Sabtu, 15 Oktober 2011

renungan pagi hari

Pagi ini, aku turun menghampiri mama dan bapak di meja makan. Bapak sedang asik menonton acara yang dibawakan oleh Ust. Arifin Ilham. Sedang mama membungkus pisang dan gula merah dengan kulit lumpia. Kuberanikan diri meminta izin untuk pergi ke Banjaran, mengikuti kegiatan kampus. Mama langsung melempar pada bapak. Mulailah bapak merangkaikan kalimat dari bibirnya dengan sangat tegas. Dan memohon. Ya… sebuah permohonan yang tegas.

“Ni, Banjaran itu jauh. Kemaren Ni kambuh lagi. Semaleman mama sama bapak nggak bisa tidur. Takut tambah parah jadi harus masuk RS. Kalau Ni nggak sakit kemaren, mama bapak bakal kasih izin. Bapak mohon sama Ni. Hari ini aja jangan kemana-mana dulu. Udah mah seminggu ini pulang malem terus. Sekarang jangan dulu kemana-mana Ni. Kalau Ni sehat, bapak nggak pernah larang Ni ikut kegiatan apa-apa juga kan? Batuknya Ni juga nggak sembuh-sembuh. Diajak ke Advent, nggak mau. Bapak kan jadi bingung.” Aku menunduk mendengarkan bapak.

Setelah bapak selesai, aku pergi dengan air mata yang sudah siap terjun bebas. Keegoisan mulai meraja. Aku masuk dan menutup pintu kamar. Mempersilakan air mata yang sudah tidak sabar untuk mengalir.

Lelah menangis, aku terlelap sekejap. Aku terbangun, memikirkan kerugian yang kudapat kalau dipenuhi dengan kesal dan amarah. Karena aku akan kehilangan detik-detik kebahagiaan. Aku segera mandi. Menyegarkan diri. Lalu turun. Menghampiri nasi dan tempe yang sudah mama siapkan. Sambil sarapan, mama memulai percakapan.

“Ni nggak ngambek?” tanya mama

“Tadi iya, sekarang nggak, mam.”

“Mama sama bapak trauma aja. Takut Ni masuk RS lagi. Mama sempet ngerasa bersalah kalau Ni sakit gara-gara nitipin Ni ke Mamani asrama dulu kecil. Nggak lama sama mamani asrama, Ni malah step. Mama bawa ke RS Misi. Disana sampe suster-susternya apet sama Ni.”

Aku ingat, mama memang pernah menunjukkan ruangan tempat dulu bayi aku dirawat di RS Misi ketika kami menengok sepupu yang sedang sakit. “I love you, mamooy. Tempenya enak.” Aku mencoba menenangkan mama.

Seakan air mata akan mengalir layaknya air yang menjebol dinding situ gintung tempo lalu.

Selesai sarapan, aku langsung masuk kamar, melanjutkan laporan magang yang tertunda seminggu ini. Tiba-tiba aku tengat sesuatu…

Aku ingat, lima tahun yang lalu, kelas 1 SMA, mama nangis ketika tubuh lemahku dibawa dengan tempat tidur dorong menuju kamar VIP A RSAI Bandung. Kala itu, dokter memvonis aku terserang demam berdarah tingkat akut. Kata dokter, kalau ibarat kanker, ini stadium 3. Trombositku benar-benar longsor. Mama menangis di samping tempat tidurku. Mama dan bapak mengusahakan banyak cara. Termasuk memberikanku obat-obatan tradisional secara diam-diam selama di RS. Alhamdulillah dalam waktu dua minggu, dokter mengizinkanku pulang, setelah agresi pemaksaan kulancarkan.

Tahun berikutnya… lagi-lagi harus pindah kamar ke VIP B RSAI. Tifus. Virusnya menyerang tulang. Seluruh tubuh lumpuh. Kepanikan mama dan bapak lebih parah lagi. Ada dua dokter yang menanganiku. Dokter internis dan syaraf. Lalu di tahun ketiga duduk di bangku SMA, aku harus menahan diri untuk tidak melakukan pekerjaan yang berat karena tumor yang duduk manis dalam rahim kananku. Kala itu, setiap malam, suasana rumah selalu haru. Dokter bilang aku harus dioprasi. Tapi aku tidak mau. Bukan hanya masalah biaya, tapi karena aku takut. Membayangkan perutku disobek-sobek dengan pisau tipis yang tajam. NOOO!! Jadi merinding disko deh. Setelah melewati pengobatan herbal dan diet selama 6 bulan, Alhamdulillah aku sembuh total. Dokter pun keheranan.

Masa meminum herbal godogan adalah masa tersulit. Aku harus minum herbal yang pahitnya subhanallah sehari dua kali. pagi dan sore. Setiap kali selesai meminum herbal, perutku melilit. Kepalaku sakitnya minta ampun. Kalau tidak ingat Allah, mungkin lebih baik aku bunuh diri. Karena memang sakit luar biasa. Sampai harus tidak pergi sekolah. Masa diet adalah masa tersulit kedua, aku hanya boleh makan buah apel & jeruk, tahu, tempe, telor seminggu 1 kali. itu saja. ikan pun hanya boleh gurame bakar. Keju, susu, cokelat, es krim, dan kacang. Lima pantangan pasti. Intinya, aku tidak boleh makan-makanan berlemak dan siap saji. Karena akan merangsang pertumbuhan tumor. Kalau sedikit saja aku makan, maka kepala yang damai akan berperang. Sakitnya tidak akan tertahankan.

Alhamdulillah aku sembuh total sekarang.

Selanjutnya, penurunan kadar enzim yang kerja pada jantung. Adakah? Yah… beberapa waktu lalu aku harus lagi dan lagi pindah kamar ke VIP C. ruangannya lebih kecil dibanding VIP A dan VIP B. kalau VIP A itu, lengkap. Satu set sofa, TV 29 Inci, pokonya udah kaya kamar hotel paling mahal. Kali itu, aku menggunakan oksigen karena setiap kali kepala yang tenang terguncang, sesak napas mulai terasa. Sampai aku merasa inilah akhir hidupku.

Wajah lelah dan sedih dari mama bapak adalah wajah yang selalu kulihat setiap kali aku sakit. Aku sangat merasa bersalah. Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membiarkan seluruh keegoisanku memenangkan pikiranku. Mengeraskan hatiku. Membuatku ngambek sebentar tadi pagi. Membuatku marah pada mama dan bapak. Aku benar-benar menyesal.

Tidak akan kuulangi. Aku akan berusaha selalu menjadi anak mama bapak yang terbaik. Aku tidak akan lagi membuat mama bapak sedih karena sakit. aku tidak akan lagi ngambek sama mama bapak karena keinginan yang tidak terpenuhi. aku akan menjaga diriku seluruhnya. Mau makan tepat waktu, mau minum suplemen, menghindari makanan siap saji, dan masih banyak lagi. Mama… bapak… percaya deh. Anakmu yang satu ini perempuan yang tangguh sekarang, sekeras apapun guncangan, akan selalu bertahan dan sehat. J

Sekarang, setiap bangun pagi, aku selalu membaca doa dan meneriakkan dalam hati, “HARI INI BAIK! TERSENYUM! DAN SEHAT!”

Tidak ada komentar: