

“Iya. Mama tahu. Ni, tahu nggak? kalo udah tua itu pengennya deket anak aja loh. Mama mah pengen ni tetep di Bandung atau nggak masih di pulau Jawa deh setelah nikah. Kalo mama udah tua, mama cuma bisa bertumpu sama anak.” Pembicaraan mama mulai menjurus.

“Mama. Jangan pikirin aneh-aneh deh. Mama tenang ya... Kalo ni punya uang banyak, ni bakal beli rumah pas di samping rumah mama. Jadi kalaupun Ni nggak di Bandung, Ni bakal sering main ke tempat mama. kan rumah Ni deket rumah mama.”

Mama diam. Kulihat mata mama berkaca-kaca. Aku tahu betul. Berbagai hal yang dialami belakangan ini, membuat mama terlihat jauh lebih tua dan rentan. Aku melanjutkan makan malam yang tertunda.

“Mama kenapa?”

“Nggak apa-apa Ni. Mama cuma mau semua anak mama dapet yang terbaik aja. Mama nggak mau anak mama susah. mau beli ini, susah. mau jajan aja, susah. mama nggak mau. mama sama bapak nggak bisa kasih apa-apa. Cuma bisa kasih ilmu. itu pun nggak seberapa.”

dengan sadar, aku meneteskan air mata.

“Mama tenang ya. apa yang mama bapak kasih itu lebih dari cukup. Ni mohon doa dari mama ya. Biar kuliah ni lancar, ni bisa lulus cepet, dapet kerja, biayain kuliah epang juga, dapet suami yang sayang sama mama bapak dan semua keluarga ni. Ni mohon doa aja ya, ma.”

mama segera menyeka air matanya.

malam haru yang penuh air mata di atas meja makan.

Sabtu, 02 Juli 2011

Kapan terakhir kali?

sang dosen yang menyenangkan dan membuat suasana kelas tidak menyeramkan itu mengatakan,
"Kalian harus balance antara main dan belajar. Menurut saya, orang bego yang belajar waktu minggu tenang. Seharusnya kalian tenang aja. Main kemana. Kan belajarnya udah selama kuliah. Jangan sampe waktu kuliah mengganggu waktu main dan waktu main mengganggu waktu kuliah. Menurut penelitian, orang yang mendapat nilai tinggi itu adalah orang yang jiwanya tenang saat ujian. Bukan orang yang belajar mati-matian."
Depp!!! jantungku bergetar setelahnya.
"Yap! kapan terakhir kali aku pergi main dan me-refresh-kan otak?"
jawabannya adalah TIDAK TAHU. Di hari Senin lalu aku memang pergi ke CIC, tapi itu bukan sengaja pergi untuk main... aku pergi ke CIC setelah melakukan survey villa di Jayagiri.
And guess what? aku bawa motor sendiri. Jadinya bukan refreshing dong. lawong badan aku jadinya pegel-pegel.
"Yap! Kapan terakhir kali aku pergi jalan-jalan? Sekadar mencari buku... sekadar nonton film di bioskop... sekadar masuk supermarket dan melihat perlengkapan bayi..."
sebenarnya masih banyak lagi kegiatan yang selalu kulakukan mengisi weekend. Walaupun seorang diri. :)
Tapi entah kenapa... belakangan aku terlalu sibuk dengan urusan kuliah, organisasi, dan kursus... "Wait!! Am I too busy to get out and have fun? or I just looked for it?"
Sepertinya aku memang tidak cukup bisa menjadikan kesibukan sebagai alasan untuk tidak pergi bersenang-senang. Justru akulah yang mencari-cari kesibukan untuk bisa bertahan. Sejak 3 bulan yang lalu, aku tidak ingin pergi berjalan-jalan sendiri. Aku tidak mau nonton film di bioskop sendiri -yang biasanya aku lakukan sejak masuk kuliah-, aku juga tidak mau berjalan di supermarket untuk melihat barang bayi seorang diri -hal yang sama yang selalu kulakukan setiap kali merasa penat. sekalipun harus seorang diri-
Intinya adalah aku tidak mau pergi sendiri untuk menghilangkan kepenatan kuliah, organisasi, dan kursusku. Aku hanya ingin seorang teman untuk berjalan menghilangkan kepenatan.
Siapa dia?
Entahlah. I don't meet him/her yet.

Jumat, 01 Juli 2011

impian

Salah satu dari puluhan impian yang sudah kususun dan akan segera kugapai adalah UMROH. Saktu aku SMP kelas 2 (kalau tidak salah), mama dan bapak pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan salah satu rukun islam yang kelima. Sepulangnya dari sana, mama dan bapak cerita banyak hal. Betapa nikmatnya beribadah disana, betapa sayangnya meninggalkan waktu sedetik pun hanya untuk bermalas-malasan, dan masih banyak lagi.

Sejak saat itu, aku punya impian untuk pergi umroh bersama seluruh anggota keluarga; mama, bapak, aa, teteh, Epang, and my beloved twin sister; Na.

Oke. first, i wanna tell something. there’s a different thing betwen “impian” and “mimpi”. kalau impian menurut aku, adalah sesuatu yang harus bisa dicapai di masa mendatang. sedangkan mimpi, ia hanya bunga yang menemani tidur, di dalam mimpi semua abstrak. Teringat ucapan Pak Gadang, Dosen BJT dan Manstra. “Ketika anda bertemu dengan pacar dalam mimpi, apakah anda tahu pakaian warna apa yang anda pakai? Tidak! Di alam mimpi, kekasih hati itu hanya berwarna hitam dan putih. Tidak tanpa jelas.” Sedangkan impian menurutku, lebih berwarna. Ianya mampu kita capai karena bukan sesuatu yang abstrak.

Back to umroh.

Aku pikir, usahaku untuk mencoba membuat impian itu menjadi kenyataan setelah lulus kuliah dan setelah mendapat kerja.

Tapi sekarang aku tahu. Aku tahu kalau aku salah. Tidak semua hal bisa kita upayakan setelah kita lulus dan dapat pekerjaan. Segala usaha dapat kita lakukan dari sekarang. Tidak perlu menunggu kita dapat menghasilkan uang sendiri. Teringat ucapan Aa Gym. Beliau mengatakan, “Mulailah menabung dari sekarang untuk umroh di kemudian hari.” (kurang lebih seperti itu). Jadi kupikir, tidak peduli besar atau kecilnya uang yang kukumpulkan tiap harinya untuk pergi kesana bersama seluruh keluarga, tetapi niat dalam diri untuk pergi kesana. Allah Maha Segalanya. Allah Mengetahui sebesar apa usaha yang dijalankan oleh umat-Nya.

“Ya Allah... Semoga Engkau menjaga istiqomah hamba dalam setiap upaya agar hamba dapat pergi ke rumah-Mu. Aamiin.”