Minggu, 31 Oktober 2010

gara-gara baca YEBO

Kemaren waktu beresin tempat buku di kamar, ada YEBO 15 yang uda lama nggak dibuka-buka lagi. “Pokoknya kalo uda salse mau baca YEBO lagi.” Niatku dalam hati.

Malam ini aku lakukan. Kuambil YEBO yang disimpan di rak paling bawah dan deretan paling ujung. Kubaca lagi sambutan dari Ustmif, Pak Dede, dan Bu Mike. Mereka berhasil menyapa 15 dengan cara mereka sendiri. Mereka mengenal betul seperti apa kami. Dan untuk ke sekian kalinya mataku berkaca-kaca membaca YEBO.

YEBO itu mengingatkanku pada banyak hal. GC dan hilang laptop termasuk didalamnya. Kubuka lembar berikutnya. Ada sambutan dari mantan ketua OSIS dengan pose mirip Soekarno, mengenakan peci, menutupi rambut ikal yang biasa diuwil-uwil sama Abida.

Ngeliat YEBO, jadi inget banget sama sahabat 15. Ada orang usil yang creative kasih nama kelas buat XII IPA, saking usilnya, laptop si kuntet pernah diputer sampe 180o. Ada si gadis lembut dengan senyum menawan yang rumahnya selalu jadi tempat buat nyeblak atau metis. Brownis, si hitam manis yang sama usilnya dengan yang lain, yang kerjaannya juga minta uang buat makan. Ada si pendiam yang pandai bermain badminton. Calon bidan yang paling enak diajak sharing atau jadi bahan ejekan satu kelas. Si tangkas pecinta alam. Gadis ramai yang pernah dibeliin buah sama pria berbehel waktu sakit. Ada orang Betawi yang misterius. Cewek gokil yang kreatif dan menyenangkan. Si polos yang selalu butuh penjelasan panjang mengenai satu hal namun pandai berbahasa Inggris. Dua orang pecinta DDR calon programmer hebat. Si hidup luntang-lantung yang nggak suka mandi. Guru muda yang senang sekali tersenyum dan nggak bisa diem di kelas. Pria berbehel pencari cinta. “Bibir” yang paling asyik di ajak jalan. Si cewek tomboy yang suka teriak-teriak. Rock star yang nggak suka mandi dan mencari cinta sejati sekaligus teman yang baik meski usilnya nggak nahan. Jajaka SMUTH yang senang sekali membaca buku agama. Si pintar misterius yang pendiam. Si kecil yang ngomongnya kayak kaleng beradu. Sang Veteran yang gagal mengejar cintanya. Si hitam manis yang selalu membawa keceriaan. Gadis muda penuh antusias dan semangat sekaligus guru terbaik berasal dari Sulawesi. Mantan ketua MPK yang asyik diajak cerita. Dan masih banyak lagi .

Bukan rindu pada masa itu. lebih tepatnya lagi rindu dengan mereka yang mengiringiku melalui masa-masa itu.

Sabtu, 30 Oktober 2010

MID (4)

Hari ini aktivitas Laras seperti biasa. Bangun, sholat, sarapan, pergi ke kampus, dan pulang. Tetapi ada hal lucu yang menarik. Tingkat semangat Laras benar-benar memuncak. Tidak seperti biasanya. Sepulang kuliah, dengan santai ia menarik gas motor. Ketika lampu merah, seorang pria berteriak padanya, “Sayang! Hati-hati di jalan ya…” Laras tersenyum mendengarnya. Bukan karena ia mengenal orang itu, tetapi justru karena ia tidak mengenalnya.

Motor yang ditumpanginya terus melaju. Ketika melalui mesjid Istiqomah, sebuah mobil katana berhenti, mengizinkannya untuk menyebrang. Laras melihat seseorang dalam mobil katana. Seorang pria tersenyum manis penuh keramahan dan TAMPAN. Laras terpesona seketika. Tiba-tiba ia cengingisan. Seperti gadis yang tengah jatuh cinta pada pandangan pertama. itu hanya gurauan.

