Rabu, 18 Mei 2011

sakitku hari itu

Senin, 9 Mei 2011

Kebahagiaan karena mampu melihat senyum mereka yang membutuhkan pengobatan gratis membuatku tubuh lemah sejak sebulan lalu kembali bugar. Di pagi hari yang gemilang itu, aku siap untuk pergi kursus dan melanjutkan model baju. Rasanya tidak sabar untuk segera menyelesaikan kursus ditahap “Beginner”

Selasa, 10 Mei 2011

Seperti biasa. Setelah melantunkan ayat suci Al-Quran di waktu subuh, aku turun ke lantai dasar. Siap bertemu dengan tumpukan piring kotor yang sudah minta dimandikan. Tapi tiba-tiba tubuhku gemetar. Kakiku seakan tidak mampu menopangku berdiri. “Aku tidak boleh tumbang!” segera kuputar keran. Mendengarkan aliran air terus jatuh tertampung di ember berwarna hitam. Batuk yang sejak sebulan setengah lalu tidak pernah hilang terus mengiringi kelincahan tangan menggosok gelas yang kotor.

Tak lama, tubuh kian melemah. “Aku harus tetap kuliah!” tekadku. Hari selasa itu ada mata kuliah Costing. Dan itu adalah mata kuliah yang kusukai dari sekian MK yang kusuka. Kepucatan wajah yang tidak bisa kusembunyikan menimbulkan kekhawatiran pada mama. Mama memintaku untuk pergi ke dokter. Seharusnya hari Minggu lalu –saat aku sedang asyik mengadakan pengobatan gratis- aku pergi kontrol ke Rumah Sakit. Tapi karena kenakalan dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pengobatan gratis yang sudah kuemban, kulalaikan kewajibanku pergi ke Rumah Sakit.

Mama geram. Dan memaksaku pergi ke Rumah Sakit. Alhasil, aku pergi diantar wanita tercantik kedua setelah mama, tetehku. Selesai sudah. Tes darah, rontgen, dan spunctum. Terakhir, dokter memberiku sepucuk surat bertuliskan SURAT KETERANGAN BERISTIRAHAT. Hal yang paling menakutkan. Aku tidak suka diam di rumah untuk beristirahat. Karena pasti membosankan. Tapi aku mencoba melapangkan dada. Mengikhlaskan semuanya. Inilah hak yang sudah lama harus kuberikan pada tubuh yang membutuhkan istirihat ini, pikirku.

Kamis, 12 Mei 2011

Setelah solat subuh, aku langsung berlari ke kamar mandi. Mual rasanya. Dampaknya, aku memuntahkan semua makanan yang kumakan tadi malam. Dalam diam, aku turun ke bawah menemui mama yang ternyata sudah mencuci piring. Aku membisu. Tak kusampaikan pada mama kalau aku muntah-muntah. Takut mama khawatir.

Setelah bersiap dengan rapi, mengenakan pashmina cokelat yang terurai panjang, aku naik mobil untuk pergi ke Rumah Sakit. Menemui dokter yang sama yang kutemui di hari Selasa dengan mama dan bapak. Hasil rontgen, tes darah, dan spunctum, sudah keluar. Hasilnya BAGUS. Tidak ada yang bermasalah. Syukur tak hentinya kupanjatkan. Kelegaan terpancar di wajah mama dan bapak yang mengantarku menemui dokter hari itu. Syukurku bertambah luar biasa ketika mengingat hari Jumat nanti aku bisa pergi ke kampus dan siap memakan santapan ilmu yang Allah berikan melalui dosen.

Tetapi setelah menyantap makan siang, lagi dan lagi aku berlari ke kamar mandi. Dan memuntahkan makanan yang baru kumakan. Tubuhku semakin lemah. Aku tertidur dalam kelemahan yang membalut tubuh kurusku. Malamnya pun demikian. Mual yang tak hentinya membuatku harus mengeluarkan makanan yang sudah kutelan sebelumnya.

Jumat, 13 Mei 2011

Tubuh yang menurut hasil laboratorium BAIK-BAIK SAJA terasa semakin melemah. Nyeri di sepanjangan ruas. Kemaren dokter hanya menyatakan aku terkena bronkhitis alergi dingin. Batuk yang kuderita hanya akan kambuh kalau-kalau aku kedinginan. Tapi hari Jumat itu, aku sama sekali tidak kedinginan. Tidak ada angin yang menghembus dada. tapi mengapa rasanya tubuh ingin jatuh. Dengan berat kukatakan pada mama, “Mam. Ni nggak enak badan banget deh. Di rumah dulu ya.” Mama pun mengizinkan. Mama seharian di rumah. Menjaga dan merawatku dengan lembut. Penuh kesabaran. Sedang bapak kemaren siang setelah mengantarku ke Rumah Sakit, pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan.

Seharian aku hanya bisa berbaring di atas kasur. Tepat di depan televisi. Mama memaksa untuk membawaku ke Rumah Sakit. Tapi aku menolak. Aku benci Rumah Sakit. Karena mereka akan mengambil darahku setiap malam sebelum aku tidur dan subuh setelah aku bangun, dengan alasan untuk tes di laboratorium. Mungkin memang benar. Tapi buatku, hal itu sangat menakutkan. Membayangkan setiap hari darahku akan diambil. NOOOOO!!!!

Sabtu, 14 Mei 2011

Sesak napas yang lama kuderita, dan lama juga kusepelekan akhirnya membawaku masuk Instalasi Gawat Darurat RSAI Bandung.

“Ni, makan buburnya, terus minum obatnya!” perintah mama. Kulaksanakan dengan cepat.

Kuambil satu centong, dua centong bubur. Kumakan perlahan karena tidak ada tenaga lagi yang kumiliki. Setelah menegak beberapa obat, aku langsung berjalan loyo menuju kamar di lantai atas. Kujatuhkan tubuh seketika. Rasa lemas merajah begitu saja. Seakan malaikat maut hendak menarik ruhku keluar dari raga.

Sesak yang kian mencekik leher dan mengikat dada, membuatku kian lemah. Kuambil handphone, dan kuketik sms ke mama ‘mam... semakin sesak...’ kudengar bapak berteriak di bawah sambil berlari ke kamarku. Lalu bapak menggendongku. “Ma! Ni kita bawa ke RS aja!” teriak bapak. Mama segera berganti pakaian. Aku pun demikian.

Lemahnya tubuh membuatku dibawa dengan kursi roda untuk sampai ranjang di IGD RSAI. Kulihat mama dan bapak menangis. Membisikan kalimat, “Bertahan, Sayang...”

Dzikir selalu terurai dari bibir. Dengan penuh keyakinan kupanjatkan permohonan pada-Nya. Lalu kukatakan pada mama dan bapak, “Ma... Pak... maaf ya ni bikin panik melulu. Ni nyusahin mama bapak aja. Ni nggak bisa kasih apa-apa. Tapi mudah-mudahan ni bisa bales dengan kesalehan yang sedang ni upayain.”

Mama menyeka air matanya dan bilang, “Udah... ni tenang aja ya. Ni bakal sembuh kok."

Tidak ada komentar: