Senin, 14 Februari 2011

surprise to Cieter

Malam 12 Februari 2011.

Keluarga 15 pergi ke Cieter. Beberapa hari sebelumnya, kupastikan untuk ikut ke Cieter. Tapi ternyata, ‘mestatakung’ (semesta tak mendukung). Ada kabar kalau Aa (kakak tertuaku), bapak, dan Vina (saudari kembarku) akan berangkat ke Bandung dari Jakarta dengan kereta pukul 20.45 WIB. “Waduh. Pasti dini hari nih nyampenya. Na terancam nggak ikut nih. Kalau Na nggak ikut, aku nggak mau ikut.” Pikirku dalam hati. Mereka tiba di rumah dini hari. Tepatnya memasuki tanggal 13 Februari 2011. Aku terbangun dan melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB. Setelah turun, kulihat aa sedang memasak mie kuah karena lapar. Wangi mienya menusuk hidungku. Hingga perutku meronta minta diisi mie yang sama. kumasak mie dan memulai perbincangan ramai dengan mama, aa, Vina, dan teteh (kakak keduaku). Bapak lagi sholat waktu itu. Dalam perbincangan Na memutuskan untuk tidak ikut ke Cieter karena keluarga sedang berkumpul. Alhasil, mama merencanakan untuk keluar. Mumpung keluarga ngumpul. So, I couldn’t go to Cieter with 15.

Tanggal 12 Februari 2011

Dengan sedih hati kukabarkan pada Alfath bahwa aku dan na tidak bisa ikut ke Cieter. Yang paling menyedihkan adalah aku batal berkunjung ke rumah Emak dan Bapak di Cieter. “Orang tua dan keluargaku lebih berhak atasku disini sekarang.”

Malam Tanggal 13 Februari 2011

Dari : alfath.

Kamu ada acara nggak besok? Jalan yu!

Dari : vani.

Ada. Pergi sama na. na mau cari sepatu. Emang mau jalan kemana?

Dari : alfath

Pengen ke gramed baru ke PVJ. Yaudah. Nanti anter na mah pas pulangnya aja. Takut nggak keburu.

Dari : vani

Yaudah deh kalo gitu. Emang mau kemana ko sampe nggak keburu segala?

Dari : alfath

Ke lembang aja deh yu!

Tanggal 13 Februari 2011

Tepat pukul 11.00 WIB kami pergi. Setelah alfath membelikan makan untuk neng yang ditinggal di rumah seorang diri, kami memulai perjalan bersama. Kami bertiga. Alfath melajukan mobil menuju Tol Buah Batu, “Kok lewat tol? Emang mau kemana?” Tanyaku.

“Mau lewat tol aja. Nanti keluar tol Pasteur.” Jawab alfath meyakinkan.

Karena mengantuk, aku pun tertidur. Dan terbangun tepat pukul 12.30 WIB. “Loh? Belum nyampe? Kok jauh amat? Emang ini lewat mana?” tanyaku linglung.

“Nye! Nye! Kayaknya gw asa familiar sama jalan ini deh.” Ucap na.

“Jangan-jangan kamu mau bawa ni ke Curug Malela lagi ya?” tanyaku curiga.

“Emang kalau mau ke lembang lewat mana gitu ni?” tanya Vina ragu.

“Lewat Setiabudhi. Terus lurus ke atas.” Jawabku.

“Lah? Emang cuma bisa lewat situ aja? Banyak jalan tau.” Bantah alfath

“Uda lewatin pasar belum, na? biasanya lewatin Pasar Lembang.” Tanyaku pada Vina.

“Belum. Ih… na kenal deh pom bensin ini!” teriak Vina sambil menunjuk pom bensin di sebelah kanan.

Tak berapa lama, setelah belokan ke kiri. Aku menemukan pasar, “Nah! Ini dia pasar.” Teriakku senang. Tapi di sebelah kiri jalan, kulihat ada papan bertuliskan CIWIDEY. “Loh kok ciwidey? Ini kita mau kemana?”

Alfath menghentikan mobil. “Kita mau ke Cieter, tuh ada Yomart. Mau beli apa buat orang sana?” tanya Alfath ringan. “Gih beli dulu!”.

I was shocked, nothing to stay. Berulang kali kutanya Alfath “Bener ini mau ke Cieter?” dan berulang kali juga Alfath menjawab, “Ya!” Dengan keterkejutan, kukelilingi Yomart. Mencari barang yang akan kubeli untuk Emak dan bapak disana. Finally, we have done. We continued our trip to Cieter.

