Sabtu, 07 Februari 2015

DEGUPAN YANG SAMA

“Kenapa kamu?” Tanyaku.
            “Entahlah. Jantungku deg-degan banget. Sesak.”
            “Bernapas pelan-pelan...”
Kamu tengah duduk di main hall. Sebentar lagi doa pagi. Meski baru pukul 7.15 WIB. Wajahmu terlihat menegang seiring degupan yang tidak juga kamu fahami maknanya. Seketika kamu menoleh ke sisi kanan. Tepat ke lorong yang menghantar setiap orang menuju banking hall untuk absen pagi. “Dia.” Bisikmu.
            “Siapa dia?” Tanyaku.
            “Affan.”
            Dia datang dengan kemeja warna biru muda. Masih dengan jaket yang sama. Gaya yang sama. Tas gendong yang berlabuh di satu sisi bahunya. “Inikah jawaban dari malam-malam tahajudku?” Tanyamu.
            Aku hanya terdiam. Degupanmu begitu cepat. Aku bisa merasakannya. Tapi kamu tidak banyak berkata. Bukannya menyapa dia, kamu malah menundukkan wajahmu. Mengacuhkannya. Kebodohan berikut yang kamu lakukan. Tidakkah kamu membiarkan dia untuk mengetahui kalau kamu memperhatikannya? “Jangan!”
            Hari-hari berikutnya terjadi. Degupan yang selalu muncul sebelum kehadirannya. Setiap malam kamu terbangun dengan doa yang sama. Dengan permohonan yang sama tentangnya. Sering kali jantungmu berdegup kencang, tidak berapa lama dia dan kawanannya datang. Atau sesaat secara tidak sengaja degupan itu datang lagi dan kalian berpapasan di depan pintu. Bukan hanya itu. Suatu sore dia pernah membantumu untuk mengeluarkan motor yang terparkir begitu dekat dengan motor lainnya. Lagi dan lagi kamu mengalami degupan yang sama. Kamu sendiri tidak bisa memaknai degupan apa itu.
            Suatu hari kamu memberanikan diri untuk bicara dengan temannya, Hudaya. Dia cukup bijak. Membuat kamu sadar bahwa Jalan Allah lebih indah. Bodohnya... perasaan yang tidak karuan itu kamu sampaikan kepadanya. Responnya dingin, “Kamu fokus aja dulu pendidikan. Aku seneng kok berteman sama kalian.”
            “Lalu? Apa yang akan kamu lakukan?” Tanyaku.
            “Melupakannya.”
            “Kamu hanya perlu waktu lebih lama untuk memastikan perasaannmu, Nida. Apakah benar kamu mencintainya atau hanya rasa penasaran saja.”
            “Yes. Waktu lebih lama.”

            Tiga bulan sudah kamu berada di kota ini. Waktunya kamu kembali ke Jakarta untuk menunaikan kewajiban lainnya. “Mungkin dengan menjauh darinya kamu akan melupakannya.” Ucapku.
            Kurang lebih dua minggu kamu di Jakarta. Selama itu pula kamu tidak pernah melewatkan malam tanpa memikirkannya. Selalu merindunya. Masih namanya yang terucap di setiap doamu. “Aku sampai bosan, Nida. Lupakan dia yang tidak pernah mencintaimu.”
            “Tidak. Mencintainya indah.”
            Kamu bersikeras yang kamu rasakan adalah cinta. Mungkin kamu benar. Belum pernah aku lihat kamu memiliki perasaan sekuat ini. Dari dulu, kamu tidak pernah mencintai lelaki. Selalu mereka yang mencintai dirimu lebih dulu. Restu dari orang tua yang menggiringmu menyukai mereka. Sialnya di tengah cinta sudah tumbuh, mereka meninggalkanmu. Dua lelaki terdahulu. Yang satu menikah. Yang satunya lagi, kamu tidak pernah menceritakannya padaku. Yang jelas dia sudah menghilang.
            Di salah satu malam, sebelum tidur, kamu memberanikan diri untuk menekan nomor seseorang. Nomor Affan. Ya. Saking rindunya, kamu hendak meneleponnya. Tapi kamu tidak ada keberanian untuk melanjutkannya. Kamu terlalu takut dan malu. Merindunya. Adalah satu kata yang bisa menggambarkan perasaanmu saat ini. Meski dia tidak pernah merindumu. Selalu saja mengacuhkanmu, tidak mempedulikan perasaanmu.

            Kembalilah ke kota asal. Setelah dua minggu di ibukota. Kamu bertemu dengannya. Memalingkan wajah setelah menampilkan senyum yang sok ceria. Masih dengan degupan yang sama. Sadari, rasa yang ada di hatimu tidak berubah sejak tiga bulan yang lalu.

Tidak ada komentar: