Rabu, 31 Maret 2010

curhatan kecil dari malam itu

tadi malam...rasanya jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. keringat dinginku turun dari kepala. mengalir deras seperti air yang tumpah dari tanggul yang pecah. aku takut sekali. tapi tenang Ya Allah... aku bukan takut pada hantu, setan,atau sejenisnya. karena kalau aku takut pada mereka, itu artinya aku menyekutukan-Mu. naudzubillah... aku tidak mau itu terjadi.
aku takut untuk melangkahkan kaki masuk kedalam sebuah ruangan kecil. disana duduk seorang ketua yang tengah asyik "mengobrol" dengan seorang yang kukenal wajahnya tapi tak kukenal sosoknya.
tapi detakan itu menjadi pelan...tenang..
dan keringat itu tak sederas tadi
aku masuk dalam ruang itu dengan penuh keyakinan dan kepercayaan bahwa aku akan memberikan jawaban termanis dan terbaik. tapi Allah..bagaimana kalau aku gagal? itulah salah satu pertanyaan yang selalu menghantui telingaku saat seorang wanita menjatuhi jutaan bom pertanyaan yang sma sekali asing di telingaku. tapi sudahlah... Allah...aku tahu sekali tahu betul.. kalau tidak ada yang pernah sia2.. semua yang Kau ciptakan memiliki hikmah tersendiri.
Allah... sekalipun aku gagal, aku ingin gagal dalam jalan-Mu... dan aku telah buktikan. bahwa aku bukan pecundang yang kalah sebelum berperang. :D

Sabtu, 20 Maret 2010

menyiakan 1 kewajiban untuk 100 kesiaan

Waktu subuh

Alhamdulillah… adzan subuh masih bisa kudengar. Tapi yang kulakukan malah menarik selimut dan memeluknya erat seakan selimutlah cinta sejati dalam hidupku. Tempat menghangatkanku. Rasanya sangat berat untuk bangun dan mengambil air wudlu untuk menghadap illahi.

Astagfirullah… ternyata lebih mudah menarik dan menghadap selimut dari pada menghadap sang Khalik

Waktu dzuhur

Lagi-lagi adzan berkumandang. Mengajak untuk segera bertemu dengan Allah. Tapi lagi-lagi aku malah mendahulukan bertemu dengan sepiring nasi dan semangkok sop untuk disantap. Seakan-akan nasi dan sop itulah penentu usiaku. Jika aku tidak menyegerakan menyantap mereka aku akan kehilangan hidup duniaku.

Astagfirullah… lebih mudah menghadap makanan dari pada menghadap Illahi dengan alasan nantinya aku tidak bisa bertemu Allah dengan khusyuk jika perut tengah konser.

Waktu ashar

Yah… waktunya sholat ashar. Tapi setelah adzan itu berkumandang… bukannya aku menggegaskan langkah untuk menyucikan diri, aku malah asyik dalam dengan menggores pena dalam binder atau terbuai oleh kelucuan upin dan ipin dalam TV. Seakan-akan binder dan TV lah yang memberiku kenikmatan dunia.

Astagfirullah… mengapa begitu sulitnya menghadap Illahi dibandingkan menghadap TV atau Kertas.

Waktu magrib

Lagi dan lagi. Kesalahan yang sering kulakukan. Selesai adzan magrib, bukannya aku segera meluncur ke air pancoran untuk berthoharoh, tapi malah menunggu sinetron iklan atau “tanggung” lagi facebook-an. Seakan-akan mereka lah yang berkuasa. Pemilik alam dan waktu duniaku.

Astagfirullah… mengapa sinetron atau facebook lebih menggoda dan menarik dibanding bertemu dengan Zat yang Maha segalanya?

Waktu isya

Adzan, alunannya paling merdu di seluruh belahan jagat raya ini dikumandangkan lagi pada waktu isya. Tapi lagi lagi bukannya segera sholat, aku malah menunda dengan alasan “nanti saja, sebelum tidur. Biar khusyuk.” Tapi setelah itu. aku malah mengantuk. Dan lebih mudah bertemu bantal guling dari pada Allah. Seakan-akan bantal dan guling lah yang menjadi tempat keluh kesah.

Astagfirullah… bantal dan guling itu menggoda memang. Tapi menghadap dan bertemu dengan Allah adalah kewajiban. Tidak seharusnya aku seperti itu.

Astagfirullah…

Mengapa aku seperti ini? Waktu shubuh hanya sekali satu hari. Waktu dzuhur hanya sekali dalam sehari. Waktu ashar hanya sekali dalam sehari. Waktu magrib hanya sekali dalam sehari. Waktu isya hanya sekali jua dalam sehari. Namun mengapa aku masih mengutamakan hal lain yang bisa kulakukan berkali-kali dalam sehari ketimbang solat 5 waktu yang masing-masing hanya sekali dalam sehari? Naudzubillahimindzalik…

Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa umat muslimin dan muslimat… amiiin.

Rabu, 17 Maret 2010

HATI

Tolong… jangan laporkan aku ke polisi karena telah membunuhmu dengan mengambil hatimu
Karena sesungguhnya, aku hanya meminta hatimu dengan tulus. Berharap… kau memberinya dengan sukarela.
Jika kau tidak memberinya… aku tidak memaksa. Akan kucari hati lain, yang pemiliknya memberikan padaku dengan gratis dan sukarela. Tanpa pamrih. Tahukah kau? Aku tidak akan berjanji untuk tetap menunggu hatimu menjadi milikku. Karena aku tak bisa menunggu sesuatu yang tidak pasti. Mencari kepastian bukan kesamaran adalah hakku. Dengan begitu… aku tidak perlu memungkiri janji apapun padamu.
Namun jika kau memberi hati itu secara utuh dengan sukarela, aku harap kau mengetahui betapa besar rasa kasih yang tertanam dalam hati meski aku tak pernah berucap apapun. Aku harap kau menyadari betapa besar rasa cinta yang tumbuh dalam hati meski aku tak pernah mengungkap apapun. Karena itu artinya… kau mencintaiku dengan pemahaman yang luar biasa.
Aku mencintaimu karena Allah. Agar Allah pun mencintai aku. Aku berharap… kau mencintai karena Allah dan agama karena dengan begitu… kedua hal tersebut dapat mencintai dan selalu dekat denganmu.
Oh ya… untuk hati yang telah kau berikan itu… mohon jangan diminta lagi. Takutnya kehampaan merenggut kesucian jiwaku jika kau minta hati itu lagi. Dan tolong… jangan kau bekukan juga hati itu dalam dingin kebencian jika nanti aku berbuat salah. Karena aku hanya wanita dengan kesangatbiasaan yang tidak bisa lepas dalam dekap.
Tolong sekali lagi. Jika kau beri hatimu padaku, maka simpan hatiku sebagai jaminan agar aku menjaga hatimu dengan sangat baik.
Kelebihanmu ada untuk menutupi kekuranganku.
Kelebihanku ada untuk melengkapi kelebihanmu jua. Kita saling melengkapi. Dengan hati yang ada. Hati yang dengan sukarela kita tukar untuk masa depan…