Sesampainya di rumah. Laras segera masuk kamar. Ia berdiri di depan cermin. Dan teringat perbincangannya dengan Ibu seminggu yang lalu di ruang makan.

“Nak, apa yang membuatmu tertarik sama Haris?” Tanya ibu.

Laras kaget karena ibu menanyakan hal yang membuatnya tersipu malu. Haris adalah senior Laras sewaktu di SMA. Kedekatan Laras dengan Haris didefinisikan lain oleh sang ibu.

“Laras nggak tertarik sama Haris kok, bu.” Bantah laras sambil tertunduk.

“Oh… gitu…” ibu diam berlagak tidak tahu apa-apa

“Sejauh ini ya, bu. Laras senang dan nyaman bertukar pikiran dengan Haris. Haris selalu bisa menjadi teman sharing baik. bukan Cuma itu, bu… Haris selalu pergi ke masjid untuk menunaikan solat subuh. Menurut Pak Ustadz, itu salah satu indikasi pria bertaqwa. Laras sih Cuma mau suami bertaqwa, bu.”

“Ia… tapi bukan itu saja yang harus kamu perhitungkan, Nak. Seorang pria juga punya tanggung jawab untuk menghidupi istrinya. Jadi kamu juga harus cari suami yang berpotensi menghidupimu lahir dan batin. Dunia dan akhirat.” Nasehat ibu.

“Ia, bu. Pasti itu mah. Rasulullah juga mengizinkan kita sebagai wanita mencari pria yang mapan kok. Tapi, bu. Haris itu orangnya kadang selalu serius. Semua gurauan Laras dianggapnya serius. Kadang kami juga mempeributkan masalah-masalah kecil.”

“Emang kamu kira bapakmu ini bisa diajak bercanda, Nak?”

Laras dan ibunya tertawa terkikih-kikih.

Laras senang sekali mengingat kejadian seminggu lalu. Betapa sang ibu memperhatikan perkembangan Laras. Betapa sang ibu tidak sekaku dulu. Dulu waktu masih SMP sampai kelas sepuluh, Laras dipingit di rumah. Tidak boleh main dengan laki-laki. Kalaupun mau main dengan lawan jenis, itu harus di rumah. Tidak boleh pergi dengan laki-laki meskipun bersama dengan teman-teman perempuannya juga.

Jumat, 29 Oktober 2010

MID (3)

Disisi lain, Gio sedang memikirkan cara untuk mengajak Laras keluar. Gio mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia menggaruk-garuk kepala. “Haduh! Gimana nih ya? Uda kangen… pengen ketemu. Tapi pasti kalau jalan gitu aja nggak bakal mau.” Pikir Gio.

Tidak lama, cellphone-nya berbunyi. Ada sms dari Laras

Laras : Gio lagi apa?

Gio : Lagi berdiri. Knp?

Laras : Nggak apa-apa cuma tanya.

Selesai.

Gio menyesal sekali ia tidak membalas sms dari Laras. “Ajak nggak ya? Ajak nggak ya? Mau nggak ya? Mau nggak ya?” lagi dan lagi Gio mengalami krisis keraguan yang luar biasa. Pernah beberapa kali Gio mengajak Laras keluar sekadar jalan-jalan, tapi Laras selalu saja menolak. Banyak alasan. Tapi bukan alasan juga. Laras bukanlah seorang gadis yang senang bersantai ketika tidak pergi kuliah. Kalaupun ia tidak keluar rumah untuk mencari barang yang dibutuhkan, ia selalu di kamar, di depan laptop, dan menulis. Kalau tidak menulis, Laras selalu asik membaca. Dan kadang, membaca itulah yang membuatnya malas pergi kemanapun. Jadi setiap kali Gio mengajaknya keluar, Laras selalu menyebutkan segudangnya kegiatan yang akan ia lakukan hari itu.

Tangan Gio sudah bersiap untuk mengetik sms pada Laras. Tapi batal. “Bagaimana kalau Laras menolak?” tanyanya dalam hati.

Akhirnya, Gio mengirim sms juga pada Laras.

Gio : Laras, tau tempat makan salad yang enak nggak?

Laras : Mmm… nggak tau. Palingan aku juga kalau beli salad ke PH atau nggak ke Hokben.

Gio : Oh. Gitu.

Laras : coba cari aja atuh. Da aku juga nggak tau.

Selesai

Gio tidak langsung mengajak Laras. Dia hanya menunggu inisiatif dari Laras untuk mengajukan tawaran mengantarnya. Tapi Laras tidak juga mengajukan tawaran. Akhirnya dengan sedikit keberanian dan harapan, Gio mengirim sms lagi pada Laras.

Gio : Laras. Besok kita ke Dago yuk! Ada car free day. Mau nggak?

Laras : Maaf, Gio. Aku nggak bisa. Soalnya mesti belajar. Nanti aku ada quis. Maaf banget ya. Minggu depan aja, gimana?

Gio : Oke deh nggak apa-apa. Yaudah ya. Makasih. Semangat belajar.

Alhasil, seharian ini Gio kerimpungan. Karena keinginannya untuk jalan dengan Laras, BATAL.

Selasa, 26 Oktober 2010

MID (2)

Tangisnya tumpah begitu saja. Laras terisak-isak. Ingin rasanya ada sebuah bahu untuk tempatnya meneteskan air mata yang terus turun. Ingin rasanya ada sepasang lengan terbuka dan berkata, “sini sayang… menangislah di pelukan ibu. Semua akan baik-baik saja.” sayang sekali ibu Laras sedang pergi mengunjungi neneknya di Palembang sana. Malam itu… Ibunya menelpon Laras.

Laras : Assalamualaikum, ibu sehat?

Ibu : Waalaikumsalam. Alhamdulillah sehat, sayang. Tadi gimana tesnya?

Laras : Ada 3 nomor yang nggak kejawab, Bu. Laras bener-bener lupa. Bu, bapak ada? Ibu dan bapak uda makan belum?

Ibu : Loh? Kok bisa? Emang berapa soal semuanya? Ibu uda makan, Sayang. Bapak juga uda.

Laras : tadi tuh ada 10 soal. Tapi analisis semua. Nah yang nggak bisa itu bagian pertanyaan hapalannya, Bu. Ibu makan apa?

Ibu : Tadi ibu makan mie goreng sama nasi. Kalau bapak, makan bihun.

Laras terdiam. Tetes air matanya turun perlahan. Laras tidak sampai hati mendengar ibunya makan mie goreng. “Ibu kan punya sakit maag. Uda lama juga nggak makan mie. Kalau ibu makan mie, nanti perut ibu nggak enak.” Miris Laras dalam hati. Ia tidak mampu menyampaikan pikirannya pada sang ibu. Karena dia tahu apa yang akan dijawab ibunya, “Itu untuk penghematan, sayang. Bapakmu sudah nggak punya uang banyak lagi.”

Ibu : Laras sudah makan, Nak?

Laras : Udah, bu. Tadi Laras makan banyak sekali. Oh ya bu… rumah jadi dikontrakin? Nanti barang-barang gimana? Kapan ibu ke bandung?

Ibu : Nanyanya satu-satu, sayang. Ia, rumah jadi dikontrakin. Barang-barang sebagian dibawa ke Bandung, sebagian lagi disimpen di pavilion nenekmu. Minggu ini, bapakmu terima DPnya. Nggak terlalu banyak. Tapi nggak apa. Syukuri aja, sayang. Uangnya nanti buat jajan mingguan Laras sama Dion ya.

Air mata Laras semakin deras.

Laras : Maafin Laras uda nyusahin ibu dan bapak ya.
Laras menahan tangisnya. Ia tidak ingin sang ibu tahu kalau ia tengah menangis.

