Rabu, 31 Desember 2014

Berjalanlah (2)

Kamu menyendiri di teras depan. Duduk. Memperhatikan aliran air dalam kolam. Memperhatikan angin yang menderu menghepas bulu matamu. Air matamu mengalir landay. Merenungi ucapan tadi : NENG NGGAK SAMA SEPERTI ANAK-ANAK LAINNYA.
            “Kenapa harus saya, Ya Allah? Saya suka berjalan-jalan. Saya suka berlari. Saya suka melakukan banyak hal. Lalu kenapa harus saya yang tidak bisa melakukan hal yang saya suka?” Tanyamu dalam hati yang berontak.
            “Assalamualaikum...” Datang seorang wanita yang menggendong seorang anak. Rambutnya diikat rapi. Kulitnya berwarna kuning cerah. Pakaiannya sangat sederhana.
            “Waalaikumussalam.” Kamu menjawab perlahan.
            Kamu berjalan memasuki ruang tamu. Mengikuti wanita itu di belakangnya. “Berobat juga?” Tanyamu memulai pembicaraan.
            “Iya.”
            “Sakit apa, Bu?”
            “Ini yang sakit.” Wanita itu menunjuk pada anak yang sedang digendongnya.
            “Anaknya?” Tanyaku ramah.
            “Bukan. Anak majikan saya. Ibu bapaknya lagi kerja. Jadi kesini sama neneknya dan saya.”
            Sebut saja namanya Melati. Melati mengidap autis. Entah harus menyebutnya autis atau bukan. Hanya saja. Dia berbeda. Dia lebih istimewa dari pada kamu, Bunga. Meski sering orang memandangnya dengan keanehan, dia tetap tidak peduli. Dia selalu tersenyum. Seharusnya kamu pun seperti itu. Jangan peduli seberapa kurangnya kamu. Jangan pernah pedulikan mereka yang bertanya aneh tentang penyakitmu. Setidaknya kamu masih dapat menggunakan kaki-kakimu untuk berjalan, kamu tidak perlu digendong untuk menuju tempat yang kamu inginkan. Orang tuamu masih sangat meluangkan waktunya untuk mengantarmu berobat, Bunga. Kamu hanya diminta melalui apa yang Allah SWT takdirkan untukmu, bukan memecahkan hal itu. Jangan terlalu keras berpikir, Bunga. Jangan terlalu senang bersedih, Bunga. Kamu hanya perlu ikhtiar, doa, dan tawakal. Satu lagi : bersyukur. Itu saja.
            Dalam renunganmu. Allah SWT langsung menunjukkan jawaban-Nya. Air mata yang mengalir kini kering seketika. Kamu melempar senyum tulus seperti biasanya kepada kedua orang tuamu. Kamu melegakan hati mereka. Tidakkah kamu pernah berpikir bahwa disudut hati kecil mereka, mereka menyesal dan mempertanyakan kepada Illahi tentang penyakit yang kamu derita? Tapi Bunga, mereka tegar di hadapanmu untuk membantumu untuk tetap bertahan. Bertahan di jalan yang Allah SWT buat agar kamu tetap lurus. Agar kamu tidak menyimpang. Agar kamu dapat melalui semuanya. Mereka menggandengmu, Bunga. meski fisik tidak selalu di sisimu, doa mereka menggandengmu melewati jalan yang kamu rasa itu berat. Laluilah jalan itu. Buat mereka bahagia. Mereka tidak butuh apa-apa. Mereka hanya ingin kamu berjalan lebih sehat dari sekarang. Ya. Mereka hanya ingin kamu sembuh.  

Rabu, 24 Desember 2014

Berjalanlah (1)

Lima hari setelah kepulanganmu dari Sukabumi
            Tubuhmu tidak juga pulih. Kamu semakin cepat lelah dan tidak bergairah. Meski senyummu tetap bersama langkahmu.
            Perjalanan panjang menuju Kota Kembang. Membuat jantungmu berdebar lebih dari biasanya. “Ada sesuatu yang akan terjadi? Apa ini?” Tanyamu dalam hati.
            “Bung. Bunga. Bunga. Bangun, Nak.” Mama membangunkanmu.
         Kalian telah sampai di rumah sederhana. Kang Asep. Ya. Kang Asep. Hatimu bergetar tidak karuan. Akan ada kabar baikkah? Atau jangan-jangan? Entahlah. Tapi percayalah. Allah swt sesuai dengan prasangka umat-Nya. Jadi ya berprasangkalah yang terbaik. Kamu berjalan perlahan. Sangat perlahan. Entah lelah atau mungkin karena memang tubuhmu sudah tidak sanggup lagi menopang badan yang semakin lama terasa semakin berat. Atau jangan-jangan menghentakkan kaki saja kamu sudah tidak sanggup. Ini hati atau fisikmu yang terluka?
Masih teringat jelas. Waktu itu tanggal 07 Juni 2014. Kali keempat kamu datang ke rumah sederhana. Untuk hal yang sama. Masih sama. Masih spasmofilia.
Kang Asep memegang pergelangan tanganmu. Kepalanya bergeleng-geleng. Kanan-kiri. Kamu hanya tertunduk. Takut sekali. “Neng disana ngapain aja kegiatannya? Cerita dong!” Kang Asep memecah kesunyian berbalut ketakutan yang kental.

Sedikit cerita tentang kegiatanmu di Sukabumi. Setiap pagi kalian harus berlari menuju masjid untuk menunaikan sholat subuh atau tempat ibadah lainnya. Lepas subuh berlari menuju lapangan luas lalu ditutup dengan olah raga pagi yang ringan. Namun tidak jarang para pelatih meminta kalian mengambil posisi serong kiri. Kalau sudah serong kiri, kalian pasti diminta untuk push up. Hukuman yang sering sekali kalian terima jika melanggar atau sekedar melakukan hal-hal yang kekanakan. Kamu yang selalu berpikiri untuk memberikan yang terbaik, maka kamu pun berpikir untuk melakukan segalanya semampumu. Sampai tumbang. Segimanapun beratnya latihan yang harus kamu lakukan, kamu akan terus melakukannya sampai memang kamu jatuh dan terkapar. Satu hal yang selalu kamu tekankan dalam hidup : never do complain. Ya. Kamu memang tidak pernah mengeluh. Jangan pernah mengeluh.
Satu minggu sudah kamu tidak meminum obat herbal yang dibekalkan padamu karena basi. Syukurlah sejak awal kamu tidak pernah merahasiakan penyakitmu dari pelatih. Kamu hanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Meski hati ingin menyembunyikan sakit, tapi kamu sadar betul kalau kamu butuh pemakluman bila tubuh lelah. Suatu pagi, kamu dan teman-teman lain diminta untuk periksa kesehatan di rumah sakit disana. Pemeriksaan itu dilakukan sebelum memulai tes fisik. Dipanggillah kalian berlima untuk memasuki ruangan dokter yang berseragam polisi lengkap. Dokternya masih sangat muda dan cantik. Kalau dibilang cantik, berarti dia seorang wanita. Ya. Tubuhnya indah, wajahnya cantik, rambutnya lurus meski dipotong pendek. Dokter yang hampir sempurna.
“Disini ada yang pernah sakit parah?” Tanyanya.
Masing-masing dari kalian menjelaskan penyakit yang pernah dideritanya. Tiba giliranmu. “Spasmofilia.”
Wajah dokter muda itu langsung berubah, “Apa itu?”
“Kram otot intinya, dok. Karena kekurangan kalsium.”
“Pantangannya apa?”
“Nggak boleh terlalu capek, dok.”
“Gini aja. Kalo nggak kuat, bisa langsung berhenti aja ya ujian fisiknya.” Syukurlah dokter menutup pertanyaan-pertanyaannya. Kamu selalu merasa terganggu kalau harus menceritakan banyak hal tentang si istimewa.
Kamu duduk bersandar sambil mengikat tali sepatu olah raga. Dokter yang tadi di ruangan datang menghampiri bersama dokter lainnya, seorang pria yang usianya sekitar 35 tahun. Tubuh dokter yang satunya lebih gemuk. Dia dokter asli nampaknya. Tidak mengenakan seragam polisi. Wajahnya sedikit lebar namun putih. “Dek. Tadi kamu sakit apa?” Tanya dokter polwan.
“Spasmofilia.” Jawabku.
“Apa itu?” Tanya dokter. “Hemofilia?”
“Loh bukan dong, dok. Itu penyakit kekurangan kalsium. Saya bawa hasil tes EMG.”
“Boleh lihat?”
Kamu mengeluarkan kertas kecil yang bertuliskan HASIL TES EMG : (+) 3.
Dokter itu hanya mengangguk seolah mengerti betul penyakit apa yang kamu derita. “Ya udah. Kalau udah nggak kuat jangan dipaksakan ya.” Sarannya.
Aku terheran melihatmu diam membeku. “Kenapa, Bung?” Tanyaku.
“Dokter itu nggak tahu apa itu spasmofilia. Dia hanya berpura-pura tahu.”
Aku terperangah. “Dari mana kamu tahu?”
“Tatapannya kosong dan penuh ketidak mengertian.”
Lanjut lagi kamu dan mereka membentuk barisan. Siap menuju lapangan untuk memulai tes fisik. Jantungmu berdebar lebih cepat. Nampak kekhawatiran akan ketidak sanggupanmu melewati tes ini. Kamu tidak ingin gagal. Kamu memang tidak terbiasa untuk gagal. Segala cara terbaik akan kamu lakukan untuk terhindar dari sebuah kata : GAGAL.
Kamu dan mereka harus berlari mengitari lapangan yang luasnya tiga kali lebih besar dari lapangan sepak bola biasa. Dengan nomor dada 012, kamu berlari semampunya, sekuat kakimu berlari. Satu putaran dilampaui. Tidak banyak upaya yang kamu keluarkan. Hanya saja di putaran berikutnya, kamu menjadi lebih lelah. Kakimu meraung kesakitan, tanganmu melamah seolah tidak lagi mampu berayun. Tapi satu yang tidak pernah lelah : pikiranmu yang positif. Kamu terus berpikir kalau kamu mampu menyelesaikan tes fisik itu. Di putaran keempat. Putaran terakhir setelah harus berlari 12 menit. Putaran yang melegakan. Kamu menghentikan larimu. Membiarkan kakimu beristirahat. Meregangkannya sembari meneguk satu gelas air mineral. Kamu berhasil. Pikiranmu berhasil menuntunmu menjalankan semuanya dengan sangat indah. SELAMAT BUNGA.

“MasyaAllah, neng.. capek banget. Neng sanggup kaya gitu?” Mata Kang Asep sedikit berkaca-kaca.
Kamu tertawa pelan.
“Dunia ya. Kita suka diperbudak sama dunia.” Lagi-lagi Kang Asep menggelengkan kepalanya. “Ini udah semakin parah, neng. Harus serius ditanganinnya. Kalau nggak nanti malah lebih fatal.”
Kamu tertegun. “Terus gimana dong, kang?”
“Penyakit ini emang nggak bisa sembuh 100%. Jadi harus ada kekuatan hati dan keinginan yang kuat supaya bisa sembuh. Nggak mungkin Allah kasih penyakit tapi nggak ada obatnya. Cuma neng nggak boleh kecapean. Neng kan nggak boleh lari sering-sering.”
“Tapi kok aku ngerasanya sehat-sehat aja ya, kang? Kayanya nggak apa-apa deh.”
“Emang si penderita nggak bakal ngerasain apa-apa. kerasanya ya sehat aja. Tapi sekalinya jatuh kondisi daya tahan tubuh bisa merosot drastis.”
“Sekarang daya tahan tubuh aku berapa persen, kang?”
“Mencapai 40% aja, neng. Kalau daya tahan tubuh neng sampai dibawah 30% neng harus istirahat total. Sama sekali nggak boleh ada aktivitas berat. Paling nggak satu sampai dua tahun. Bed rest total.”
Kamu terkejut, “Separah itu kah?”
“Kalau nggak serius ditangani, nanti bahaya. Harus hati-hati betul, neng. Dijaga kondisinya. Kalau nggak diseriusin, tubuh bakal sering merasa lelah, demam, alergi, dan nafsu makan bisa menurun.”
Mama dan papa menyela, “Kedah kumaha atuh, kang?”
“Usahakan satu bulan ini jangan terlalu capek. Lepas pendidikan langsung pulang dan istirahat. Akhir pekan juga dipaka aja buat istirahat. Jangan kemana-mana.”
“Sebentar lagi bulan ramadhan, kang. Boleh puasa kan?” Tanyamu terbata-bata.
“Sebaiknya jangan dulu puasa. Kondisinya benar-benar parah. Harus ada asupan gizi yang baik.”
“Tapi kan puasa bisa menyehatkan, kang?” Tanyamu sedikit memaksa.
“Menyehatkan untuk yang sehat, neng. Kalau neng yang sakit, nanti malah semakin parah. Allah Maha Mengerti kok. Allah juga tahu kalau neng sakit jadi nggak bisa puasa. Allah yang lebih mengetahui kondisi neng sendiri.”
Kamu menahan air mata.

“Neng... neng harus sadari. Neng nggak sama seperti anak-anak lainnya. Neng nggak bisa sering jalan kaki apalagi lari, neng nggak bisa kelelahan. Jadi neng harus bisa membedakan apa yang bisa dan nggak bisa neng lakukan. Neng kan nggak boleh dzalim sama badan neng sendiri.” 

Rabu, 17 Desember 2014

Kembalilah Kini

Dua minggu sudah di Sukabumi. Rindumu pada mama dan papa sudah tidak tertahan. Akhirnya handphone yang dikumpulkan sudah kembali ke pemiliknya masing-masing.
            “Pap... aku dari sini pulang jam dua siang. Nanti malemnya bisa ketemu kan, pap?” pertama kali memegang HP, kamu langsung menghubungi mama dan papa. Sayang mama tidak menjawab teleponmu.
            “Iya sayang. Bunga sehat sayang?”
            “Alhamdulillah Bunga sehat, pap.”
            Satu nama lagi. Masih ada satu nama lagi yang ingin kamu hubungi. Andi. “Apa kabar dia?” Tanyamu. Tapi tangan begitu kaku. Enggan sekali menekan nomornya. “Baiklah. Sampai di Jakarta, aku akan menghubungi dia.” Pikirmu.

From   : Krisna           
To        : Bunga
Hei. Ini hari trakhir km di smi. Bole nanti sore aku ktmu?

Aku lupa menceritakan Krisna. Sejak kepergian Andi menuju tempat pelatihannya. Krisna datang. Menawarkan jabatan pertemanan. Krisna. Dialah seniormu di masa kuliah. Wajahnya tampan. Kulitnya putih. Matanya coklat terang. Potongan rambutnya begitu modern. Badannya tinggi dan proporsional.
            “Apa sekalian aja temuin sama mama papa ya?” Tanyamu dalam hati. Tidak ada salahnya mama dan papa mengenal temanmu bukan?
            Menjelang maghrib, mama, papa, dan kedua kakakmu datang. Senyum sumringah menghiasi wajahmu yang semakin gelap. Dua minggu di Sukabumi cukup menghanguskan wajah yang memang sejak semula tidak juga terlalu putih. Kamu memeluk mama dan papa begitu erat. Kakak perempuanmu, Berlian, menatapmu lekat. “Iteman ya kamu, dek.” Begitu komentarnya.
            “Iya. Nanti juga aku putih lagi, teh. Lagian item itu eksotis!”
            Mama dan papa tertawa lepas.
            Selama menyantap makan malam, kamu tidak pernah berhenti bercerita tentang pengalamanmu di Sukabumi. Pengalaman yang sampai kapanpun tidak akan pernah kamu lupakan kecuali Allah SWT menghendakinya.
            Tidak seberapa lama, lelaki itu datang. Menyapa keluargamu dengan hangat. Ada yang beda dari tatapan mata mama dan papa. Seperti tatapan ketidak sukaan. Entah mengapa. Tria menendang kakimu sambil berbisik, “Ganteng, Bung.” Kamu hanya tersenyum.
            “Iya.” Menjawab sembari mengangguk.  
            Obrolan papa dan Krisna mulai agak serius. Seputar pekerjaan Krisna. Mama terlihat begitu antusias. “Emang kerja dimana?” Tanya papa.
“Di anak perusahaan Telkom, pak.”
“Apa tuh?”
“Jadi di Induk Koperasi pegawai Telkomnya, pak.”
“Dimana?”
“Deket Gambir.”
Entahlah perbincangan apalagi yang tercipta diantara mereka. Suasananya serius. Tetiba keheningan menghadang. “Bayar dulu aja kali ya, a.” Ucapmu.
            Krisna tetap saja duduk. Membiarkanmu berdiri. Mengambil dompet. Lalu membayar semua makanan yang dia makan. Kamu melihat teteh dan mama bertatap satu sama lain. Ada percakapan yang tersirat tanpa terucap dari keduanya. Meski sesaat, pertemuan terasa begitu hangat. Kamu berhasil melepas rindu yang dua minggu ini tidak dapat kamu lampiaskan kepada mereka, kepada keluargamu. Kamu berhasil tidur lelap. Malam singkat yang menyenangkan. Menorehkan senyum manis dalam tidurmu.

       Perusahaanmu sekarang memberimu tempat tinggal untuk satu minggu saja. Di sebuah hotel di samping Gedung Diklat. Hotel itu berjumlah enam lantai. Sayangnya tidak seperti hotel kebanyakan yang menaruh televisi di dalam kamar, hotel itu tidak menyimpan televisi di kamar. Hanya ada empat ranjang lengkap dengan selimut, bantal, dan sepre berwarna putih. Setiap penghuni mendapatkan meja belajar dengan lampu duduk diatasnya, dan lemari pakaian. Lemari diletakkan dekat dengan pintu kamar mandi. Mungkin bertujuan agar kamu mudah menggapai benda-benda di dalam lemari setelah keluar dari kamar mandi. Ada dua kamar mandi yang menyambutmu setelah pintu masuk. Di satu sisi terdapat lemari yang barangkali digunakan untuk menyimpan buku. Sedangkan di satu sisi lainnya terdapat kaca yang besar. Kaca dengan gordin berwarna krem. Kaca yang menghadap ke sebuah rumah dengan halaman yang luas. Dapat dibayangkan seluas apa kamar itu. Ya kamar itu memang untuk empat orang.
Kamu, Susan, Lia, dan Novi. Satu minggu ke depan kamu akan berada dalam satu kamar dengan mereka. Mereka adalah teman yang kamu temui. Teman sekaligus keluarga baru yang hadir dalam hidupmu. Meski baru saja ya baru saja saling mengenal dua minggu lalu, kalian sudah begitu akrab. Tidak ada kecanggungan. Entah apa yang menyatukan kalian. Kalian sudah mulai menjaga dan memahami satu sama lain. Seringkali
          Susan misalnya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki. Dia lulusan salah satu Universitas negeri di Malang. Dari caranya berhijab, kamu dapat menilai bahwa dia hijaber yang selalu mengikuti trend. Kerudungnya selalu yang persegi panjang, dengan jarum di kanan-kiri kepalanya. Panjangnya selalu menutupi dada. Susan juga paling tidak suka menggunakan celana jeans. “Pantatku kan besar, kalau pake jeans kelihatan banget besarnya.” Begitu ucapnya setiap kali ditanya alasan tidak suka jeans. Dari cara bicaranya, kamu dapat menilai bahwa dia perempuan dari keluarga baik-baik saja. Meski sering kali kata-katanya terlihat begitu kasar dan kotor. Mungkin dia salah bergaul dulu atau bisa saja karena gaya hidup keluarganya. Hampir setiap malam dia menelepon keluarganya. Ayah dan ibunya. Dan setiap kali dia menelepon, kamu mendengar suara manja pada ayahnya. Hangat dan begitu dekat. Begitulah gambaran setiap kali dia berbincang dengan ayahnya. Seperti seorang kekasih yang tengah menelepon kekasihnya yang jauh disana. Susan punya seorang pacar di Malang. Satu kampus dengannya. Sayangnya kekasih hati di sana belum lulus kuliah. Kamu selalu bertanya-tanya, “Gimana LDR bisa berjalan lancar? Bukankah cinta yang jauh dan dingin akan digantikan oleh cinta yang dekat dan akrab? Paling tidak itulah yang diucapkan oleh Pak MT.”
        Lia. Beda orang beda kepala. Beda kepala beda pemikiran. Beda pemikiran beda karakter. Beda karakter ya beda juga sikapnya. Susan dan Lia berbeda. Lia cenderung lebih hangat, penyayang, lembut, dan keibuan. Yang kamu suka darinya adalah perhatian hangat dan tulus yang selalu dia ungkapkan. Konsisten. Satu kata lain yang dapat menggambarkan kepribadian seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dengan kulit putih. Lia selalu konsisten mencintai kekasih hatinya yang saat ini juga tengah bekerja di salah satu bank swasta. Setiap malam, Lia selalu saja terlelap dengan handphone membeku di telinganya. Ya. Dia harus selalu bercengkrama dengan kekasihnya meski hanya via suara. “LDR never works, Li.” Komentarmu sinis. “Yang penting keduanya bisa jaga kepercayaan, Bung.” Jawabnya ringan. Lia benar. Hanya saja kamu tidak pernah berhasil membuktikan kebenaran yang disampaikan Lia. Pergi meninggalkan Andi dua minggu saja, dua minggu saja, dia sudah meninggalkanmu. Sesuatu yang luar biasa yang dia miliki adalah mulut tajamnya. Lia selalu memberikan mereka nasehat dengan caranya sendiri. Pelan namun menusuk. Tapi justru yang menusuklah yang mampu menyadarkanmu bukan?
       Satu lagi. Si hitam manis, Novi. Dia punya kharisma yang tidak dimiliki wanita lain. Sikapnya yang mudah bergaul membuatnya dekat dengan para lelaki. Tidak jarang juga dia mengajarimu cara menggombali lelaki. Tapi tahukah? Novi. Memiliki hati dan pola pikir yang dewasa. Dia mampu memberimu nasehat jika yang kamu keluhkan adalah masalah yang pasti, masalah hati. Dia dapat membawamu melihat masalah dari berbagai sisi kehidupan. Kehadirannya membawa kemeriahan. Meski anak orang kaya, Novi tidak manja. Dia mengajarimu menikmati hidup dengan kemandirian. Meski kadang dia juga menjadi jauh lebih manja dibandingkan dirimu. Wajar toh. Manja adalah sifat dasar wanita.
            “Muka kamu merah, Bung.” Ucap Lia.
            “Iya. Kayanya mau flu.” Ucapmu.
            “Ya udah. Jangan kemana-mana. Istirahat dulu. Baringan ya.”
             Kamu memutuskan untuk membatalkan janji dengan teman-temanmu. Nampaknya tubuhmu lebih lelah dari yang kamu duga.
        Rasanya selimut malam ini tidak begitu hangat. Kamu melipat kaki. Menahan dinginnya malam meski air conditioner sudah dalam keadaan off. Hpmu berdering. Mama rupanya. “Iya, Ma?”
            “Bunga kok suaranya bindeng gini. Kenapa?”
            “Bunga kayaknya mau kena flu, Ma. Ini lagi baringan di tempat tidur.”
            “Udah makan?”
            “Udah tadi pas buka puasa, Ma.”
            Mama menutup telepon setelah menyampaikan beberapa wejangan.
Tidak seberapa lama, papa menelponmu. ”Bunga puasa?”
            “Iya, pa.”
            “Papa nggak abis pikir sama Bunga. Kan Bunga belum boleh puasa. Kenapa bunga puasa? Bunga itu capek abis dari Sukabumi. Eh malah puasa. Gimana sih? Sekarang udah makan kan?”
            ”Papa nggak usah panik. Bunga baik-baik aja. Cuma mau flu aja kayanya. Bunga istirahat dulu ya, pa.”
            “Bunga jaga kesehatan ya. Nanti Jumat papa jemput. Kita ke Bandung sabtu Pagi. Ketemu Akang ya.”
           
            From   : Andi
            To        : Bunga
            Mulai skrg km lupain sy

            From   : Bunga
            To        : Andi
            Apa salah neng, a? Knp aa giniin neng? Knp aa ninggalin neng?

            From   : Andi
            To        : Bunga
            Technically, kamu yg ninggalin sy

    SMS masuk dari Andi. Menampar wajahmu. Apa dia benar-benar telah meninggalkanmu? Tanpa menatapmu? Dia meninggalkanmu? “Apa salahku?” Tubuhmu semakin panas. Wajahmu terus memerah. Air matamu berlinang. Kamu sendirian. Sendirian di kamar yang luas. Dengan pertanyaan yang sama, “Why?”
Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Mungkin di malam inilah resmi Andi menyatakan keinginannya meninggalkanmu. Dia memintamu melupakannya. Hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi. Ingatan tentang cinta dan kasihnya akan selalu kamu rasakan di hati. Ingatan yang membuatmu berjanji akan membuangnya nanti. Nanti ketika kamu di-khitbah lelaki lain. Ingatan yang juga menyakitimu. Menyakitimu begitu dalam. Andi benar-benar telah meninggalkanmu. 

Minggu, 18 Mei 2014

Kesempatan Baru

            Selamat Anda lolos untuk tahap Medical Check Up :
            Bunga Zevalia Alamsyah
           
            Tepat jam 11.00 WIB kamu menerima pesan sms kalau kamu mendapatkan kesempatan MCU untuk level Officer di salah satu bank. Kamu berteriak bahagia. Melompat-lompat kesana-kemari. Menghampiri mama yang sedang asik di dapur. Kala itu, kamu memang ambil cuti satu minggu untuk tidak masuk kantor.
            Tubuhmu merasa kurang sehat. Benar-benar kurang sehat. Waktu Andi mencampakkanmu. Si “istimewa” muncul bak tamu yang tidak diundang. Hampir dua hari kamu tinggal di rumah Kak Revian. Ditemani mama dan papa. Kondisimu semakin membaik. Meski masih saja setiap malam kamu bertanya-tanya apa sebenarnya salahmu sampai Andi berubah seperti ini.
            “Alhamdulillah sayaaang...” Papa mencium keningmu. Hangat sekali.
            “Alhamdulillah...” Raut wajah mama yang berbeda.
            “Mama kenapa?” Tanyamu pelan sekali.
            “Mama khawatir. Kalau Bunga beneran masuk, nanti Bunga lebih sibuk dari sekarang. Bunga bisa sakit.” Mama menghapus air mata yang jatuh.
            “Mama nggak usah khawatir ALLAH lebih mengenal Bunga bahkan dari diri Bunga sendiri. ALLAH nggak mungkin kasih kehendak yang salah. Kalau memang Bunga lolos sampai akhir, berarti ALLAH tahu betul kalau Bunga mampu dan pantas, ma. Ini mimpi Bunga, ma. Bunga bisa dapat kehidupan yang lebih baik. Buat mama papa bangga. Bahagiain mama dan papa juga.
            “Iya, sayang. Mama selalu mendoakan Bunga sehat dan baik-baik aja ya. Bunga mendapatkan semua yang terbaik.” Kamu memeluk mama dengan erat.
            “Allah pasti kasih yang terbaik buat Bunga!” Papa menutup kesedihan pagi itu. 

