Sabtu, 17 Mei 2014

Manisnya Madu (Part. 1)

            Perjalanan kalian selama 14 bulan bukan hanya memakanan kenangan yang pahit memang. Harus kamu akui, Bunga. Kamu belajar kekuatan mental, hati, dan pikiran dari seorang Andi. Kamu belajar lebih mandiri, lebih sabar, dan lebih dewasa. Ya kenapa lebih mandiri? Kamu lebih sering ditinggal-tinggal sekarang. Membuatmu harus bisa menangani segala hal sendiri. Lebih sabar karena dia yang tempramen membuatmu harus lebih sabar. Menjadi orang yang tidak reaktif. Lebih dewasa, right! Kamu harus lebih bisa mengatur pikiran dan hatimu.
            Bersamanya kamu bisa merasakan kembali jatuh cinta setelah hampir ya kurang lebih tiga tahun kamu tidak pernah jatuh cinta.  Janji-janjinya meski palsu, bisa membangunkan angan-anganmu. Kamu mulai menata hidup. Memikirkan masa depan. “Neng, abis nikah mau tinggal dimana?”
            “Neng sih mau kita mandiri, a. Tinggal terpisah dari orang tua aa dan neng. Tapi kalau neng boleh menyusun masa depan nanti, neng mau rumahnya deket rumah mama mungil (begitu kamu menyebut ibu Andi) dan papa aja.”
            “Kenapa nggak deket rumah mama bapak?”
            “Ya kan mama dan papa neng kan jauh, a. Mama papa deket.” Kamu tertawa.
            “Kan bisa kita ngekos aja di Jakartanya, sayang...”
            “Gini loh, a. Aa anak pertama. Adik aa cewek dan udah nikah. Pastinya ikut suami. Yang ngurus mama dan papa siapa kalau bukan aa? Setelah menikah, mama papa juga jadi orang tua kandung neng. Kewajiban neng juga mengurus mama papa. Neng juga berkewajiban mendukung aa memenuhi kewajiban aa juga sebagai anak harus mengurus orang tua. Masa maunya diurusin aja sama orang tua, a. Tapi nggak mau ngurus. Nah kalau kita tinggal jauh dari orang tua, akan sulit bagi neng ngurus mama papa. Jadi lebih baik tinggal deket sama mama papa. Biar neng bisa maksimal.”
            “Subhanallah... calon istri aa hatinya mulia banget udah solehah, cantik, pinter, bangga aa sama kamu.”
            “Nggak usah lebay, a. Dari dulu mama selalu bilang sama teteh, cintai mertuamu seperti kamu mencintai mama dan papa. Karena mertuamu juga orang tuamu. Gitu, a.”
------------------------------------
            Kalian pernah pergi dengan bus tak ber-AC. “Bisnya nggak ada yang AC, neng. Jadi nggak apa-apa ya naik bis ini.”
            “Iya, a. Nggak apa-apa.” Cinta. Ya cinta memang. Karena cinta tidak masalah harus panas-panas di dalam bus. Toh Jakarta-Tangerang tidaklah jauh.
            Ada hal lain yang lebih mendebarkan hati. Bertemu calon mertua. Hari itu kamu diajak bertemu dengan orang tua Andi. “Nikmatin aja dulu prosesnya ya, Neng.” Ucapnya pelan dan lembut.
            “Iya, a. Neng yakin cuma sementara. Nanti malah kita merindukan masa-masa kayak gini. Makan di warteg bareng-bareng, naik bis kepanasan, jalan kaki jauh-jauh. Beuh. Nikmat, a.”
            Kurang lebih dua jam di perjalanan. Bus berhenti setelah melewati Mall Lippo Karawaci. “Siap-siap, neng. Kita mau turun.” Andi menarik tanganku denga hangat.
            “Nanti kemana lagi, a.” Kamu menarik tangan dari genggamannya.
            Andi mengarahkanmu untuk menaiki angkutan kota berwarna kuning. Kamu kenal betul daerah itu. Ada sekolah bernama Islamic Village. Sekolah swasta islam dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Kakak perempuanmu, Berlian, pernah bersekolah SMA di situ. Lalu lintas cukup padat. Banyak angkutan kota yang berhenti sembarangan. Menaik dan menurunkan penumpang. Jalannya pun tidak terlalu lebar. Hanya cukup dua mobil.  Kami turun di sebuah pasar. Ah aku lupa apa nama pasar itu. Kamu pun juga sudah tidak ingat lagi.
            “Disini, a?”
            “Iya, neng. Aa kalau anter mama ke pasar ya ke pasar sini. Dari sini kita masih jalan kaki lagi. Nggak apa-apakan?”
            “Ya nggak apa-apalah, a. Aa kan tahu, neng seneng jalan orangnya.”
            “Iya, makanya aa sayang sama kamu. Kamu bisa banget diajak sederhana.” Andi mengusap kepalamu.
            Masa yang sangat manis. Kamu mengenakan kerudung berwarna ungu muda, dress selutut berwarna senada dengan kerudung. Cardigan abu-abu. Sepatu putih dengan kaos kaki warna kulit. Celana jeans yang kamu kenakan juga sepadan dengan dress ungu. Kamu cukup berhasil dalam memilih kostum, kamu cukup nyaman dengan pakaian yang kamu kenakan. Kenyamanan membuatmu percaya diri untuk tampil bertemu dengan mertua. Andi pernah mengatakan padamu, bahwa ayahnya sangat tegas. Tidak sungkan-sungkan menyatakan apa yang Beliau suka dan tidak suka. Berbalik dengan ibunya yang sangat hangat, terbuka, baik, dan luar biasa.
            “Neng, rumah aa nggak besar ya. Atapnya aja masih seng.” Sampai menuju rumahnya pun kamu masih belum tahu apa pekerjaan ayah dan ibunya. Andi tidak ingin menceritakan apapun tentang keluarganya padamu.
            “Atuh rumah neng juga nggak besar, a.”
            “Aa minder pas kemaren ke Bandung, rumah neng besar. Aa udah yakin aja kalau bapak neng pasti orang kaya. Mana bisa aa kasih makan anak orang kaya.”
            Aku menatapnya lurus.
            Akhirnya kalian masuk ke sebuah pagar besi berwarna hijau. Kamu terdiam. Membiarkan Andi membuka pagar besi. “Assalamualaikum.” Dia bersalam.
            “Eh ada om Aa tuh!” Seorang wanita yang usianya berkisar 27 tahun keluar dari rumah. Menyalami tangan Andi. Dia menggendong seorang anak laki-laki yang masih berusia satu tahun.
            Anak laki-laki itu memaksa digendong oleh Andi. “Apa jangan-jangan dia sudah berkeluarga?” Tanyamu dalam hati. “Cit, kenalin, ini Bunga.” Andi menggubris kehadiranmu.
            “Cita.”
            “Bunga.” Kamu menjabat tangannya.
            Cita adalah adik perempuan Andi satu-satunya. Dan anak laki-laki yang tadi digendong oleh Andi adalah anak Cita. Usia Cita dan Andi hanya terpaut satu tahun. Cita memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga kecil bahagia. Kini Cita tinggal di rumah orang tuanya yang juga menjadi orang tua Andi.
            Cita terlalu cuek. Kamu hanya sendirian di ruang tamu. Sedang Andi tengah asik bermain dengan keponakannya. Mereka terlihat begitu menyayangi satu sama lain. Akrab dan hangat. Kamu duduk di sofa berwarna emas. Menatap sekeliling. Mencoba mencari tahu informasi tentang keluarganya. Ada lemari berisi guci, keramik, dan kristal. Bukan hanya itu, ada juga boneka-boneka yang dibawahnya ada nama sebuah negara. Ya. Itu adalah oleh-oleh dari berbagai negara. Satu benda yang menarik perhatianmu; sebuah foto seorang pria berseragam putih mendamping Gubernur DKI kala itu, Bapak Sutiyoso. Badannya tegap, tinggi, dan gagah bukan main. Sekalipun kulitnya tidak terlalu cerah.
            Jantungmu berdegup kencang seketika. Ternyata papa mama Andi sudah datang. “Assalamualaikum!” mamanya melangkah masuk. Kamu berdiri menyambutnya di dekat pintu. Menyalami tangannya yang mungil. Mamanya begitu cantik. Tubuh mungilnya membuatnya terlihat lebih muda dari umur aslinya. “Eh ini neng Bunga ya?”
            “Iya, ma.”
            “Aa udah cerita. Mama ganti baju dulu ya, neng.”
            Tidak berapa lama papanya masuk rumah. Kamu menyalami. Papanya berbadan tegap. Ah persis sekali dengan foto yang tadi terpajang di meja. Foto yang kamu amati dalam-dalam. Papanya cuek sekali. “Ya ya ya. Silahkan duduk.” Langsung saja papanya masuk ke ruang tengah dan bersantai sambil menghisap sebatang rokok.
            Andi datang menghampirimu. “Maaf ya, neng. Mama sama papa capek tadi. Jadi belum bisa nemenin. Nanti mama keluar kok.” Andi tiba-tiba tersenyum.
            “Iya nggak apa-apa atuh, a. Aa kenapa senyum gitu?”
            “Nggak apa-apa, sayang. Kata mama kamu cantik dan modis.”
            “Neng... apa kabar?” Mama keluar dan menyapaku.
            Andi meninggalkan kalian berdua. Mamanya begitu hangat. Welcome. Beliau cerita banyak hal. Lebih banyak tentang Andi memang. Jangan-jangan kamu rindu ya sekarang? Ayolah... ini cuma mengenang masa lalu. Jangan dulu rindu.
            Kamu lebih banyak tersenyum. Dan apa adanya. Ya. Apa adanya. Itulah yang komentar dari mama Andi kepada Andi. Beliau bilang, “Sejak pertama mama melihatnya, mama sudah jatuh hati padanya, a. Orangnya baik, modis, cantik, dan kelihatan banget pinternya.”
            “Terus aa komen apa?”
            “Iya, aa bilang.. nggak sabar buat nikahin kamu.”
            Kalian berjalan menuju pasar. Mencari taksi untuk mengantarmu pulang ke daerah Cempaka Mas. Ya. Saat itu kamu tinggal di kos yang berlokasi di belakang Cempaka Mas. Dekat dari kantor. Tinggal satu kali naik angkot. “Aa ini bener naik taksi? Mahal loh.”
            “Aa nggak tega sayang. Kamu harus kehujanan naik turun bis.” Andi tersenyum. Untuk pertama kalinya dia menggenggam tanganmu. Wajahmu memerah malu. Enggan pula untuk menarik tangan dari genggaman yang begitu erat. Meski perlahan kamu menariknya. Andi hanya tersenyum melihat kelakukanmu. “Nanti setelah menikah, aa boleh pegang tangan kamu kapanpun ya.” Lagi-lagi kamu hanya tersipu.
            “A, mama papa gimana tanggapannya?”
            “Alhamdulillah mama papa setuju aja. Makasih ya buat hari ini.” 

Tidak ada komentar: