Jumat, 21 September 2012

Donor Darah

Menjadi pemberi yang tulus

Begitulah salah satu tips menjadi muslimah yang menyenangkan. Kubaca dalam sebuah buku motivasi di perpustakaan Bank Indonesia sembari menunggu hal print out IDI selesai. 
Benar juga rasanya. Seorang muslimah harus memberi dengan tulus. Apapun yang diberi. Untuk memberi tidak perlu menunggu sampai kita punya uang, atau menunggu suatu momen terjadi. Contohnya. Aku sering denger cerita dari temen, kalau kebanyakan pacar mereka menjanjikan akan memberi banyak hal JIKA mereka benar-benar akan menikah. Hey! Apa memberi harus menunggu sampai kamu menikah? Kalau begitu, akan banyak istri yang kamu miliki. Karena kamu hanya akan memberi pada wanita yang menjadi istri kamu. Tentunya masih banyak contoh lain. 

Baiklah. I will start my story.
Senin. 17 September 2012. Ada donor danar di Bank Indonesia. Dan atas kehendak Allah, aku sedang berpraktek kerja lapangan atau PKL di sana. Semua pegawai dalam ruangan sudah menulis golongan darah masing-masing satu hari sebelum akhir pekan. Sedang aku, terdiam. Entahlah. Rasanya sangat takut untuk mendonorkan darah yang sedang mengalir dalam tubuh.
Sebenarnya sudah sangat sering tanganku ditusuk-tusuk jarum. Mulai dari dipasang infus sampai diambil darah untuk cek lab setiap hari di RS. Tapi untuk mendonorkan darah? Tak bisa kubayangkan. Karena pastinya darah yang diambil sangat banyak.
Yap. Pagi itu, semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Termasuk aku. Salah satu pegawai di sana, mendelegasikan (gaya bener) tugasnya padaku. Sang ibu baik hati langsung pamit ke pada atasannya untuk donor darah. Tidak berapa lama, teman kerjaku juga pergi untuk donor darah.
Pak Osi mengajakku donor darah. Berat hati rasanya. Jarum suntik terbayang jelas di seluruh bagian otakku. "Neng ayo neng. Kita donor."
"Ah nggak ah pak. Vani belum pernah soalnya."
"Makanya, Neng. biar pernah. Donor itu sehat loh."
Aku senyum tanda menolak. Beberapa detik setelah Pak Osi mengajak, Bu Yanti masuk ruangan membawa kantong besar. Isinya ada makan siang, susu 1 Liter, pisang (kesukaanku), biskuit gandum, obat penambah darah, dan minuman rasa buah. Kantong dan seluruh isinya diperoleh Bu Yanti setelah donor darah.
Aku terpikat. Ingin mendapatkan kantong yang sama. Segera kusambar pintu. Menyusul Pak Osi.

Di depan pintu masuk ruangan donor, aku tertampar. Bodohnya jika donor darah ini kuniatkan untuk mendapatkan makanan dalam kantong plastik besar berwarna putih. Aku terdiam. Kuucapkan basmalah. Lalu melangkah mantap ke dalam ruangan. Mengganti niat yang sudah belok dengan niat yang lebih lurus. Menyenangkan.
"Ya Allah, aku niatkan donor darah ini untuk membantu sesama. Sehingga aku bisa mendapatkan Ridho-Mu yang luar biasa. Maka berilah aku kekuatan, Ya Rabb." Aku benar-benar cemas dan ketakutan.
Aku melangkah menuju dokter, untuk memeriksa kondisi tubuhku.  "Oke. Bagus semua. Periksa Hb dulu, nanti sarapan ya, Dik!" Perintah dokter. Aku mengikuti. Ardhi (temen magang) menemaniku sarapan di ruang  rapat papandayan. Setelahnya, aku kembali ke ruang donor. Kudapatkan dua kantong darah untuk diisi kemudian mengantri sambil duduk.
Berapa menit kemudian, aku berdiri. Berjalan menuju tempat tidur setengah duduk. Mengangkat lengan kemeja putih yang kukenakan. Bertakbir dalam hati. "Semua akan baik-baik saja". Suster siap menusuk tangan kananku. Aku berpaling ke arah kiri. Menolak penglihatan pada jarum yang mulai bermesraan dengan pembuluh darah. "Alhamdulillah... masuk juga jarumnya."

Semua selesai. Aku baik-baik saja. Allah senantiasa melindungi umat-Nya.

Yap. Aku belajar sesungguhnya untuk meluruskan niat sehingga aku dapat menjadi pemberi yang tulus.

Tidak ada komentar: