Minggu, 30 September 2012

Ibu Rumah Tangga?


Dilatarbelakangi oleh sebuah diskusi sederhana dalam sebuah forum grup media sosial, aku mulai ingin beropini tentang apa dan siapa sebenarnya Ibu Rumah Tangga. Yang namanya opini, tentu ini murni pendapatku meskipun mendapat referensi dari berbagai sumber. Jadi kalau memang pendapat Sahabat berbeda dengan pendapatku. Tak masalah. Perbedaan akan terus ada sampai akhir zaman bukan? Jadi jangan sampai karenanya kita malah berpecah belah.
Prolog sebuah diskusi adalah ucapan selamat karena salah satu resolusiku yang telah tercapai di tahun 2012. Mereka memberi ucapan selamat yang kurespon dengan kata “terima kasih”. Dan dimulailah diskusi tentang ibu rumah tangga. Beberapa senior mengira aku akan menikah tahun ini karena memaksakan untuk lulus. Aku hanya meng-amin-kan ucapan mereka. Kuanggap doa.
“Sebagai seorang wanita yang baru saja lulus, menurut vani gimana pendapat tentang ibu rumah tangga?” (inti dari pertanyaan yang mereka ajukan)
Baiklah. Jawabanku;
Sebelumnya aku ingin menyatakan sesuatu. Memang benar. Alasanku untuk lulus cepat adalah untuk bisa segera menggapai mahligai pernikahan. Mengapa? Mama dan bapak memintaku untuk menikah setelah aku bisa mandiri. Baik dari sisi finansial maupun segala hal. Lahir dan batin. Dengan cepat lulus, aku bisa cepat berupaya memandirikan diri dari aspek finansial. Sedang ilmu untuk menikah, sudah kupelajari sejak semester dua. Ketika jiwa pernikahan menikam pikiran. Meskipun ilmuku masih sangat cetek. Setelah mandiri secara finansial, aku bisa maju ke tangga pernikahan, membina sebuah keluarga dengan lelaki yang Allah swt siapkan sedari dulu.
Cita-cita terbesarku adalah menjadi ibu rumah tangga. Yang setiap saat bisa melihat anakku tumbuh, memastikan pertumbuhannya baik, dengan pembelajaran yang baik, dengan gizi yang baik, dan ditangani orang yang terbaik, ibunya sendiri. Cita-cita terbesarku menjadi ibu rumah tangga. Yang ketika suami berangkat mencari segudang berlian untuk memenuhi kewajibannya, ia percayakan anak padaku, ia pergi dengan tenang karena percaya padaku, ia mencium keningku, kucium tangannya, menunggunya pulang kantor, ia memperlakukanku dengan baik, tidak menganggapku pembantu (yang mencuci baju, membereskan rumah setiap hari, atau sejenisnya), pokoknya semua hal yang membuatku bahagia lahir batin. Sebelumnya, aku tegaskan disini. Bahwa ibu rumah tangga yang aku maksud di sini adalah seorang wanita yang sudah menikah, tidak bekerja, memilih di rumah untuk mengurus anak-anak dan suaminya. Baginya, orientasi karir adalah keluarga.
Okay. Kenapa ibu rumah tangga? Bagiku ibu rumah tangga lebih dari sekadar profesi. Makna dan artinya jauh lebih dalam. Dari  hasil tetesan air mata kasih sayang, seorang ibu rumah tangga dapat menciptakan khalifah terbaik di dunia. Jadi sebenarnya, aku kurang setuju jika ibu rumah tangga disebut profesi. Ibu rumah tangga juga bukan sekedar gelar kepada wanita yang sudah menikah. Lebih dari itu. Ibu rumah tangga memiliki kecerdasan yang luar biasa, bisa mengurus suami dan anak bersamaan. Bukankah luar biasa? Pekerjaan yang dikerjakan seorang ibu rumah tangga. Bahkan kata “luar biasa” saja tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya seorang wanita yang memilih jadi ibu rumah tangga.
Tapi ada wanita lain di sana yang hebat. Wanita jenis kedua ini, bisa menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. Walaupun bagi sebagian besar orang, tidak mungkin bisa berhasil keduanya, antara rumah tangga dan karir. Aku bertemu wanita-wanita jenis kedua di sebuah perkantoran, bercerita seputar kehidupan mereka. Betapa mereka bisa memprioritaskan segala hal. Kurang lebih seperti itu.
Aku tidak pernah mau menilai mana yang lebih baik; ibu rumah tangga atau wanita karir. Allah swt yang lebih tahu yang lebih baik. Jadi untuk apa berdebat? Ini hanya seputar pendapat. Yang selalu kuyakini; wanita adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah swt. Kehadiran hawa yang mampu melengkapi tulang rusuk adam, kehadirannya yang mampu menentukan keberhasilan sang suami, dan kehadirannya yang membuat generasi muda lebih baik.
Tapi, ada jenis wanita lain. Yang memilih sendiri untuk menggapi karir di puncak himalaya. Aku tidak ingin mengomentari. Bukan wewenangku. :D

Intinya adalah, menjadi apapun itu, wanita harus kembali pada kodratnya. Menjadikan pria sebagai imamnya. Sebesar apapun gajinya, setinggi apapun jabatannya, ia harus tunduk pada suami selagi pada hal yang tidak bertentangan dengan syariat.
Ketika seseorang bertanya padaku, “kamu milih mana, jadi wanita karir atau ibu rumah tangga?”
Aku menjawab: “Apapun aku jadi, aku ingin mengikuti ke-ridho-an suamiku. Jika suamiku meridhoi aku menjadi ibu rumah tangga, tak masalah. Jika kelak ia memintaku untuk menjadi ibu rumah tangga sambil bekerja, aku pun mengikutinya. Karena ridhonya yang menggiringku ke syurga Illahi.”

Sabtu, 22 September 2012

Bad memory

22 September 2012
11.00 PM

Aku percaya sekali ada hikmah di setiap kejadian. salah satunya ini. oh iya. tunggu dulu. sebelumnya aku mau bilang makasih udah nemenin di perjalanan pulang. 
Hari ini aku ke kampus. Karena motor mau dipake, aku mengalah. Epang mengantarku ke kosan Hesti dulu. Mau kasih data. Barulah dari Hesti selesai menunaikan kewajiban, aku pergi ke kampus, berdebar menyongsong pengumuman jadwal sidang yang sudah bertengger di kaca ruang sekretariat. Gelap ruangan tidak memburamkan mata untuk melihat kertas yang bergantungan. Sayang sekali sang tentara penjaga depan ruang sekretariat (pintu kaca) terkunci rapi. 
"Dikunci neng. Kuncinya di satpam."
"Makasih, A."
Dibalut teriknya matahari menyipitkan mata, aku berjalan dengan penuh semangat ke pos satpam. Sedikit berbincang lalu menyatakan tujuan aku datang menghampiri bapak berseragam biru tua. Sepertinya bapak satpam enggan membuka pintu kaca untukku. Aku terus berdoa dalam hati. Akhirnya, Beliau bersedia. "Terima kasih, Pak." Singkat cerita, aku sudah tahu kapan waktu pasti sidang akan kugapai. 

Selesai semua urusan, aku langsung menuju depan ATM kampus. Ada janji sama sahabat semua. Katanya pukul 12.30 WIB, tapi tidak ada satu orang pun di sana. Eh iya. Ada. Saat aku berjalanan ke depan ATM, dikejauhan ada dia. Pake jaket ijo lumut. Sedikit mengobrol. Eh tidak. Obrolan yang tumbuh banyak. Jam 13.00 WIB sudah. Tidak ada satupun. Hanya aku dan dia. Aku kirim sms sama sahabat. Tahunya dia di ruang ATM, aku dan dia segera ke ruang ATM. Ramai ternyata. Aih. Kenapa gue nggak dikasih tauuu!! Bete. 
Singkat cerita, kami semua berangkat ke TSM. Makan siang bareng, Sholat bareng, dan foto-foto. 

Selesai juga,
Aku pulang dengan angkot. Dia pun pulang tanpa ada motor yang mau ditebengi. Sebenarnya bukan tidak mau. Tapi karena motornya kurang. Akhirnya, Dia menemaniku di angkot. Nah... di saat inilah bad memory came. 
aku menegang. Rasa khawatir dan takut menyerbu. Jantung berdegap kencang saat aku naik angkot lalu Dia mengikuti di belakang. 
Terakhir kali aku naik angkot, sepulang dari Masjid Cipaganti. mengikuti pengajian di sabtu sore. karena macet yang pasti mendera, aku malas bawa motor. Alhasil, pulang pergi naik angkot. Waktu pulang, aku naik angkot biasa. Angkot dalam keadaan penuh. Tenang hati. tapi di jalan Riau, beberapa orang turun. Hingga akhirnya tersisa aku dan sopir. 
di sekitar jalan apa aku lupa, seorang cowok masuk. Aku mulai takut. Lama sekali dia menatapku dalam. Aku merasa diperhatikan. salah tingkah.
Akhirnya sampai juga di tujuan. Si cowok yang tadi menemani perjalananku ikut turun. mengikutiku menuju tempat ojeg. aku terus berdzikir dalam hati. mengingat Allah sepenuh hati. memohon pertolongan-Nya. tiba-tiba. cowok itu menepuk pundakku. dengan tatapan yang sama saat di dalam angkot, yang sudah cukup lama mengikuti langkah kakiku, dia bertanya, "Mba tau tempat ojeg ga ya?" 
Aku kaget bukan main. padahal di samping kiri. yap. tepat di samping kiri, banyak orang duduk di atas motornya, mengenakan helm berwarna seragam, dan tertulis di dinding OJEG. "Tapi kenapa tanya saya?" Takutku dalam hati. 
Aku menjawab, "ini." Sambil menunjuk ojeg tujuanku. 
Aku takut bukan main. 
Diikuti orang yang tidak dikenal
yang memperhatikanku lama
dengan tatapan.... yang tidak bisa tergambarkan.

but anyway, makasih banget udah nemenin di angkot malam ini. jadi aku nggak perlu takut...

Jumat, 21 September 2012

Donor Darah

Menjadi pemberi yang tulus

Begitulah salah satu tips menjadi muslimah yang menyenangkan. Kubaca dalam sebuah buku motivasi di perpustakaan Bank Indonesia sembari menunggu hal print out IDI selesai. 
Benar juga rasanya. Seorang muslimah harus memberi dengan tulus. Apapun yang diberi. Untuk memberi tidak perlu menunggu sampai kita punya uang, atau menunggu suatu momen terjadi. Contohnya. Aku sering denger cerita dari temen, kalau kebanyakan pacar mereka menjanjikan akan memberi banyak hal JIKA mereka benar-benar akan menikah. Hey! Apa memberi harus menunggu sampai kamu menikah? Kalau begitu, akan banyak istri yang kamu miliki. Karena kamu hanya akan memberi pada wanita yang menjadi istri kamu. Tentunya masih banyak contoh lain. 

Baiklah. I will start my story.
Senin. 17 September 2012. Ada donor danar di Bank Indonesia. Dan atas kehendak Allah, aku sedang berpraktek kerja lapangan atau PKL di sana. Semua pegawai dalam ruangan sudah menulis golongan darah masing-masing satu hari sebelum akhir pekan. Sedang aku, terdiam. Entahlah. Rasanya sangat takut untuk mendonorkan darah yang sedang mengalir dalam tubuh.
Sebenarnya sudah sangat sering tanganku ditusuk-tusuk jarum. Mulai dari dipasang infus sampai diambil darah untuk cek lab setiap hari di RS. Tapi untuk mendonorkan darah? Tak bisa kubayangkan. Karena pastinya darah yang diambil sangat banyak.
Yap. Pagi itu, semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Termasuk aku. Salah satu pegawai di sana, mendelegasikan (gaya bener) tugasnya padaku. Sang ibu baik hati langsung pamit ke pada atasannya untuk donor darah. Tidak berapa lama, teman kerjaku juga pergi untuk donor darah.
Pak Osi mengajakku donor darah. Berat hati rasanya. Jarum suntik terbayang jelas di seluruh bagian otakku. "Neng ayo neng. Kita donor."
"Ah nggak ah pak. Vani belum pernah soalnya."
"Makanya, Neng. biar pernah. Donor itu sehat loh."
Aku senyum tanda menolak. Beberapa detik setelah Pak Osi mengajak, Bu Yanti masuk ruangan membawa kantong besar. Isinya ada makan siang, susu 1 Liter, pisang (kesukaanku), biskuit gandum, obat penambah darah, dan minuman rasa buah. Kantong dan seluruh isinya diperoleh Bu Yanti setelah donor darah.
Aku terpikat. Ingin mendapatkan kantong yang sama. Segera kusambar pintu. Menyusul Pak Osi.

Di depan pintu masuk ruangan donor, aku tertampar. Bodohnya jika donor darah ini kuniatkan untuk mendapatkan makanan dalam kantong plastik besar berwarna putih. Aku terdiam. Kuucapkan basmalah. Lalu melangkah mantap ke dalam ruangan. Mengganti niat yang sudah belok dengan niat yang lebih lurus. Menyenangkan.
"Ya Allah, aku niatkan donor darah ini untuk membantu sesama. Sehingga aku bisa mendapatkan Ridho-Mu yang luar biasa. Maka berilah aku kekuatan, Ya Rabb." Aku benar-benar cemas dan ketakutan.
Aku melangkah menuju dokter, untuk memeriksa kondisi tubuhku.  "Oke. Bagus semua. Periksa Hb dulu, nanti sarapan ya, Dik!" Perintah dokter. Aku mengikuti. Ardhi (temen magang) menemaniku sarapan di ruang  rapat papandayan. Setelahnya, aku kembali ke ruang donor. Kudapatkan dua kantong darah untuk diisi kemudian mengantri sambil duduk.
Berapa menit kemudian, aku berdiri. Berjalan menuju tempat tidur setengah duduk. Mengangkat lengan kemeja putih yang kukenakan. Bertakbir dalam hati. "Semua akan baik-baik saja". Suster siap menusuk tangan kananku. Aku berpaling ke arah kiri. Menolak penglihatan pada jarum yang mulai bermesraan dengan pembuluh darah. "Alhamdulillah... masuk juga jarumnya."

Semua selesai. Aku baik-baik saja. Allah senantiasa melindungi umat-Nya.

Yap. Aku belajar sesungguhnya untuk meluruskan niat sehingga aku dapat menjadi pemberi yang tulus.

Sabtu, 08 September 2012

Apa kabar?


apa kabar kamu di sana? aku merindumu di sini. tapi sayang. gengsi mengepul di seluruh tubuh. rasanya enggan mengungkap rindu terdalam padamu.
apa kabar kamu di sana? di sini ada seseorang yang dengan mulia dan bijak. aku selalu mengingatmu. tapi sayang. gengsi mengepul di seluruh tubuh. rasanya enggan mengungkap kebenaran terdalam padamu.
semoga kamu baik-baik saja.
kata mama, aku terlalu bodoh melalaikan cinta mulian dan bijak yang datang.