Ibu : Itu sudah tanggung jawab kami, sayang. Laras nggak nyusahin ibu sama bapak kok. Yaudah ya… jangan lupa belajar, solat, makan juga teratur. Inget pesan dokter. Jangan kecapean ya, sayang. Urusan keuangan… nggak usah dipikirin. Laras fokus kuliah aja ya.

Laras : Yauda. Ibu juga jaga kesehatan. Salam untuk bapak. Assalamualaikum.

Laras menutup telepon setelah ibunya menjawab salam. Air matanya laksana hujan yang terus-menerus mengguyur Ibu Kota hingga menyebabkan banjir. Baju tidur bagian depannya sudah basah karena air mata yang terus menembakinya.

Pikirannya kalut. Ingin rasanya ia berbagi dengan orang lain. Tapi siapa? Kak Lena, kakak tertuanya sedang asyik dengan dunia maya setelah seharian bekerja. Diambillah handphone yang tergeletak begitu saja. ia ketik kalimat dan mengirim kepada seseorang yang ada di phonebooknya. Seseorang yang selalu bisa memberinya semangat. Seseorang yang menyuguhkan senyum hangat di pagi hari walau hanya lewat sms. Seseorang yang periang. David, namanya. Senior yang dikenalnya di SMP dulu. Dan sekarang satu kampus dengannya.

Laras : Kak, aku pengen nangis deh…

David : Nangis aja, De. Itu bisa bikin lega. Emang kenapa, De?

Laras : Aku nggak bisa cerita, Kak. Ceritanya panjang kayak rel kereta api

David : Tuh, kan… tapi kakak nggak punya pulsa buat nelpon Ade. Ade mau telpon kakak?

Laras : Laras juga nggak ada pulsa nelpon, Kak.

Setelah mengirim sms, segera Laras mengenakan mukena. Baginya… momen saat itu sangat indah untuk berkeluh kesah pada Sang Khalik. Karena hanya Dialah yang mampu mengatasi kesulitan yang dialami Laras dan keluarganya. Segera ia menunaikan sholat isya. Ada tangis kuat dalam doa yang dipanjatkan. Tangisan itu tak henti-hentinya. Hingga Laras merasa kepalanya berat.

“Kak Lena, aku tidur duluan ya.” Pamit Laras untuk pergi tidur.

“Ia, De. Jangan lupa nanti malam bangunkan kakak ya kalau kamu bangun buat sholat.” Pinta Kak Lena.

Dalam diam sambil memutar tasbih di tangan beriringan dengan dzikir yang berpeluk di hatinya, Laras tertidur meski matanya masih basah.

Kamis, 21 Oktober 2010

MID (1)

Gio : Yaudah… aku nggak perlu masuk kuliah pagi ini. nanti aja diganti minggu depan. Kan kamu nggak ada yang anter… jadi aku anter kamu aja.

Laras : lah? Anter aku ninggalin kuliah? Nggak! Aku nggak jadi minta anter. Aku nggak mau kamu menomorduakan kuliah.

Gio : aku uda izin sama temen kok. Lagian temen aku juga ada yang nggak masuk

Laras : Nggak usah. Aku nggak suka kalau kamu ngorbanin nggak kuliah buat aku. aku pergi sendiri aja naik motor. Jadi dari kampus, aku langsung ke RS.

Gio : yaudah deh kalo itu mau kamu. Tapi kalau kamu berubah pikiran… kamu sms aku aja ya.

Selesailah percakapan Gio dan Laras lewat sms. Paginya… Laras bersiap untuk pergi ke kampus. Dan membawa seberkas hasil tes lab kemaren. Rintik hujan menambah dinginnya pagi itu. Ia berharap sekali ada seseorang yang bisa menjemputnya. Tapi itu hanya harapan. Eits! harapan yang berubah jadi nyata.

Tiba-tiba Gio berubah pikiran. Karena disepanjang jalan Kiara Condong terjadi kemacetan akibat hujan, Gio memutuskan untuk tidak kuliah. Akhirnya Gio datang menjemput dan mengantar Laras ke kampus. Hari itu hari Sabtu. Laras ada kuliah pengganti.

Hati Laras bahagia sekali. Gio selalu ada ketika laras membutuhkan seseorang. Gio juga selalu siap berkorban. Dan Gio benar. Dia membuktikan kata-katanya dulu “Kalau aku menyayangi seorang wanita, aku tidak akan membiarkan wanita itu kesulitan. Aku akan datang menghalau kesulitan itu.”

Satu jam berlalu… kuliah Laras selesai. Gio menjemput Laras tepat pada waktunya. Ketika Laras keluar dari gedung, mobil Gio sudah terparkir di parkiran mobil. Tapi Laras menunda kepulangannya. Karena Ia harus menghadiri rapat Badan Eksekutif Mahasiswa. Sang mentri tidak datang. jadi ia harus datang. dan menyampaikan permohonan izinnya.

setelah selesai rapat, Laras dan Gio pergi ke salah satu rumah sakit besar di Bandung untuk memeriksakan kondisi kesehatan Laras yang memburuk. Laras harus menemui dokter kandungan. Bukan karena ia hamil.

Setibanya di rumah sakit, Laras sedikit kecewa. Karena dokter yang sudah direkomendasikan pihak laboratorium membatalkan semua janji dengan pasiennya secara mendadak. Alhasil, Laras harus daftar ke dokter yang lain. Dokter Brian, namanya.

Setelah mendaftarkan diri. Laras pergi ke ruangan spesialis obgyn. Gio menemani. Di ruangan itu banyak sekali ibu-ibu yang tengah hamil, ada yang menggendong anak, ada yang sendirian, dan ada yang ditemani suaminya. Laras merasa kikuk sekali. Baru kali ini pergi ke dokter kandungan ditemani seorang pria.

Belum sampai 30 menit, Gio ingin keluar ruangan. “Keluar yuk, ras!” katanya.

“merasa nggak nyaman ya?” tanya Laras

Gio hanya tersenyum. Laras mengikuti Gio keluar ruangan sambil menunggu namanya dipanggil perawat tepat di pintu ruang dokter.

Sudah lebih dari dua jam mereka di rumah sakit. akhirnya… nama Laras dipanggil. Dengan jantung sedikit berguncang, Laras menahan diri. Walau kata dokter kiste itu tidak terlalu berbahaya, tapi jangan disepelekan juga. Karena kiste itu bisa saja berubah menjadi tumor atau kanker yang mematikan. “Harus dijaga ya, Bu. Jangan sampai lelah atau stress.” Saran dokter. Laras hanya terdiam. “tapi kalau ibu ingin benar-benar tenang. Sebaiknya ibu ikut fisioterapi. Tapi kalau ibu tidak mau. Nanti setelah enam bulan, datang lagi ya!” Laras keluar pintu ruang dokter dengan bimbang. “it’s gonna be okay without physiotherapy.” pikirnya. Dengan senyum sumringah, Laras menghampiri Gio yang duduk di kursi antri kasir.

“Gimana kata dokter?” tanya Gio

“nggak apa-apa. Kamu lapar nggak? Setelah bayar… kita makan diluar aja ya!”

Gio mengangguk. Mereka makan siang di salah satu tempat makan di jalan RE Martadinata. Seharian ini, Gio menemani Laras. Laras pun merasa senang. “Ya Allah… ada ya seorang laki-laki yang mau berkorban untukku seperti Gio.” Lirihnya dalam hati.

Setelah makan, Gio mengantar Laras pulang. Laras sangat kelelahan. Dan waktunya untuk istirahat. Malam sebelum tidur. Ia menerima sms dari Gio.

Gio : Laras… ada yang ingin aku tanyakan. Boleh?

Laras : boleh. Dengan senang hati ^^

Gio : boleh nggak aku tetep sayang kamu kalopun kita nggak pacaran lagi?

Laras : boleh dong. Setiap muslim kan memang harus menyayangi satu sama lain.

Gio : Oke. Makasih. Aku mau solat terus tidur ya.

Laras memikirkan sms itu sampai merasa lelah. Dan ia pun tertidur.