Minggu, 18 Mei 2014

Kesempatan Baru

            Selamat Anda lolos untuk tahap Medical Check Up :
            Bunga Zevalia Alamsyah
           
            Tepat jam 11.00 WIB kamu menerima pesan sms kalau kamu mendapatkan kesempatan MCU untuk level Officer di salah satu bank. Kamu berteriak bahagia. Melompat-lompat kesana-kemari. Menghampiri mama yang sedang asik di dapur. Kala itu, kamu memang ambil cuti satu minggu untuk tidak masuk kantor.
            Tubuhmu merasa kurang sehat. Benar-benar kurang sehat. Waktu Andi mencampakkanmu. Si “istimewa” muncul bak tamu yang tidak diundang. Hampir dua hari kamu tinggal di rumah Kak Revian. Ditemani mama dan papa. Kondisimu semakin membaik. Meski masih saja setiap malam kamu bertanya-tanya apa sebenarnya salahmu sampai Andi berubah seperti ini.
            “Alhamdulillah sayaaang...” Papa mencium keningmu. Hangat sekali.
            “Alhamdulillah...” Raut wajah mama yang berbeda.
            “Mama kenapa?” Tanyamu pelan sekali.
            “Mama khawatir. Kalau Bunga beneran masuk, nanti Bunga lebih sibuk dari sekarang. Bunga bisa sakit.” Mama menghapus air mata yang jatuh.
            “Mama nggak usah khawatir ALLAH lebih mengenal Bunga bahkan dari diri Bunga sendiri. ALLAH nggak mungkin kasih kehendak yang salah. Kalau memang Bunga lolos sampai akhir, berarti ALLAH tahu betul kalau Bunga mampu dan pantas, ma. Ini mimpi Bunga, ma. Bunga bisa dapat kehidupan yang lebih baik. Buat mama papa bangga. Bahagiain mama dan papa juga.
            “Iya, sayang. Mama selalu mendoakan Bunga sehat dan baik-baik aja ya. Bunga mendapatkan semua yang terbaik.” Kamu memeluk mama dengan erat.
            “Allah pasti kasih yang terbaik buat Bunga!” Papa menutup kesedihan pagi itu. 

            From   : Bunga
            To        : Andi
            Aa apa kabar? Semoga aa baik y. Aa alhamdulillah neng lolos MCU.
            Mksh doanya y a.

            From   : Andi
            To        : Bunga
            Alhamdulillah, sayang... aa tau km mampu dan km bisa
            Aa bangga sama km

            “Sayang?” Tidak pernah memberi kabar beberapa minggu, Andi memanggilmu sayang setelah kamu memberi tahunya kalau kamu lolos MCU? Apa-apaan dia? Apa dia hanya menginginkanmu setelah kamu mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik?
            Baiklah jangan berprasangka buruk dulu ya. Biarlah waktu yang menjawab bagaimana tingkat ketulusan dia mencintaimu.

            “Pap, Bunga deg-degan banget.” Kamu dan papa pergi ke Laboratorium yang ditunjuk untuk MCU.
            “Kenapa sayang?”
            “Bunga takut. Nanti kalau ternyata spasmo Bunga terdeteksi, Bunga nggak lolos lagi, pa.”
            “Bunga... sebenarnya itu juga yang papa takutkan. Kita pulang lagi aja yuk. Nggak usah ikut.”
            Hati kecilmu menolak. Kamu tahu sekali kalau papa tidak ingin kamu kecewa. Papa hanya khawatir, kalau kamu kecewa, spasmofiliamu akan bertambah parah. “Nggak, pa! Jangan! Kita jalan aja terus.” Kamu terdiam. Dalam hati kamu berdoa, “Ya Rabb... jika memang masuk officer ini adalah jalan terbaik dari-Mu, maka lancarkanlah perjalanan kami. Tapi jika aku tidak lolos dan kuyakin itu pasti yang terbaik maka apapun dan bagaimanapun caranya tolong sekali batalkan perjalanan kami.”
            Ternyata...
            Kamu tiba di Laboratorium.
            “Allah punya rencana.” Kamu yakin sekali.
            Sejak kamu memberikan kabar pada Andi kalau kamu lolos untuk MCU, Andi jadi lebih sering menghubungimu. Walaupun hanya lewat whatsapp. Satu hari mungkin bisa saja tiga sampai empat kali. Kamu mulai merasakan kembali kehadirannya yang sempat hilang. Kamu merasakan kembali kalau kamu benar-benar punya seseorang untuk menguatkanmu, seseorang untuk mencintaimu, dan seseorang yang sanggup menantimu.

            Satu minggu sudah kamu ambil cuti. Kamu harus masuk kerja lagi. Menjalani hari-hari seperti biasa. Sibuk sambil menunggu. Sambil menunggu pengumuman yang lolos posisi officer, kamu menyibukkan diri dengan berbagai macam hal. Menjahit. Ya salah satunya menjahit. Banyak desain baju yang belum sempat terrealisasi karena kamu harus istirahat lebih lama.
            Andi pernah membelikanmu sebuah mesin jahit mini, “Supaya kamu nggak sering main keluar.” Begitu ucapnya. Dia memang selalu mendukung keterampilan yang kamu miliki.
“Mini.” Begitu kamu menamai mesin jahit berwarna putih-ungu itu. Mesinnya memang kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit. Meski mesin jahitnya kecil, mesin itu mampu menjahit baju yang panjang dan bahan yang agak tebal. Luar biasa. Andi pun membelikanmu mesin jahit, agar kamu bisa menjahitkan celananya yang berlubang. Aaah! Kamu sungguh istri idaman. Sering kali kamu mengunjungi rumah Andi, hanya sekedar mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Andi sering membawa baju kotornya ke laundry. Hanya saja hasil yang tidak terlalu memuaskanmu, kamu lebih sering datang ke rumahnya untuk mencuci dan menyetrika bajunya. “Apa bedanya. Toh nanti setelah menikah aku juga yang akan mencuci dan menyetrika bajumu.” Begitu ucapmu setiap kali Andi menolak untuk dicucikan baju.
Seringkali juga dia bilang, “Kamu memang calon istri idaman aa, sayang.”
Menjahit kancing kemejanya yang lepas atau menjahit celananya yang berlubang, hal yang sudah biasa kamu lakukan. Kalian berpacaran secara sehat. Banyak teman-teman kantor yang iri melihat kalian.

Hari Kamis, kamu dan beberapa teman marketing menghadiri rapat kordinasi yang biasa diadakan satu bulan satu kali. Pimpinan Cabang mengevaluasi target kalian satu persatu. Syukurlah targetmu sudah tercapai lebih dari 100%.
Handphone-mu bergetar. Ada nomor asing yang menghubungimu. Nomor jakarta. Kamu permisi keluar ruangan.
“Halo Assalamualaikum.” Kamu mengangkat telepon.
Dari sebrang sana ada suara lelaki yang sangat jelas, “Selamat pagi... Dengan Bunga Zavelia Alamsyah?”
“Iya betul, mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bunga, kemaren mengikuti MCU ya? Hasilnya sudah keluar. Selamat! Anda lolos untuk serangkaian seleksi officer. Sehingga hari Senin diharapkan kehadirannya di Pusat Pendidikan dan Latihan. Akan ada penanda tanganan kontrak untuk pendidikan selama satu tahun. Dress code dan berbagai perlengkapan harus dibawa sudah kamu publikasikan di website, silahkan dicek. Ada yang mau ditanyakan?”
Hatimu langsung membludak. Matamu berkaca-kaca. Campur aduk sudah. Bahagia, bangga, senang, dan sekaligus sedih. “Jam berapa, mas?”
“Jam 08,00 WIB sudah berada di lokasi ya.”
Kamu menutup telepon dan langsung menghubungi kedua orang tuamu. Menyampaikan kabar yang mungkin menjadi kabar gembira.
Suara papa begitu tinggi. Menggambarkan rasa bahagia dan bangga yang hadir. Berbeda dengan papa, mama menangis. “Ini rejeki Bunga ya, sayang.” Kamu juga langsung menghubungi ketiga saudara kandungmu. Semuanya memberimu selamat dan ucapan rasa bangga.
Ada nomor terakhir yang kamu tekan. Nomor yang selalu berusaha untuk kamu lupakan dengan menghapusnya di phonebook. Kamu menekannya, dan... “Aa. Alhamdulillah neng lolos MCU kemaren, a.”
“Alhamdulillah... sayaaaang. Aa bangga sama kamu. Terus selanjutnya kayak gimana?”
“Neng harus dateng Senin besok, a. Tanda tangan kontrak sebagai trainee. Nah karena pada hari itu juga neng harus cus ke Sukabumi dan outbound. Jadi neng harus udah pindah. Karena hari Rabu kos neng udah harus dibayar. Jadi hari Minggu nanti, mama papa temenin neng pindahan.”
“Ya udah. Kamu atur aja. Aa ke kelas dulu ya.”
“Love you, a.”
            “Love you too, neng.”
            Kata cinta terakhir yang kamu dengar sebelum dia juga memutuskan untuk menghilang (lagi) dari peredaran hidupmu.

Senin, 19 Mei
            From   : Bunga
            To        : Andi
            Aa, neng masih deg2an dan tiba2 ragu.
            Kalo neng ambil pendidikan ini, kita belum bsa nikah 2 taun
            Gmn ya?

            From   : Andi
            To        : Bunga           
            Sayang, smua psti ada jalannya. Km hrs yakin ya. Kita pasti nikah.

            Hanya sms dari Andi yang memantapkan hatimu. Dia bilang, tidak masalah bila harus menunda pernikahan sampai dua tahun.
            Bertemu teman-teman baru. Ada sekitar 40 orang di dalam ruangan yang luas itu. Mejanya membentuk huruf U. Teman-teman lain menggunakan baju putih hitam. Mereka juga membawa koper yang cukup banyak. Koper yang sebelumnya disimpan di kamar hotel samping Pusdiklat.
            Dari ujung sebrang sana, ada seorang wanita manis. Hidungnya mancung. Meski berkulit gelap, kulitnya tetap terlihat sehat dan berseri. Cantik. Bela namanya. Lalu pandanganmu terus memutar. Mencari-cari orang lain yang lebih bersahabat. Di sebelah kananmu ada Andre. Lelaki kelahiran tahun 1993. Lulusan President University. Dari cara dia bicara dan menatap orang, terlihat sekali kalau dia memiliki percaya diri yang tinggi. Kamu sudah mengenalnya di Laboratorium saat MCU. Di sebelah kiri, ada wanita yang nampaknya bagian dari hijabers gitu. Devi. Ya. Devi namanya. Benar ada 40 orang. Dan kamu harus menghapal nama mereka semuanya tanpa terkecuali.
            Acara penyambutan telah dimulai. Kalian resmi menjadi tanggung jawab Divisi Diklat seutuhnya. Selama satu tahun kalian harus menjalani dan mematuhi aturan yang ada. Resmi sudah kamu kembali menjadi siswa. Belajar, belajar, dan belajar.
            Acara selesai pukul 18.30 WIB. Kalian harus langsung berangkat outbound ke Sukabumi. Selama dua minggu kalian akan digojlok, digodog untuk mental yang lebih siap. Lepas magrib, kalian semua berganti pakaian, mengenakan sepatu olah raga. Kalian mulai akrab satu sama lain.
            Memasuki bus. Berpamitan dengan keluarga walau hanya lewat telepon. Kalian berseri-seri. Kalian. Yang kata orang lain adalah orang-orang pilihan. Kalian yang sebenarnya sudah bermental kuat. Karena ketika kalian menandatangani kontrak tadi siang, kalian harus siap mengenyam pendidikan selama satu tahun, kalian harus siap untuk ditempatkan di seluruh Indonesia, jauh dari keluarga. Dan hal yang lebih berat untukmu, kamu harus menunda pernikahan dengan lelaki yang sunggu kamu sendiri tidak yakin bahwa dia benar-benar akan menikahimu.
Sampai jumpa sekembalinya dirimu dari Sukabumi, Bunga...
Selama disana, kamu tidak boleh memegang handphone walau sesaat bukan? Berhati-hatilah di sana. Yakinlah bahwa Allah tidak pernah tidur dan akan selalu menjagamu.