Setibanya di rumah emak, kupeluk emak dengan hangat. Kami menangis melepas rindu. Meski saat Spiritual Work Camp SMA dulu aku cuma tinggal selama tiga hari, tapi emak sangat berarti bagiku. Aku sudah menganggap emak bagian dari hidupku. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan emak. Aku juga segera menciumi Wana (anak bungsu emak) yang berusia 4 tahun, dan Sani (kakak Wana) yang berusia 9 tahun. Letak pintu yang tadinya menghadap ke kiblat, kini berganti menghadap utara. Jamban yang ada di sebalah barat pun pindah ke utara. Belum lagi di tiap pintu ada dua buah papan yang sengaja dipasang menghalangi pintu. “Buat jaga-jaga. Takut Sani keluar dari ruang tengah.” Jawab emak waktu kutanya untuk apa papan-papan menempel di pintu.

Sani memang sudah lama sakit. Sani suka kejang-kejang. Ia tidak bisa bicara dan melihat seperti orang lain. Emak dan bapak sudah membawa Sani berobat ke puskesmas. Bahkan Sani pernah dibawa ke RSHS tapi dengan alasan (yang aku lupa), Sani tidak bisa diobati. Emak langsung menyibukkan diri. Memasak gehu dan menyediakan teh hangat untuk menyambut aku, Vina, dan Alfath. Kutemani emak di dapur yang tak banyak berubah sejak dua tahun kutinggalkan dulu. “10 bulan terakhir Sani udah nggak suka kejang-kejang, pani (sebenarnya namaku Vani). Tapi semalem, Sani kejang-kejang lagi. mungkin karena obatnya abis.” Ucap emak sambil merapikan kayu bakar untuk memasak gehu. Kulihat emak meneteskan air mata.

“Kapan bapak beli obat lagi, mak?” tanyaku.

“Mungkin sore. Sepulang dari kebon.” Jawab emak. Aku memang belum bertemu dengan bapak. Karena bapak dan Heri (anak kedua emak) pergi berkebun.

Setelah memakan beberapa gehu. Aku pamit pada anak perempuan emak untuk pergi ke rumah Pak Pandi (orang tua Vina di Cieter). Kebetulan emak pergi menyusul bapak ke kebun. Cukup lama kami di rumah Pak Pandi. Vina terlihat begitu canggung. Malu mungkin. Setelah selesai. Ibu dan bapak Vina memasukkan beberapa hasil kebun ke dalam kardus. Dan Acep (anak laki-laki Pak Pandi) membawanya ke mobil.

Sebelum pulang, aku mampir lagi ke rumah emak. Bapak dan Heri sudah pulang. Heri terlihat lebih dewasa kuat sekarang. Aku kagum dengan Heri. Seharusnya ia sekolah di SMP sekarang. tapi karena biaya sekolah mahal, emak dan bapak tidak mampu membiayainya, dan karena Sani harus tetap berobat, Heri tidak bisa bersekolah. Tapi kulihat, dia masih punya semangat untuk berkebun dengan bapak. Sungguh luar biasa. Setelah berkumpul, kami makan sore bersama. Aku rindu sekali suasana yang hangat dan menyenangkan di desa. Rindu canda tawa emak dan bapak. Bapak begitu akrab denganku.

Waktu sudah semakin sore. Setelah makan, kami berpamitan. Emak dan bapak memasukkan beberapa hasil kebun ke dalam kardus sebagai oleh-oleh untukku. “Kan udah dua tahun nggak kesini.” Ucap emak. Heri membawakan semua kardus itu ke dalam mobil. Alhasil, mobil Alfath jadi penuh. (maaf ya, fath :D)

Kulambaikan tangan sebagai tanda perpisahan kepada emak. Alhamdulillah. It was the greatest surprise that Alfath gave to me. Alfath menciptakan senyum kebahagiaan yang tiada habisnya di bibirku saat itu. I was so happy to meet them again. Kalau nggak kemaren, kapan lagi aku bisa ketemu keluargaku disana?

Alfath, when you love me, you don’t just tell me but you prove it! I see you always do everything to make me happy. Thank you so much. Thank you for being here, beside me.

1 komentar:

Dea Rahmayanti mengatakan...

so sweet geeeeeeeelaaaa. turut seneng 'ni :)