            From   : Bunga
            To        : Andi
            Aa apa kabar? Semoga aa baik y. Aa alhamdulillah neng lolos MCU.
            Mksh doanya y a.

            From   : Andi
            To        : Bunga
            Alhamdulillah, sayang... aa tau km mampu dan km bisa
            Aa bangga sama km

            “Sayang?” Tidak pernah memberi kabar beberapa minggu, Andi memanggilmu sayang setelah kamu memberi tahunya kalau kamu lolos MCU? Apa-apaan dia? Apa dia hanya menginginkanmu setelah kamu mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik?
            Baiklah jangan berprasangka buruk dulu ya. Biarlah waktu yang menjawab bagaimana tingkat ketulusan dia mencintaimu.

            “Pap, Bunga deg-degan banget.” Kamu dan papa pergi ke Laboratorium yang ditunjuk untuk MCU.
            “Kenapa sayang?”
            “Bunga takut. Nanti kalau ternyata spasmo Bunga terdeteksi, Bunga nggak lolos lagi, pa.”
            “Bunga... sebenarnya itu juga yang papa takutkan. Kita pulang lagi aja yuk. Nggak usah ikut.”
            Hati kecilmu menolak. Kamu tahu sekali kalau papa tidak ingin kamu kecewa. Papa hanya khawatir, kalau kamu kecewa, spasmofiliamu akan bertambah parah. “Nggak, pa! Jangan! Kita jalan aja terus.” Kamu terdiam. Dalam hati kamu berdoa, “Ya Rabb... jika memang masuk officer ini adalah jalan terbaik dari-Mu, maka lancarkanlah perjalanan kami. Tapi jika aku tidak lolos dan kuyakin itu pasti yang terbaik maka apapun dan bagaimanapun caranya tolong sekali batalkan perjalanan kami.”
            Ternyata...
            Kamu tiba di Laboratorium.
            “Allah punya rencana.” Kamu yakin sekali.
            Sejak kamu memberikan kabar pada Andi kalau kamu lolos untuk MCU, Andi jadi lebih sering menghubungimu. Walaupun hanya lewat whatsapp. Satu hari mungkin bisa saja tiga sampai empat kali. Kamu mulai merasakan kembali kehadirannya yang sempat hilang. Kamu merasakan kembali kalau kamu benar-benar punya seseorang untuk menguatkanmu, seseorang untuk mencintaimu, dan seseorang yang sanggup menantimu.

            Satu minggu sudah kamu ambil cuti. Kamu harus masuk kerja lagi. Menjalani hari-hari seperti biasa. Sibuk sambil menunggu. Sambil menunggu pengumuman yang lolos posisi officer, kamu menyibukkan diri dengan berbagai macam hal. Menjahit. Ya salah satunya menjahit. Banyak desain baju yang belum sempat terrealisasi karena kamu harus istirahat lebih lama.
            Andi pernah membelikanmu sebuah mesin jahit mini, “Supaya kamu nggak sering main keluar.” Begitu ucapnya. Dia memang selalu mendukung keterampilan yang kamu miliki.
“Mini.” Begitu kamu menamai mesin jahit berwarna putih-ungu itu. Mesinnya memang kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit. Meski mesin jahitnya kecil, mesin itu mampu menjahit baju yang panjang dan bahan yang agak tebal. Luar biasa. Andi pun membelikanmu mesin jahit, agar kamu bisa menjahitkan celananya yang berlubang. Aaah! Kamu sungguh istri idaman. Sering kali kamu mengunjungi rumah Andi, hanya sekedar mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Andi sering membawa baju kotornya ke laundry. Hanya saja hasil yang tidak terlalu memuaskanmu, kamu lebih sering datang ke rumahnya untuk mencuci dan menyetrika bajunya. “Apa bedanya. Toh nanti setelah menikah aku juga yang akan mencuci dan menyetrika bajumu.” Begitu ucapmu setiap kali Andi menolak untuk dicucikan baju.
Seringkali juga dia bilang, “Kamu memang calon istri idaman aa, sayang.”
Menjahit kancing kemejanya yang lepas atau menjahit celananya yang berlubang, hal yang sudah biasa kamu lakukan. Kalian berpacaran secara sehat. Banyak teman-teman kantor yang iri melihat kalian.

Hari Kamis, kamu dan beberapa teman marketing menghadiri rapat kordinasi yang biasa diadakan satu bulan satu kali. Pimpinan Cabang mengevaluasi target kalian satu persatu. Syukurlah targetmu sudah tercapai lebih dari 100%.
Handphone-mu bergetar. Ada nomor asing yang menghubungimu. Nomor jakarta. Kamu permisi keluar ruangan.
“Halo Assalamualaikum.” Kamu mengangkat telepon.
Dari sebrang sana ada suara lelaki yang sangat jelas, “Selamat pagi... Dengan Bunga Zavelia Alamsyah?”
“Iya betul, mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bunga, kemaren mengikuti MCU ya? Hasilnya sudah keluar. Selamat! Anda lolos untuk serangkaian seleksi officer. Sehingga hari Senin diharapkan kehadirannya di Pusat Pendidikan dan Latihan. Akan ada penanda tanganan kontrak untuk pendidikan selama satu tahun. Dress code dan berbagai perlengkapan harus dibawa sudah kamu publikasikan di website, silahkan dicek. Ada yang mau ditanyakan?”
Hatimu langsung membludak. Matamu berkaca-kaca. Campur aduk sudah. Bahagia, bangga, senang, dan sekaligus sedih. “Jam berapa, mas?”
“Jam 08,00 WIB sudah berada di lokasi ya.”
Kamu menutup telepon dan langsung menghubungi kedua orang tuamu. Menyampaikan kabar yang mungkin menjadi kabar gembira.
Suara papa begitu tinggi. Menggambarkan rasa bahagia dan bangga yang hadir. Berbeda dengan papa, mama menangis. “Ini rejeki Bunga ya, sayang.” Kamu juga langsung menghubungi ketiga saudara kandungmu. Semuanya memberimu selamat dan ucapan rasa bangga.
Ada nomor terakhir yang kamu tekan. Nomor yang selalu berusaha untuk kamu lupakan dengan menghapusnya di phonebook. Kamu menekannya, dan... “Aa. Alhamdulillah neng lolos MCU kemaren, a.”
“Alhamdulillah... sayaaaang. Aa bangga sama kamu. Terus selanjutnya kayak gimana?”
“Neng harus dateng Senin besok, a. Tanda tangan kontrak sebagai trainee. Nah karena pada hari itu juga neng harus cus ke Sukabumi dan outbound. Jadi neng harus udah pindah. Karena hari Rabu kos neng udah harus dibayar. Jadi hari Minggu nanti, mama papa temenin neng pindahan.”
“Ya udah. Kamu atur aja. Aa ke kelas dulu ya.”
“Love you, a.”
            “Love you too, neng.”
            Kata cinta terakhir yang kamu dengar sebelum dia juga memutuskan untuk menghilang (lagi) dari peredaran hidupmu.

Senin, 19 Mei
            From   : Bunga
            To        : Andi
            Aa, neng masih deg2an dan tiba2 ragu.
            Kalo neng ambil pendidikan ini, kita belum bsa nikah 2 taun
            Gmn ya?

            From   : Andi
            To        : Bunga           
            Sayang, smua psti ada jalannya. Km hrs yakin ya. Kita pasti nikah.

            Hanya sms dari Andi yang memantapkan hatimu. Dia bilang, tidak masalah bila harus menunda pernikahan sampai dua tahun.
            Bertemu teman-teman baru. Ada sekitar 40 orang di dalam ruangan yang luas itu. Mejanya membentuk huruf U. Teman-teman lain menggunakan baju putih hitam. Mereka juga membawa koper yang cukup banyak. Koper yang sebelumnya disimpan di kamar hotel samping Pusdiklat.
            Dari ujung sebrang sana, ada seorang wanita manis. Hidungnya mancung. Meski berkulit gelap, kulitnya tetap terlihat sehat dan berseri. Cantik. Bela namanya. Lalu pandanganmu terus memutar. Mencari-cari orang lain yang lebih bersahabat. Di sebelah kananmu ada Andre. Lelaki kelahiran tahun 1993. Lulusan President University. Dari cara dia bicara dan menatap orang, terlihat sekali kalau dia memiliki percaya diri yang tinggi. Kamu sudah mengenalnya di Laboratorium saat MCU. Di sebelah kiri, ada wanita yang nampaknya bagian dari hijabers gitu. Devi. Ya. Devi namanya. Benar ada 40 orang. Dan kamu harus menghapal nama mereka semuanya tanpa terkecuali.
            Acara penyambutan telah dimulai. Kalian resmi menjadi tanggung jawab Divisi Diklat seutuhnya. Selama satu tahun kalian harus menjalani dan mematuhi aturan yang ada. Resmi sudah kamu kembali menjadi siswa. Belajar, belajar, dan belajar.
            Acara selesai pukul 18.30 WIB. Kalian harus langsung berangkat outbound ke Sukabumi. Selama dua minggu kalian akan digojlok, digodog untuk mental yang lebih siap. Lepas magrib, kalian semua berganti pakaian, mengenakan sepatu olah raga. Kalian mulai akrab satu sama lain.
            Memasuki bus. Berpamitan dengan keluarga walau hanya lewat telepon. Kalian berseri-seri. Kalian. Yang kata orang lain adalah orang-orang pilihan. Kalian yang sebenarnya sudah bermental kuat. Karena ketika kalian menandatangani kontrak tadi siang, kalian harus siap mengenyam pendidikan selama satu tahun, kalian harus siap untuk ditempatkan di seluruh Indonesia, jauh dari keluarga. Dan hal yang lebih berat untukmu, kamu harus menunda pernikahan dengan lelaki yang sunggu kamu sendiri tidak yakin bahwa dia benar-benar akan menikahimu.
Sampai jumpa sekembalinya dirimu dari Sukabumi, Bunga...
Selama disana, kamu tidak boleh memegang handphone walau sesaat bukan? Berhati-hatilah di sana. Yakinlah bahwa Allah tidak pernah tidur dan akan selalu menjagamu.

Sabtu, 17 Mei 2014

Manisnya Madu (Part. 2)

            “Apa ini?” Kamu terkejut. Seseorang mengantarkan sebuah manekin. Patung yang terbalut kain.
            “Ini buat mba Bunga.” Seorang pria menyodorkan kertas yang harus kamu tanda tangani. Bersusah-susah kamu membawa manekin itu ke kamarmu. Menapaki tiap anak tangga. Andi meneleponmu. Dari kejauhan suaranya begitu hangat, “Neng lagi apa?”
            “Aa ini ada manekin, dari aa bukan?”
            “Udah sampe ya? Iya. Kan neng bilang pengen punya kan? Dipake buat belajar desain sama jahitnya ya.”
            “Siap, a! Neng semangat desain lagi! Makasih ya... neng seneng banget.”
            Andi begitu mengerti sekali apa kegemaranmu. Dia mendukungmu melakukan hobimu. Dia bilang, kelak setelah menikah dan mapan finansial, dia ingin kamu diam di rumah. Menjadi ibu rumah tangga yang utuh. Ibu rumah tangga yang menunggu dia pulang. Menyiapkan air hangat untuknya. Ibu rumah tangga yang tetap produktif dengan keahlianmu sendiri. Mengumpulkan pundi-pundi uang. Bukan untuk menghidupi kalian, tapi untuk masa tuamu jika dia telah tiada. Dia begitu visioner. Kamu selalu mencintai setiap angan yang dia buat.
--------------------------------------
            Dia sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Diam. Kamu mengharapkan apa? Kamu mengharapkan dia datang tengah malam. Tepat jam 12. Dan memberikan pesta kejutan? Iya? Jauh sekali. Andi bukanlah tipe lelaki seperti itu. Dia lebih senang menyusun segalanya bersamamu. Walalu memang hal manis selalu dia suguhkan secara mendadak. Semua keluarga dan teman sudah memberikan ucapan selamat ulang tahun padamu. Satu saja yang belum. Satu tapi bermakna. Andi. Dialah sang kekasih hati yang belum juga mengucapkan apa-apa. Jangankan telpon. Sms saja tidak. Jangankan sms yang dikenakan pulsa, bbm atau WA saja tidak.
            Jam 10.00 WIB. Kamu mendapat kabar yang mengejutkan.
            From   : Aaku
            To        : Bunga
            Siap2 nanti a jemput. Km hrs traktir makan siang!

            Aih. Lelaki macam apa dia. Memintamu untuk membelikannya makan siang. Siap-siaplah kamu. Kamu mengenakan pakaian terbaik. Berdandan secantik mungkin. Andi bilang, dia senang melihatmu berdandan. Lagipula hari ini hari ulang tahunmu, Bunga! You have to be different! Pikirmu dalam hati.
            Andi yang kadang-kadang suka ngaret, akhirnya datang tepat waktu. “Ayo naik, neng.”
            Kamu masih bingung akan dibawa kemana, “Mau kemana nih, a?”
            “Aa mau makan pizza nih. Kamu yang bayar ya. Di Atrium Senen aja ya.”  Ucapnya.
            Kamu menggeleng-geleng kepala. “Aa ini, udah nggak ngucapin apa-apa. Minta traktir pula.”
            Dia hanya tertawa. Tawa yang selalu membuatmu rindu. Tawa yang menghanyutkan pandanganmu. Tawa yang mengalihkan duniamu. Bunga... Bunga... kamu benar-benar jatuh hati padanya. Jatuh sudah.
            Andi memesan pizza paling mahal. Minumannya pun yang paling mahal juga. Tanggal 24 Agustus, tanggal tua. Payahlah sudah. Kantongmu kering. Sangat kering. “Nggak apa-apa ya, neng?”
            “Nggak apa-apa sayang... pesen apapun.” Matamu melotot.
            Andi tertawal lepas.
            Kalian benar-benar bahagia.
            Dengan cepat Andi menyantap setiap pizza yang ada. Sampai habis.
            “Udah ini mau kemana, a?” Kamu mengharapkan sebuah kado.
            “Kasih tahu nggak ya...” Andi menyeringai licik. “Kemaren kamu mau kado apa?” Dia mulai hangat. Sepertinya dia tahu isi hatimu.
            “Jam tangan, a.” Setengah berteriak.
            “Nah kita ke pasar sebelah ya.” Andi melanjutkan tawanya.
            “Masa di sebelah sih, a? Nggak bisa apa agak bagusan dikit. Bukan menghina. Tapi kan kado dari aaharusnya spesial. Dari tempat spesial juga.”
            Andi tertawa semakin lepas. Dia mengajakmu ke parkir motor. Pergi ke suatu tempat. Kamu terlihat sedikit tegang. Tidak sabar kejutan apa yang sudah dia siapkan. Sepeda motornya melewati bundaran HI. Akhirnya kalian berhenti di parkiran Grand Indonesia. Sebuah mall yang kata orang mall untuk kalangan menengah ke atas. Entahlah.
            “Yuk kita beli jam.”
            “Hah? Disini a? Seriusan?”
            “Iya. Kenapa?”
            “Mahal loh, a.”
            “Kan dari tempat yang spesial untuk orang yang spesial. Masa aa beliin kamu di senen sih, sayang. Eh kita beli couple ya. Biar yang di kantor kaget.” Andi tersenyum hangat. Senyuman yang selalu membuaimu.

            Sepasang jam tangan. Harganya fantastis. Warnanya gold dan silver. Jam tangan yang... LUAR BIASA. Kamu suka, dia suka, kalian menyukainya. Kamu menjaganya dengan baik. Bagimu, apapun yang dia berikan harus kamu jaga dengan baik.

Manisnya Madu (Part. 1)

            Perjalanan kalian selama 14 bulan bukan hanya memakanan kenangan yang pahit memang. Harus kamu akui, Bunga. Kamu belajar kekuatan mental, hati, dan pikiran dari seorang Andi. Kamu belajar lebih mandiri, lebih sabar, dan lebih dewasa. Ya kenapa lebih mandiri? Kamu lebih sering ditinggal-tinggal sekarang. Membuatmu harus bisa menangani segala hal sendiri. Lebih sabar karena dia yang tempramen membuatmu harus lebih sabar. Menjadi orang yang tidak reaktif. Lebih dewasa, right! Kamu harus lebih bisa mengatur pikiran dan hatimu.
            Bersamanya kamu bisa merasakan kembali jatuh cinta setelah hampir ya kurang lebih tiga tahun kamu tidak pernah jatuh cinta.  Janji-janjinya meski palsu, bisa membangunkan angan-anganmu. Kamu mulai menata hidup. Memikirkan masa depan. “Neng, abis nikah mau tinggal dimana?”
            “Neng sih mau kita mandiri, a. Tinggal terpisah dari orang tua aa dan neng. Tapi kalau neng boleh menyusun masa depan nanti, neng mau rumahnya deket rumah mama mungil (begitu kamu menyebut ibu Andi) dan papa aja.”
            “Kenapa nggak deket rumah mama bapak?”
            “Ya kan mama dan papa neng kan jauh, a. Mama papa deket.” Kamu tertawa.
            “Kan bisa kita ngekos aja di Jakartanya, sayang...”
            “Gini loh, a. Aa anak pertama. Adik aa cewek dan udah nikah. Pastinya ikut suami. Yang ngurus mama dan papa siapa kalau bukan aa? Setelah menikah, mama papa juga jadi orang tua kandung neng. Kewajiban neng juga mengurus mama papa. Neng juga berkewajiban mendukung aa memenuhi kewajiban aa juga sebagai anak harus mengurus orang tua. Masa maunya diurusin aja sama orang tua, a. Tapi nggak mau ngurus. Nah kalau kita tinggal jauh dari orang tua, akan sulit bagi neng ngurus mama papa. Jadi lebih baik tinggal deket sama mama papa. Biar neng bisa maksimal.”
            “Subhanallah... calon istri aa hatinya mulia banget udah solehah, cantik, pinter, bangga aa sama kamu.”
            “Nggak usah lebay, a. Dari dulu mama selalu bilang sama teteh, cintai mertuamu seperti kamu mencintai mama dan papa. Karena mertuamu juga orang tuamu. Gitu, a.”
------------------------------------
            Kalian pernah pergi dengan bus tak ber-AC. “Bisnya nggak ada yang AC, neng. Jadi nggak apa-apa ya naik bis ini.”
            “Iya, a. Nggak apa-apa.” Cinta. Ya cinta memang. Karena cinta tidak masalah harus panas-panas di dalam bus. Toh Jakarta-Tangerang tidaklah jauh.
            Ada hal lain yang lebih mendebarkan hati. Bertemu calon mertua. Hari itu kamu diajak bertemu dengan orang tua Andi. “Nikmatin aja dulu prosesnya ya, Neng.” Ucapnya pelan dan lembut.
            “Iya, a. Neng yakin cuma sementara. Nanti malah kita merindukan masa-masa kayak gini. Makan di warteg bareng-bareng, naik bis kepanasan, jalan kaki jauh-jauh. Beuh. Nikmat, a.”
            Kurang lebih dua jam di perjalanan. Bus berhenti setelah melewati Mall Lippo Karawaci. “Siap-siap, neng. Kita mau turun.” Andi menarik tanganku denga hangat.
            “Nanti kemana lagi, a.” Kamu menarik tangan dari genggamannya.
            Andi mengarahkanmu untuk menaiki angkutan kota berwarna kuning. Kamu kenal betul daerah itu. Ada sekolah bernama Islamic Village. Sekolah swasta islam dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Kakak perempuanmu, Berlian, pernah bersekolah SMA di situ. Lalu lintas cukup padat. Banyak angkutan kota yang berhenti sembarangan. Menaik dan menurunkan penumpang. Jalannya pun tidak terlalu lebar. Hanya cukup dua mobil.  Kami turun di sebuah pasar. Ah aku lupa apa nama pasar itu. Kamu pun juga sudah tidak ingat lagi.
            “Disini, a?”
            “Iya, neng. Aa kalau anter mama ke pasar ya ke pasar sini. Dari sini kita masih jalan kaki lagi. Nggak apa-apakan?”
            “Ya nggak apa-apalah, a. Aa kan tahu, neng seneng jalan orangnya.”
            “Iya, makanya aa sayang sama kamu. Kamu bisa banget diajak sederhana.” Andi mengusap kepalamu.
            Masa yang sangat manis. Kamu mengenakan kerudung berwarna ungu muda, dress selutut berwarna senada dengan kerudung. Cardigan abu-abu. Sepatu putih dengan kaos kaki warna kulit. Celana jeans yang kamu kenakan juga sepadan dengan dress ungu. Kamu cukup berhasil dalam memilih kostum, kamu cukup nyaman dengan pakaian yang kamu kenakan. Kenyamanan membuatmu percaya diri untuk tampil bertemu dengan mertua. Andi pernah mengatakan padamu, bahwa ayahnya sangat tegas. Tidak sungkan-sungkan menyatakan apa yang Beliau suka dan tidak suka. Berbalik dengan ibunya yang sangat hangat, terbuka, baik, dan luar biasa.
            “Neng, rumah aa nggak besar ya. Atapnya aja masih seng.” Sampai menuju rumahnya pun kamu masih belum tahu apa pekerjaan ayah dan ibunya. Andi tidak ingin menceritakan apapun tentang keluarganya padamu.
            “Atuh rumah neng juga nggak besar, a.”
            “Aa minder pas kemaren ke Bandung, rumah neng besar. Aa udah yakin aja kalau bapak neng pasti orang kaya. Mana bisa aa kasih makan anak orang kaya.”
            Aku menatapnya lurus.
            Akhirnya kalian masuk ke sebuah pagar besi berwarna hijau. Kamu terdiam. Membiarkan Andi membuka pagar besi. “Assalamualaikum.” Dia bersalam.
            “Eh ada om Aa tuh!” Seorang wanita yang usianya berkisar 27 tahun keluar dari rumah. Menyalami tangan Andi. Dia menggendong seorang anak laki-laki yang masih berusia satu tahun.
            Anak laki-laki itu memaksa digendong oleh Andi. “Apa jangan-jangan dia sudah berkeluarga?” Tanyamu dalam hati. “Cit, kenalin, ini Bunga.” Andi menggubris kehadiranmu.
            “Cita.”
            “Bunga.” Kamu menjabat tangannya.
            Cita adalah adik perempuan Andi satu-satunya. Dan anak laki-laki yang tadi digendong oleh Andi adalah anak Cita. Usia Cita dan Andi hanya terpaut satu tahun. Cita memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga kecil bahagia. Kini Cita tinggal di rumah orang tuanya yang juga menjadi orang tua Andi.
            Cita terlalu cuek. Kamu hanya sendirian di ruang tamu. Sedang Andi tengah asik bermain dengan keponakannya. Mereka terlihat begitu menyayangi satu sama lain. Akrab dan hangat. Kamu duduk di sofa berwarna emas. Menatap sekeliling. Mencoba mencari tahu informasi tentang keluarganya. Ada lemari berisi guci, keramik, dan kristal. Bukan hanya itu, ada juga boneka-boneka yang dibawahnya ada nama sebuah negara. Ya. Itu adalah oleh-oleh dari berbagai negara. Satu benda yang menarik perhatianmu; sebuah foto seorang pria berseragam putih mendamping Gubernur DKI kala itu, Bapak Sutiyoso. Badannya tegap, tinggi, dan gagah bukan main. Sekalipun kulitnya tidak terlalu cerah.
            Jantungmu berdegup kencang seketika. Ternyata papa mama Andi sudah datang. “Assalamualaikum!” mamanya melangkah masuk. Kamu berdiri menyambutnya di dekat pintu. Menyalami tangannya yang mungil. Mamanya begitu cantik. Tubuh mungilnya membuatnya terlihat lebih muda dari umur aslinya. “Eh ini neng Bunga ya?”
            “Iya, ma.”
            “Aa udah cerita. Mama ganti baju dulu ya, neng.”
            Tidak berapa lama papanya masuk rumah. Kamu menyalami. Papanya berbadan tegap. Ah persis sekali dengan foto yang tadi terpajang di meja. Foto yang kamu amati dalam-dalam. Papanya cuek sekali. “Ya ya ya. Silahkan duduk.” Langsung saja papanya masuk ke ruang tengah dan bersantai sambil menghisap sebatang rokok.
            Andi datang menghampirimu. “Maaf ya, neng. Mama sama papa capek tadi. Jadi belum bisa nemenin. Nanti mama keluar kok.” Andi tiba-tiba tersenyum.
            “Iya nggak apa-apa atuh, a. Aa kenapa senyum gitu?”
            “Nggak apa-apa, sayang. Kata mama kamu cantik dan modis.”
            “Neng... apa kabar?” Mama keluar dan menyapaku.
            Andi meninggalkan kalian berdua. Mamanya begitu hangat. Welcome. Beliau cerita banyak hal. Lebih banyak tentang Andi memang. Jangan-jangan kamu rindu ya sekarang? Ayolah... ini cuma mengenang masa lalu. Jangan dulu rindu.
            Kamu lebih banyak tersenyum. Dan apa adanya. Ya. Apa adanya. Itulah yang komentar dari mama Andi kepada Andi. Beliau bilang, “Sejak pertama mama melihatnya, mama sudah jatuh hati padanya, a. Orangnya baik, modis, cantik, dan kelihatan banget pinternya.”
            “Terus aa komen apa?”
            “Iya, aa bilang.. nggak sabar buat nikahin kamu.”
            Kalian berjalan menuju pasar. Mencari taksi untuk mengantarmu pulang ke daerah Cempaka Mas. Ya. Saat itu kamu tinggal di kos yang berlokasi di belakang Cempaka Mas. Dekat dari kantor. Tinggal satu kali naik angkot. “Aa ini bener naik taksi? Mahal loh.”
            “Aa nggak tega sayang. Kamu harus kehujanan naik turun bis.” Andi tersenyum. Untuk pertama kalinya dia menggenggam tanganmu. Wajahmu memerah malu. Enggan pula untuk menarik tangan dari genggaman yang begitu erat. Meski perlahan kamu menariknya. Andi hanya tersenyum melihat kelakukanmu. “Nanti setelah menikah, aa boleh pegang tangan kamu kapanpun ya.” Lagi-lagi kamu hanya tersipu.
            “A, mama papa gimana tanggapannya?”
            “Alhamdulillah mama papa setuju aja. Makasih ya buat hari ini.”