Sabtu, 23 Maret 2013

Aku dan Kamar Merpati

Setelah dua minggu bermesraan dengan kamar kost yang pertama, finally, keputusan penempatan sudah muncul. Namaku tertera di baris yang mendekati urutan terakhir. Tertulis satu daerah yang tidak asing namun jarang juga kujumpai; Kelapa Gading.

Ting! Bayangin langsung melayang ke ingatan masa kecil. Dulu, bapak pernah mengajak aku, mama, Ena, Teteh, dan Epang ke Mall Kelapa Gading. Waktu pertama kali mall mau dibuka.

Okay. Kembali lagi ke kehidupanku yang sekarang.
Nah. Langsunglah panik. Sedari awal pernyataan yang muncul adalah; penempatan setelah satu bulan. Ya mungkin ada pertimbangan lain mengapa penempatan diputuskan di minggu kedua. Dengan kepeningan yang luar biasa, kubatalkan rencana ke Bandung malam Sabtu. Bapak langsung mencari solusi. Otakku pun demikian. Berkelana mencari solusi yang tepat. Tapi kembali lagi pada ingatan; “Bahwa Allah SWT lebih tahu yang terbaik, Dia juga lebih tahu yang kubutuhkan, karena Dia berada lebih dekat denganku dari pada diriku-sendiri.”  Dengan besar hati, aku menerima keputusan yang sebenarnya tidak sesuai harapan.
Sabtu siang, aku menunggu bapak. Bapak mau mengantarku mencari kost baru di daerah Kelapa Gading. Meski aku sempat menolak bapak untuk mengantarku. Aku tidak mau merepotkan bapak. Kasihan bapak. Harus berlelah-lelah mencari kost denganku. Tapi dilemma lain menyerang. Kalau aku pergi mencari kost seorang diri, label nyasar dan tidak tahu arah sudah melekat di seluruh bagian otak. Yap! Aku yakin, aku akan tersesat. Ditambah lagi, aku belum mengenal Jakarta seutuhnya. Beda dengan bapak, dari kecil bapak sudah keluyuran di Jakarta. Akhirnya, kuterima tawaran bapak.
Bapak datang dengan wajah yang menua. Keringat mengalir dari dahi menuju pipi. Aku semakin merasa kasihan dan menyesal. Tapi cinta kasih bapak lebih besar padaku. Bapak bilang, aku masih tanggung jawab bapak selagi belum punya suami, jadi bapak harus menjamin keselamatanku. Makanya bapak mau menemaniku mencari kost baru.
Setelah mengisi perut dengan bensin eh nasi, aku dan bapak pergi ke Gading dengan kendaraan roda empat berwarna biru. Di pintu mobil terdapat nama perusahaan pemilik mobil, Putra. Betul! Aku dan bapak pergi dengan taksi. Menelusuri Jalan Pramuka yang lalu mempertemukan kami dengan Matahari Dept. Store.
Pertama kali orang di kantor yang kukenal adalah, Pak Herman dan Mas Andri. Pak Herman memperkenalkan aku dan bapak pada Mas Ichwan. Yang pada akhirnya Mas Andri dan Mas Ichwan yang mengantarku dan bapak untuk berkeliling di sekitar Kodamar. Rumah yang pertama kali kami datangi adalah… Rumah Tante *** (sensor ya). Ada kamar kosong yang di lantai dua. Harganya Rp 600.000 per bulan. Kasurnya besar. Cukup untuk dua orang. Ada kipas angin dan juga lemari. Pencahayaan dari matahari juga bagus. Kalau siang datang, pasti kamar akan terang-benderang. Hanya,kamar mandi di luar. Bersamaan dengan anak kost lain, yang ternyata… laki-laki. Yap! Kost ini adalah kost campuran. Untuk pergi ke kamar mandi, aku harus melewati dua kamar yang penghuninya bergender pria. Bapak sih oke-oke saja sebab bapak takut semua kost penuh. Sebelum kami ke rumah tante ini nih, kami juga menemui satu kost khusus wanita yang penuh. Jadi bapak takut aku tidak dapat kost lain. Dengan basa-basi- ½ busuk, akhirnya aku dan bapak berhasil keluar dari rumah tante ini nih. Terus terang kusampaikan pada bapak, bahwa aku tidak mau tinggal di Tante ***. Kost yang bercampur dengan lawan jenis itulah yang membuatku menolak untuk tinggal di sana.
Kami menelusuri jalan Bengkalis. Terpautlah aku pada satu rumah yang sederhana namun hijau. Penuh dengan tanaman. Sayangnya, lagi-lagi semua kamar terisi penuh. Aku kecewa sekali. Syukurlah sepasang suami istri yang baik hatinya, memberi tahu mas Ichwan kalau ada kost kosong di rumah sahabat baiknya. Sedikit memutar, kami langsung menuju rumah yang dimaksud.Di Jalan Tamiang Raya.