Sabtu, 17 Mei 2014

Manisnya Madu (Part. 2)

            “Apa ini?” Kamu terkejut. Seseorang mengantarkan sebuah manekin. Patung yang terbalut kain.
            “Ini buat mba Bunga.” Seorang pria menyodorkan kertas yang harus kamu tanda tangani. Bersusah-susah kamu membawa manekin itu ke kamarmu. Menapaki tiap anak tangga. Andi meneleponmu. Dari kejauhan suaranya begitu hangat, “Neng lagi apa?”
            “Aa ini ada manekin, dari aa bukan?”
            “Udah sampe ya? Iya. Kan neng bilang pengen punya kan? Dipake buat belajar desain sama jahitnya ya.”
            “Siap, a! Neng semangat desain lagi! Makasih ya... neng seneng banget.”
            Andi begitu mengerti sekali apa kegemaranmu. Dia mendukungmu melakukan hobimu. Dia bilang, kelak setelah menikah dan mapan finansial, dia ingin kamu diam di rumah. Menjadi ibu rumah tangga yang utuh. Ibu rumah tangga yang menunggu dia pulang. Menyiapkan air hangat untuknya. Ibu rumah tangga yang tetap produktif dengan keahlianmu sendiri. Mengumpulkan pundi-pundi uang. Bukan untuk menghidupi kalian, tapi untuk masa tuamu jika dia telah tiada. Dia begitu visioner. Kamu selalu mencintai setiap angan yang dia buat.
--------------------------------------
            Dia sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Diam. Kamu mengharapkan apa? Kamu mengharapkan dia datang tengah malam. Tepat jam 12. Dan memberikan pesta kejutan? Iya? Jauh sekali. Andi bukanlah tipe lelaki seperti itu. Dia lebih senang menyusun segalanya bersamamu. Walalu memang hal manis selalu dia suguhkan secara mendadak. Semua keluarga dan teman sudah memberikan ucapan selamat ulang tahun padamu. Satu saja yang belum. Satu tapi bermakna. Andi. Dialah sang kekasih hati yang belum juga mengucapkan apa-apa. Jangankan telpon. Sms saja tidak. Jangankan sms yang dikenakan pulsa, bbm atau WA saja tidak.
            Jam 10.00 WIB. Kamu mendapat kabar yang mengejutkan.
            From   : Aaku
            To        : Bunga
            Siap2 nanti a jemput. Km hrs traktir makan siang!

            Aih. Lelaki macam apa dia. Memintamu untuk membelikannya makan siang. Siap-siaplah kamu. Kamu mengenakan pakaian terbaik. Berdandan secantik mungkin. Andi bilang, dia senang melihatmu berdandan. Lagipula hari ini hari ulang tahunmu, Bunga! You have to be different! Pikirmu dalam hati.
            Andi yang kadang-kadang suka ngaret, akhirnya datang tepat waktu. “Ayo naik, neng.”
            Kamu masih bingung akan dibawa kemana, “Mau kemana nih, a?”
            “Aa mau makan pizza nih. Kamu yang bayar ya. Di Atrium Senen aja ya.”  Ucapnya.
            Kamu menggeleng-geleng kepala. “Aa ini, udah nggak ngucapin apa-apa. Minta traktir pula.”
            Dia hanya tertawa. Tawa yang selalu membuatmu rindu. Tawa yang menghanyutkan pandanganmu. Tawa yang mengalihkan duniamu. Bunga... Bunga... kamu benar-benar jatuh hati padanya. Jatuh sudah.
            Andi memesan pizza paling mahal. Minumannya pun yang paling mahal juga. Tanggal 24 Agustus, tanggal tua. Payahlah sudah. Kantongmu kering. Sangat kering. “Nggak apa-apa ya, neng?”
            “Nggak apa-apa sayang... pesen apapun.” Matamu melotot.
            Andi tertawal lepas.
            Kalian benar-benar bahagia.
            Dengan cepat Andi menyantap setiap pizza yang ada. Sampai habis.
            “Udah ini mau kemana, a?” Kamu mengharapkan sebuah kado.
            “Kasih tahu nggak ya...” Andi menyeringai licik. “Kemaren kamu mau kado apa?” Dia mulai hangat. Sepertinya dia tahu isi hatimu.
            “Jam tangan, a.” Setengah berteriak.
            “Nah kita ke pasar sebelah ya.” Andi melanjutkan tawanya.
            “Masa di sebelah sih, a? Nggak bisa apa agak bagusan dikit. Bukan menghina. Tapi kan kado dari aaharusnya spesial. Dari tempat spesial juga.”
            Andi tertawa semakin lepas. Dia mengajakmu ke parkir motor. Pergi ke suatu tempat. Kamu terlihat sedikit tegang. Tidak sabar kejutan apa yang sudah dia siapkan. Sepeda motornya melewati bundaran HI. Akhirnya kalian berhenti di parkiran Grand Indonesia. Sebuah mall yang kata orang mall untuk kalangan menengah ke atas. Entahlah.
            “Yuk kita beli jam.”
            “Hah? Disini a? Seriusan?”
            “Iya. Kenapa?”
            “Mahal loh, a.”
            “Kan dari tempat yang spesial untuk orang yang spesial. Masa aa beliin kamu di senen sih, sayang. Eh kita beli couple ya. Biar yang di kantor kaget.” Andi tersenyum hangat. Senyuman yang selalu membuaimu.

            Sepasang jam tangan. Harganya fantastis. Warnanya gold dan silver. Jam tangan yang... LUAR BIASA. Kamu suka, dia suka, kalian menyukainya. Kamu menjaganya dengan baik. Bagimu, apapun yang dia berikan harus kamu jaga dengan baik.

Manisnya Madu (Part. 1)

            Perjalanan kalian selama 14 bulan bukan hanya memakanan kenangan yang pahit memang. Harus kamu akui, Bunga. Kamu belajar kekuatan mental, hati, dan pikiran dari seorang Andi. Kamu belajar lebih mandiri, lebih sabar, dan lebih dewasa. Ya kenapa lebih mandiri? Kamu lebih sering ditinggal-tinggal sekarang. Membuatmu harus bisa menangani segala hal sendiri. Lebih sabar karena dia yang tempramen membuatmu harus lebih sabar. Menjadi orang yang tidak reaktif. Lebih dewasa, right! Kamu harus lebih bisa mengatur pikiran dan hatimu.
            Bersamanya kamu bisa merasakan kembali jatuh cinta setelah hampir ya kurang lebih tiga tahun kamu tidak pernah jatuh cinta.  Janji-janjinya meski palsu, bisa membangunkan angan-anganmu. Kamu mulai menata hidup. Memikirkan masa depan. “Neng, abis nikah mau tinggal dimana?”
            “Neng sih mau kita mandiri, a. Tinggal terpisah dari orang tua aa dan neng. Tapi kalau neng boleh menyusun masa depan nanti, neng mau rumahnya deket rumah mama mungil (begitu kamu menyebut ibu Andi) dan papa aja.”
            “Kenapa nggak deket rumah mama bapak?”
            “Ya kan mama dan papa neng kan jauh, a. Mama papa deket.” Kamu tertawa.
            “Kan bisa kita ngekos aja di Jakartanya, sayang...”
            “Gini loh, a. Aa anak pertama. Adik aa cewek dan udah nikah. Pastinya ikut suami. Yang ngurus mama dan papa siapa kalau bukan aa? Setelah menikah, mama papa juga jadi orang tua kandung neng. Kewajiban neng juga mengurus mama papa. Neng juga berkewajiban mendukung aa memenuhi kewajiban aa juga sebagai anak harus mengurus orang tua. Masa maunya diurusin aja sama orang tua, a. Tapi nggak mau ngurus. Nah kalau kita tinggal jauh dari orang tua, akan sulit bagi neng ngurus mama papa. Jadi lebih baik tinggal deket sama mama papa. Biar neng bisa maksimal.”
            “Subhanallah... calon istri aa hatinya mulia banget udah solehah, cantik, pinter, bangga aa sama kamu.”
            “Nggak usah lebay, a. Dari dulu mama selalu bilang sama teteh, cintai mertuamu seperti kamu mencintai mama dan papa. Karena mertuamu juga orang tuamu. Gitu, a.”
------------------------------------
            Kalian pernah pergi dengan bus tak ber-AC. “Bisnya nggak ada yang AC, neng. Jadi nggak apa-apa ya naik bis ini.”
            “Iya, a. Nggak apa-apa.” Cinta. Ya cinta memang. Karena cinta tidak masalah harus panas-panas di dalam bus. Toh Jakarta-Tangerang tidaklah jauh.
            Ada hal lain yang lebih mendebarkan hati. Bertemu calon mertua. Hari itu kamu diajak bertemu dengan orang tua Andi. “Nikmatin aja dulu prosesnya ya, Neng.” Ucapnya pelan dan lembut.
            “Iya, a. Neng yakin cuma sementara. Nanti malah kita merindukan masa-masa kayak gini. Makan di warteg bareng-bareng, naik bis kepanasan, jalan kaki jauh-jauh. Beuh. Nikmat, a.”
            Kurang lebih dua jam di perjalanan. Bus berhenti setelah melewati Mall Lippo Karawaci. “Siap-siap, neng. Kita mau turun.” Andi menarik tanganku denga hangat.
            “Nanti kemana lagi, a.” Kamu menarik tangan dari genggamannya.
            Andi mengarahkanmu untuk menaiki angkutan kota berwarna kuning. Kamu kenal betul daerah itu. Ada sekolah bernama Islamic Village. Sekolah swasta islam dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Kakak perempuanmu, Berlian, pernah bersekolah SMA di situ. Lalu lintas cukup padat. Banyak angkutan kota yang berhenti sembarangan. Menaik dan menurunkan penumpang. Jalannya pun tidak terlalu lebar. Hanya cukup dua mobil.  Kami turun di sebuah pasar. Ah aku lupa apa nama pasar itu. Kamu pun juga sudah tidak ingat lagi.
            “Disini, a?”
            “Iya, neng. Aa kalau anter mama ke pasar ya ke pasar sini. Dari sini kita masih jalan kaki lagi. Nggak apa-apakan?”
            “Ya nggak apa-apalah, a. Aa kan tahu, neng seneng jalan orangnya.”
            “Iya, makanya aa sayang sama kamu. Kamu bisa banget diajak sederhana.” Andi mengusap kepalamu.
            Masa yang sangat manis. Kamu mengenakan kerudung berwarna ungu muda, dress selutut berwarna senada dengan kerudung. Cardigan abu-abu. Sepatu putih dengan kaos kaki warna kulit. Celana jeans yang kamu kenakan juga sepadan dengan dress ungu. Kamu cukup berhasil dalam memilih kostum, kamu cukup nyaman dengan pakaian yang kamu kenakan. Kenyamanan membuatmu percaya diri untuk tampil bertemu dengan mertua. Andi pernah mengatakan padamu, bahwa ayahnya sangat tegas. Tidak sungkan-sungkan menyatakan apa yang Beliau suka dan tidak suka. Berbalik dengan ibunya yang sangat hangat, terbuka, baik, dan luar biasa.
            “Neng, rumah aa nggak besar ya. Atapnya aja masih seng.” Sampai menuju rumahnya pun kamu masih belum tahu apa pekerjaan ayah dan ibunya. Andi tidak ingin menceritakan apapun tentang keluarganya padamu.
            “Atuh rumah neng juga nggak besar, a.”
            “Aa minder pas kemaren ke Bandung, rumah neng besar. Aa udah yakin aja kalau bapak neng pasti orang kaya. Mana bisa aa kasih makan anak orang kaya.”
            Aku menatapnya lurus.
            Akhirnya kalian masuk ke sebuah pagar besi berwarna hijau. Kamu terdiam. Membiarkan Andi membuka pagar besi. “Assalamualaikum.” Dia bersalam.
            “Eh ada om Aa tuh!” Seorang wanita yang usianya berkisar 27 tahun keluar dari rumah. Menyalami tangan Andi. Dia menggendong seorang anak laki-laki yang masih berusia satu tahun.
            Anak laki-laki itu memaksa digendong oleh Andi. “Apa jangan-jangan dia sudah berkeluarga?” Tanyamu dalam hati. “Cit, kenalin, ini Bunga.” Andi menggubris kehadiranmu.
            “Cita.”
            “Bunga.” Kamu menjabat tangannya.
            Cita adalah adik perempuan Andi satu-satunya. Dan anak laki-laki yang tadi digendong oleh Andi adalah anak Cita. Usia Cita dan Andi hanya terpaut satu tahun. Cita memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga kecil bahagia. Kini Cita tinggal di rumah orang tuanya yang juga menjadi orang tua Andi.
            Cita terlalu cuek. Kamu hanya sendirian di ruang tamu. Sedang Andi tengah asik bermain dengan keponakannya. Mereka terlihat begitu menyayangi satu sama lain. Akrab dan hangat. Kamu duduk di sofa berwarna emas. Menatap sekeliling. Mencoba mencari tahu informasi tentang keluarganya. Ada lemari berisi guci, keramik, dan kristal. Bukan hanya itu, ada juga boneka-boneka yang dibawahnya ada nama sebuah negara. Ya. Itu adalah oleh-oleh dari berbagai negara. Satu benda yang menarik perhatianmu; sebuah foto seorang pria berseragam putih mendamping Gubernur DKI kala itu, Bapak Sutiyoso. Badannya tegap, tinggi, dan gagah bukan main. Sekalipun kulitnya tidak terlalu cerah.
            Jantungmu berdegup kencang seketika. Ternyata papa mama Andi sudah datang. “Assalamualaikum!” mamanya melangkah masuk. Kamu berdiri menyambutnya di dekat pintu. Menyalami tangannya yang mungil. Mamanya begitu cantik. Tubuh mungilnya membuatnya terlihat lebih muda dari umur aslinya. “Eh ini neng Bunga ya?”
            “Iya, ma.”
            “Aa udah cerita. Mama ganti baju dulu ya, neng.”
            Tidak berapa lama papanya masuk rumah. Kamu menyalami. Papanya berbadan tegap. Ah persis sekali dengan foto yang tadi terpajang di meja. Foto yang kamu amati dalam-dalam. Papanya cuek sekali. “Ya ya ya. Silahkan duduk.” Langsung saja papanya masuk ke ruang tengah dan bersantai sambil menghisap sebatang rokok.
            Andi datang menghampirimu. “Maaf ya, neng. Mama sama papa capek tadi. Jadi belum bisa nemenin. Nanti mama keluar kok.” Andi tiba-tiba tersenyum.
            “Iya nggak apa-apa atuh, a. Aa kenapa senyum gitu?”
            “Nggak apa-apa, sayang. Kata mama kamu cantik dan modis.”
            “Neng... apa kabar?” Mama keluar dan menyapaku.
            Andi meninggalkan kalian berdua. Mamanya begitu hangat. Welcome. Beliau cerita banyak hal. Lebih banyak tentang Andi memang. Jangan-jangan kamu rindu ya sekarang? Ayolah... ini cuma mengenang masa lalu. Jangan dulu rindu.
            Kamu lebih banyak tersenyum. Dan apa adanya. Ya. Apa adanya. Itulah yang komentar dari mama Andi kepada Andi. Beliau bilang, “Sejak pertama mama melihatnya, mama sudah jatuh hati padanya, a. Orangnya baik, modis, cantik, dan kelihatan banget pinternya.”
            “Terus aa komen apa?”
            “Iya, aa bilang.. nggak sabar buat nikahin kamu.”
            Kalian berjalan menuju pasar. Mencari taksi untuk mengantarmu pulang ke daerah Cempaka Mas. Ya. Saat itu kamu tinggal di kos yang berlokasi di belakang Cempaka Mas. Dekat dari kantor. Tinggal satu kali naik angkot. “Aa ini bener naik taksi? Mahal loh.”
            “Aa nggak tega sayang. Kamu harus kehujanan naik turun bis.” Andi tersenyum. Untuk pertama kalinya dia menggenggam tanganmu. Wajahmu memerah malu. Enggan pula untuk menarik tangan dari genggaman yang begitu erat. Meski perlahan kamu menariknya. Andi hanya tersenyum melihat kelakukanmu. “Nanti setelah menikah, aa boleh pegang tangan kamu kapanpun ya.” Lagi-lagi kamu hanya tersipu.
            “A, mama papa gimana tanggapannya?”
            “Alhamdulillah mama papa setuju aja. Makasih ya buat hari ini.” 

Jumat, 16 Mei 2014

Melodi Hati

Masih dengan melodi yang sama, kecurigaan. Kecurigaan yang entah bermakna apa. Sudah hampir dua minggu Andi tidak berkabar. Entah dia kemana. Whatsapp-Nya “online” terus. “Aa kemana?” Tanyamu lewat telpon. Satu-satunya alat kalian berkomunikasi hanyalah cellphone. Matamu tertuju pada jam di dinding. Sudah pukul 23.00 WIB. 
            “Halo, neng.”
            “Aa. Akhirnya aa angkat juga telpon neng. Apa kabar? Gimana pendidikan di sana? Aa sehatkan? Kok aa nggak suka kasih kabar?”
            “Neng, aa di sini belajar. Bukan mau main-main. Aa sehat. Kamu gimana?”
            Ini sudah hampir tiga minggu sejak kepergianmu ke Bandung. Tapi tidak sekalipun dia menanyakan bagaimana hasil pengobatanmu. “Alhamdulillah sehat, a. Aa kemana selama ini? Aa nggak pernah bales bbm neng. Cuma dibaca aja. Wa neng juga nggak pernah dibales, padahal aa online terus. Aa... neng menahan diri nggak nanya macam-macam. Neng terus aja positive thinking kalau aa baik-baik saja di sana. Tapi neng bener-bener khawatir, A. Neng kangen juga sama aa.” Tangismu pecah.
            “Aa sibuk neng. Aa kelar kelas aja jam sembilan. Aa lelah ya mau istirahat.” Jawabnya singkat jelas dan padat. Tiada lagi kehangatan yang kamu rasakan darinya. Tiada lagi perhatian apalagi kasih sayang. “Ada apa?” Tanyamu dalam hati. “Aa mau tidur ya.” Dia menutup teleponmu begitu saja.
            Dia berubah sejak masuk Depdagri...
----------------------------------
            “Neng... alhamdulillah aa lolos administrasi. Tesnya minggu depan di UNPAD Jatinangor.”
            “Alhamdulillah a... aa semangat ya. Neng Cuma bisa bantu doa ya. Aa kesana kapan?”
            “Aa mau ambil cuti, neng. Nah aa juga mau cek lokasinya dulu. Jadi aa pulang sore. Abis tesnya ya.”
            Kamu menghabiskan setengah malam bersamanya. Membantunya membereskan perlengkapan yang dia bawa ke Jatinangor. Tidak begitu banyak. Hanya kemeja putih, kaos dalam putih, celana hitam, dan keperluan lainnya.
Esok harinya, kamu menunaikan sholat Duha lebih lama dari biasanya.
            Kamu menyebut namanya berulang kali dalam doa. Berharap dia mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan tesnya. Berharap dia akan baik-baik saja lalu kembali dengan utuh. Kembali dengan cintanya untukmu. Cinta yang utuh. Kali ini kamu juga tidak makan siang di kantor. Kamu memutuskan untuk berpuasa agar dia mendapatkan kemudahan. Agar dia mendapatkan apa yang diinginkannya; lolos tes CPNS Depdagri.
            Dia bilang, itu cita-citanya untuk membahagiakan orang tua dan kamu. Dia ingin segera meminangmu, untuk itu dia harus memapankan diri. Memantaskan dirinya. Lagi pula mana mungkin kalian menikah satu kantor?
            Dengan khusyuk yang sesekali kamu memohonkan masa depan bersamanya, kepada Rabb yang Maha Segala.
            Sore itu, kamu pulang lebih awal. Meninggalkan berkas-berkas analisa nasabah. Menyiapkan senyum terhangat untuk menyambut sang kekasih hati.
Wajahnya terlihat begitu letih. Letih sekali. Tapi keletihannya yang membuat cintamu semakin besar. Karena dia selalu menyebut namamu dalam cita-citanya. Dia menyebut nama kalian bersandingan. “Gimana tesnya, a?”
            “Lancar, sayang... aa dapet skor paling tinggi. Mudah-mudahan bisa lolos ya. Kalau lolos, aa nikahin kamu!”
            “Jadi nggak mesti nunggu neng masuk BI kan ya, a?” Aku menggodanya.
            “Ya perlu dong sayang. Kamu juga harus keluar dari kantor yang sekarang. Masa aa di depdagri kamu masih di sini? Apa kata orang.” Dia mencubit pipimu. Kamu menghindar seketika.
            “Tapi neng fokus sembuh dulu ya, a.”

            Andi tersenyum. 

Kamis, 15 Mei 2014

Ada Jalan Lain (Part. 2)

Deal!
Kamu mengikuti nasehat keluarga untuk berobat ke kang Ujang. Dengan catatan : jangan sampai mereka memintamu berhenti dari pekerjaanmu.
            April 2014
            Kamu ditemani mama dan papa pergi ke Bandung. Lokasinya di belakang bekas kampus IMTelkom yang sekarang menjadi Telkom University. Sudah lama sekali kamu tidak menginjakkan kaki di Bandung. Bandung. Masih sama. Kota dengan sejuta kenangan. Manis dan pahit. Senyum dan tangis. Keluar tol pasteur menaiki fly over pasupati. Fly over yang dulu sering kamu lewati semasa kuliah. Menjelang sore, kamu perlu menghabiskan 1,5 jam untuk tiba di rumah. Bandung dengan keindahan romantismenya. Kamu menemukan cinta pertamamu di Bandung. Cinta pertamamu yang juga mengkhianatimu. Kamu juga menemukan keluarga baru. Keluarga yang siap mendengarkanmu dalam suka dan duka. Membantumu dalam kesulitan. Menerjemahkan makna yang tidak pernah dapat diterjemahkan orang lain yang tidak mengenalimu. Pokoknya keluarga yang levelnya satu tingkat dibawah keluarga kandungmu.
            Hai Bandung!
            “Kang, Bunga tos dugi.” Papa bersalaman dengan Kang Iwan. Bagian Pendaftaran.
            “Siap. Diantos nya.”
            Bandung. Di kota ini juga kamu belajar berbahasa sunda dengan lembut dan halus. Dari kota asal kelahiranmu, tidak mungkin rasanya kamu bisa berbahasa sunda dengan lembut dan halus.
            “Bunga. Mangga kalebet.”
            Ruangan yang sama. Ruangan empat tahun lalu yang pernah kudatangi hampir setiap bulan. Salah satu dindingnya bergambar pohon dengan anak kecil memegang balon. Terlihat sangat gembira. Ada satu jendela di sudut ruangan. Mengarah ke kolam ikan di depan. Airnya mengalir. Gemericiknya menentramkan. Di dalam ruangan, ada tiga kursi dan satu tempat tidur. Satu kursi menghadap jendela. Kursi untuk pasien. Dua kursi lainnya untuk orang yang mengantar.
            “Neng Bunga. Kumaha damang? Damai?” Kang Ujang memasuki ruangan dengan wajah berseri. Seperti biasa. Wajahnya terlihat bercahaya.
            “Ieu, Kang. Tempo lalu diparios ka dokter. Dokter nyarios anjeuna ngidap spasmofilia. Dokter oge nyarios, anjeuna teu tiasa sembuh.” Jelas papa panjang lebar.
“Oh kitu. Sip sip!” Kang Ujang mulai memegang pergelangan tangan Bunga. Kang Ujang menggeleng-geleng kepala. “Ini sudah sangat parah. Sudah mengganggu sistem keseimbangan dan kekebalan tubuh. Kalau tidak diobati bisa lebih parah. Ini memang penyakit yang langka di dunia medis. Pasti dokter akan mengkambing hitamkan orang tua dengan mengatakan bahwa ini adalah penyakit keturunan. Sebenarnya bukan keturunan, ini adalah penyakit yang diakibatkan oleh pola makan yang tidak teratur, mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, tubuh terlalu lelah, stres, dan banyak lagi."
“Janten kedah kumaha, Kang?” Dari suaranya mama begitu khawatir.
"Pola makan harus benar-benar dijaga ya, tidak boleh terlalu lelah, jangan terlalu sering jalan, lari, apalagi naik sepeda, tidak boleh makan makanan berserat tinggi, kolesterol tinggi, makanan yang mengandung tepung, pedas, asam, pokoknya harus makanan sehat. InsyaAllah ini bisa sembuh dalam waktu empat bulan, asalkan... herbalnya diminum sehari dua kali. rutin. jangan kelewat. Nanti dalam masa penyembuhan karena penyakitnya sudah menyerang sistem kekebalan tubuh, akan timbul alergi seperti gatal-gatal, timbul bintik-bintik kayak kebakar dan bisa jadi melepuh. Jangan kaget, itu tidak berbahaya."
“Kang, Bunga nggak mau herbal godokan. Repot. Pengennya dibuat jelly gitu.”
“Oh... ekstrak. Ya boleh dong.” 
Yang kamu suka dari Kang Ujang, Kang Ujang tidak pernah menjatuhkan mental pasiennya. Dia selalu membesarkan hati. Membawa segala hal kembali pada ketentuan Allah SWT, manusia hanya dapat berusaha semaksimal mungkin.
“Semua penyakit itu ada obatnya, Bunga. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia. Mau mencari tahu obatnya atau tidak. Jadi untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan, ada beberapa yang harus Bunga minum. Ekstrak herbal ya. Itu sehari dua kali pagi dan sore. Jangan lewat jam enam sore. Sekali minum dua sendok makan. Yang kedua, susu kambing. Ketiga, air bersifat basa.”
“Kenapa susu kambing, Kang?”
“Menurut penelitian, susu kambing memiliki kadara kalsium yang tinggi. Yang saat ini diperlukan tubuh Bunga adalah susu berkalsium tinggi dan... rendah lemak. Partikel lemak pada susu kambing sangat kecil hingga mudah diserap oleh sistem pencernaan. Beda dengan susu sapi. Susu kambing juga rendah lemak.”
“Bukannya kambing banyak lemaknya?”
“Susu kalau kita diamkan lama, maka akan muncul lapisan tipis diatasnya. Nah itu kadar lemaknya. Coba Bunga buat susu kambing dan susu sapi. Mana yang lapisannya lebih tebal dan banyak? Pasti susu sapi.”
“Oke, Kang. Kalau gitu susu yang bagus susu apa?” Tanyamu lebih rinci.
“Susu yang bagus. Ada buatan Amerika. Harganya Rp 250.000 per 300 gram kalau nggak salah. Yang kedua dari Australia. Tapi nggak tahu berapa harganya. Paling bagus ketiga itu dari Malaysia. Kalau Malaysia punya dikemasnya sachet. Harganya per sachet.”
“Oh ya sudah kalau gitu yang dari Amerika aja.” Sela papa. Papa memang selalu berupaya memberikan yang terbaik.
“Kenapa nggak susu dari Indonesia aja, Kang?”
“Kambing di Indonesia pakannya udah nggak bagus, neng. Jadi mempengaruhi kualitas susunya.”
“Kalau air minum basa? Kenapa harus yang bersifat basa, kang?”
“Selama ini air yang kita minum bersifat asam. Air yang bersifat asam akan membuat tubuh kita bersifat asam. Kalau tubuh bersifat asam, maka akan mudah terserang penyakit. Kalau sifat basa, dia menahan penyakit masuk dalam keadaan tubuh. Kondisi neng Bunga lagi menurun. Jadi disarankan dengan sangat minum air bersifat basa. Di Jepang juga sudah diteliti. Hasil penelitiannya valid.”
“Jadi gimana sekarang biar bisa dapetin air basanya, kang?”
“Di Jepang ada alatnya, neng. Itu harganya sampe Rp 50 juta. Nah tapi sekarang udah ada beberapa yang punya dan diolah sendiri. Disini juga jual.”
“Boleh, kang. Boleh! Supaya cepet sehat.” Papa merespon dengan cepat.
Kamu hanya menghela napas.
Syukurlah pengobatan selesai.
“Janten sabaraha?” Tanya Papa pada kang Iwan.
“Ekstrak herbalnya janten kin enjing. Rp 1.2 juta. Air basana tilu galon janten 225 ribu.”
“Upami susu kambing meser dimana, kang?”
“Aya di Setiabudi. Supermarket nu ngicalan barang-barang import. Atanapi di Foodhall sareng Hero. Milarian wae nya Pak.”
“Hatur nuhun, Kang.”
Sebelum meninggalkan kota kenangan, papa mengajakmu ke Supermarket. Lokasinya di Setiabudi bawah. Supermarket yang dulu kamu datangi untuk membeli bahan-bahan makanan Jepang.
Ah! Harga susunya mahal! Kamu harus membeli empat kaleng dalam sebulan. Harga per kalengnya Rp 250 ribu.
Tubuhmu begitu lelah. Sepanjang perjalanan mama membelai rambutmu. Kamu tertidur di pangkuannya. Tetesan air mata mama menetes ke pipimu. Buru-buru mama menghapusnya takut kamu terbangun. “Makanya coba Bunga mau nurut sama urang ya, Pa. Semua nggak bakal gini. Nggak bakal separah ini.”
Kamu terbangun, “Ma. Bunga salah apa ya? Allah SWT selalu kasih Bunga ujian kayak gini?”
Mama semakin lembut membelaimu, menenangkanmu, “Bunga kan sholehah. Kuat agamanya. Allah cuma mau nguji kesabaran Bunga. Segimana Bunga bisa kuat dan sabar ngelewatin semuanya. Bukan Bunga aja. Mama papa juga.”
“Maaf papa nggak bisa jagain Bunga.” Kamu benar-benar menangis sekarang.
“Kalau Bunga nggak bisa sembuh gimana, Ma? Pa? Kan kang Ujang juga bilang kalau ini penyakit langka? Gimana kalau nanti Bunga nikah dan anak Bunga juga punya spasmo? Siapa juga yang mau nikahin Bunga kayak gini?”
“Bunga jangan mikir macem-macem. Bunga harus positive thinking. Bunga selalu optimiskan.” Air mata mama pun tumpah. Kamu menangis. Mama menangis. Papa pun diam-diam menghapus air matanya.

Hanya Allah dan mereka yang membuatmu kuat melewati semuanya. Semuanya yang harus dilewati sampai Allah memanggilmu karena menginginkanmu untuk jauh dari dunia yang selalu menyakiti hatimu. Sampai Allah merindumu lalu memanggilmu pulang. Sampai Allah yakin kau sudah cukup untuk belajar dan ibadah kepada-Nya. 

Rabu, 14 Mei 2014

HAPPINESS IS MY CHOICE!

Let's talk about happiness. Sering banget denger orang bilang aku/gue/saya/ana (dll) bahagia. So... what is happiness??
Menurut www.wikipedia.org, kebahagiaan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, dan atau kegembiraan. 

Sedangkan bahagia adalah kata sifat dari kebahagiaan.

Setiap orang ingin bahagia. Tujuan mereka adalah kebahagiaan.

Ini dia bahagia menurutku.
Aku anak keempat dari lima bersaudara. Aku lahir dari keluarga sederhana. Tidak semua yang kuinginkan dapat terpenuhi. Namun banyak hal juga yang kumiliki. Aku sadar... aku memang lebih membutuhkan apa yang sudah aku miliki sekarang. Aku punya orang tua yang sangat menyayangiku. Saudara-saudaraku semuanya luar biasa. Dengan kerja keras, cerdas, dan ikhlas aku bisa menggapai impianku, tentunya dengan bumbu yang paling nikmat ; sabar, syukur, dan tawakal.
Masa kuliah, aku lalui dengan kelas, organisasi, dan belajar.. jarang sekali main.

Menurutmu apa  aku bahagia?

YES!!!!! I AM SO HAPPY...

Menurutku...
Bahagia itu sederhana
Bila aku sudah merasa bahagia, maka kebahagiaan akan kuraih.

Bahagia itu BENAR-BENAR SEDERHANA

Bahagia itu bukan barang-barang branded
Bahagia itu bukan nonton di bioskop 1 minggu 1 kali
Bahagia itu bukan bersolek lama-lama di salon
Bahagia itu bukan jalan-jalan dengan ongkos besar
Bahagia itu bukan makan di resto paling mahal
Pokonya menurutku...
Bahagia itu BUKAN DUNIAWI SAJA

Bahagia itu bagaimana kita berorientasi ke akhirat, namun tetap sukses dunia. Bukan harus mengejar dunia meninggalkan akhirat

Bahagia itu SEDERHANA

Makan di warteg
Duduk di taman
Makan es kelapa muda
Makan soto gebrak
Berkeliling taman
Minum kopi di taman
Punya temen ngobrol

Ya... itulah bahagia

BAHAGIA ITU SEDERHANA DAN MUDAH SEKALI DIDAPAT BILA ENGKAU SENANTIASA BERSYUKUR ATAS APA YANG SUDAH KAU MILIKI
BAHAGIA ITU IKHTIAR BERJUANG DI JALAN ALLAH SWT
BAHAGIA ITU TAWAKAL ATAS SEGALA KEHENDAK ALLAH SWT
BAHAGIA ITU IKHLAS MENJALANI SEGALA HAL
BAHAGIA ITU SABAR MELALUI UJIAN YANG DATANG

ITULAH BAHAGIA
SETELAH BAHAGIA.. KITA AKAN MENGGAPAI KEBAHAGIAAN

Senin, 12 Mei 2014

Ada Jalan Lain (Part. 1)

            Selama sebulan sudah kamu mengkonsumsi obat kalsium. Namun tidak ada perubahan yang signifikan. Semua anggota keluargamu sudah lelah memintamu berobat alternatif ke Kang Ujang bahkan sampai keluar dari pekerjaanmu yang sekarang.
            “Kenapa nggak mau berobat ke Kang Ujang?” Mama bertanya dengan nada yang marah.
            “Mama kan tahu, dulu waktu Bunga ngilangin kista itu pake herbal dari Kang Ujang. Bunga kesakitan bukan main sampe nggak bisa sekolahkan?”
            “Ya itu karena memang racun dari badan Bunga. Bukan efek samping.”
            “Ya tapi Bunga nggak mau, ma. Bunga kan harus kerja setiap hari. Nanti kalo setiap pagi kesakitan gimana? Bunga nggak enaklah harus sakit-sakitan terus.”
            “Kalo gitu mama minta Bunga berhenti kerja aja.”
            “Ma, Bunga banyak kebutuhan setiap bulannya. Bunga nggak enaklah kalau harus minta mama dan papa. Belum lagi Bunga udah terbiasa pegang gaji tiap bulan.”
            “Baiklah. Mama nyerah. Gimana Bunga aja. Mama mau nginep di kos Bunga beberapa malam besok. Kalau memang Bunga sudah lebih baik, mama nggak akan paksa Bunga ke Kang Ujang lagi.”
            Kamu menyetujui perjanjian tanpa diatas kertas yang mama tawarkan.
-------------------------------------
            Maret.
            Andi sudah mulai pendidikan di Bogor. Dia selalu bilang, “2014 ini tahun kita, Neng. Jadi kamu harus sembuh dan sukses dalam karir.” Aku sempat bahagia mendengar doanya.
            “Ya, Aa. Selamat ya udah keterima di Depdagri.”
            “Pokoknya sayang... kita bakal nikah kalau kamu diterima di BI.”
            Ucapan Andi membangunkanmu dari tidur panjang yang tidak berkesudahan. Seperti disambar ratusan panah petir. Sungguh mengecewakan. Dengan tatapan tajam mencerminkan sakitnya hatimu, kamu mengatakan padanya, “A. Kalaupun neng nanti keterima di BI, neng nggak bakal nikah sama Aa.”
Cinta meluluhkan amarah seorang Andi. Setiap kali dia memarahimu sembari melotot, meninggalkanmu di jalanan, dia selalu kembali memohon maaf. Kamu pun terlalu mencintainya. Entah terlalu cinta atau bodoh! Kamu selalu memaafkan salahnya. Kamu selalu berpikiran kalau dia hanya perlu dituruti. Maunya apa harus selalu kamu yang mengalah. Kamu lupa, kalau kamu juga manusia. Sungguh kesabaranmu laksana malaikat. Ucapannya kali ini, menghancurkan hatimu sampai-sampai kamu sendiri tidak tahu lagi harus bertahan hidup dengan hati yang mana.
            “Kenapa neng?”
            “Karena aa nggak mau terima neng apa adanya. Aa terlalu berorientasi pada dunia. Aa lupa bahwa Allah menjanjikan rezeki yang tidak pernah habis sampai tujuh turunan kalau aa menjadi suami yang bertaqwa. Kalau kita menjadi keluarga yang berada dalam ridho-NYA. Neng nggak pernah khawatir Allah mengingkari janji-Nya.” Hanya berucap dalam hati. Mulutmu seolah masih membeku. Kamu selalu takut mengatakan apa yang kamu yakini.

            Cukup matamu saja yang mengatakan bahwa hatimu benar-benar sakit.