Bertemu dengan ibu kost. Bapak yang berjalan paling depan. “Ini ada yang mau cari kost, Bu.” Mas Ichwan memulai percakapan setelah mengucap salam.
Dari balik punggung bapak, kulihat wajah Ibu cukup keheranan.
“Ini anak saya yang keempat yang mau cari kost, Bu.” Seolah bapak tahu betul kebingungan yang dirasakan oleh Ibu Kost.
“Oh. Saya kira bapak yang mau cari kost.” Ibu tertawa.
“Gini, Bu. Ini anak saya yang keempat. Nama saya Taufik. Anak saya pindah tugas kerja di ruko Inkopal depan. Jadi mau cari kost. Barangkali ada kamar kosong.”
“Kebetulan sekali… kebetulan sekali…” Ibu antusias.
“Haduuuuh. Jangan-jangan kamarnya pada penuh lagi.” Pikirku dalam hati.
“Kebetulan sekali ada kamar yang kosong. Tinggal satu lagi. Kemaren ada dua orang yang datang, tapi saya nggak cocok lihat anaknya, makanya saya bilang kamar penuh.”
Aku dan bapak serentak mengucap syukur pada Illahi, “Alhamdulillah…
Ibu mengajak kami melihat kamar. Ukuran kamarnya sebesar kamarku yang ada di Bandung. Catnya berwarna kuning yang sayang sekali sudah ternoda dengan gambar tempel tokoh kartun. Ada Winnie the pooh, mickey mouse, dan piglet. “Dulu ini kamar bekas anak saya. Tapi karena semua sudah pada pindah, jadi saya buat kamar kost. Kecil-kecilan saja.” Ibu mulai bercerita. Usut setelah usut, ternyata darah Banten mengalir di tubuhku, bapak, dan ibu kost. Maka obrolan semakin hangat. Hingga berakhir pada kesimpulan; Yes! This is gonna be my room!
Flash back…
Sebenarnya sejak gerbang pintu dibuka, aku sudah yakin kalau kost ini berjodoh denganku. Aku sangat yakin. Hati terasa ‘srek’ ketika melihat rumah berwarna hijau muda. Mungkin begitulah kalau bertemu dengan jodoh, tanpa alasan yang jelas, kita akan merasa yakin bahwa ini dan itu adalah jodoh kita. Jodoh bukan hanya terkait dengan pasangan hidup loh. :D
Besoknya, aku langsung pindah ke kamar baruku. Kamarnya lebih nyaman. Jelas. Lebih nyaman dibanding kamar kost yang pertama. Bayarnya hanya Rp 500.000 per bulan. Tidak masalah meski kamar mandi di luar.
Dan kini, aku menyebutnya RUMAH MERPATI.
Ibu kost yang kupanggil ibu, menyebut kami –anak-anak kostnya- merpati. Beliau bilang, kami secantik merpati yang terbang bebas tapi akan kembali ke rumahnya. Beliau bilang, hanya perempuan tertentu yang bisa tinggal di sini, karena ibu yang terlalu selektif, untuk itu, kamilah merpati yang istimewa. Beliau juga bilang, merpati yang putih menjadi lambang putihnya hati kami. Sungguh luar biasa bukan. Ibu kost yang sangat luar biasa.
Ibu pernah bercerita, di Tangerang sana, banyak sekali saudara laki-lakinya yang senang main kemari. Mereka bilang ingin bertemu dengan merpati Ibu.
Yap! Inilah rumah merpati yang Allah swt jodohkan denganku saat ini. Dan kamarku adalah kamar merpati. Di minggu ketiga, aku benar-benar berhasil membuat kamar merpatiku menjadi kamar yang indah. Even it is not more beautiful than my real room in Bandung. But I am happy to live here now. Ruang kamar yang besarnya 3x3 membuat barang-barangku berserakan di bawah tanpa kendali. Untunglah banyak paku yang menempel erat di dinding. Dengan begitu, aku bisa memanfaatkannya menggantung semua barang, bahkan yang tidak bisa digantung sekalipun.
Box dengan 5 sorog berwarna cokelat kini tidak lagi sendirian. Tempo lalu, mama dan bapak membawakan box warna-warni untuk menghilangkan kesendirian si box cokelat. Posisi buku kini rapi di meja kecil sudut ruangan. Ada lagi tempat makanan dan minuman yang berdiri di samping gallon air minum. Meski banyak barang, tapi kamar tetap luas. Ditambah lagi, menjelang libur, aku HARUS membersihkan seluruh kamar. Mulai dari mengelap seluruh meja, cermin, box, menyapu lantainya, sampai harus mengepel lantai. Alhasil, meski hanya satu minggu satu kali, paling tidak ada moment dimana kamarku tercium wangi semerbak. Haha.
Jadi. Inilah aku. Sekali lagi. Inilah aku dengan kamar merpatiku.  

Tidak ada komentar: