Jumat, 06 Februari 2015

PERMULAAN

Hanya ada satu bioskop disana.
            Affan mengajakmu dan partner pergi nonton.
            “Ya udah... ajak nonton saja.” Begitu bujukan kedua Yanto dan Hudaya.
            “Iya. Film yang rame apa ya.” Tanya Affan seolah asik mengobrol sendiri.
            Kamu hanya diam. “Boleh.” Jawabmu singkat.
            “Enaknya malam ini atau besok?” Tanyanya.
            “Bebas. Tapi ada aerobic.” Jawabmu.
           
            Pukul 17.15 WIB.
            Aerobic dimulai. Kamu melihat Hudaya, Yanto, dan bos mereka sudah siap pulang. Satu orang terbelakang yang menarik perhatianmu. Affan. Dia pun pulang sembari menggendong satu tali dari tas ranselnya. Dia mengenakan jaket kaos berwarna hitam. Senada dengan kaca matanya. Kulitnya yang putih lebih terpancar. Tanpa peduli kepergiannya kamu melanjutkan gerakan aerobik. Hanya selisih beberapa menit saja. Dia kembali ke lantai empat. Memperhatikan setiap orang yang tengah berkeringat.
Text
            Affan    : Jd nonton ga?
            Kamu    : bebas. Kpn?
            Affan    : bsk aja ya biar waktunya panjang
           
            Nida, aku merasakan ada desiran lain di hatimu. Sadarkah kamu?
            “Besok kalian ada acara?” Tanya manajermu.
            “Nggak, Pak. Kenapa?”
            “Besok ikut ke kantor dulu ya. Mau nunjukkin sesuatu.”
            “Siap, Pak!”
            Kamu lupa kalau besok kamu ada janji nonton dengan lelaki dingin yang baru saja mengirimu teks. Aku salah rupanya. Kamu tidak lupa. Sama sekali tidak melupakannya.

            Setelah makan siang, kamu memutuskan untuk langsung pulang ke kos. Film dimulai jam tiga sore. Sesampainya di kos, kamu langsung berganti baju. Sama sekali tidak sempat memegang make up. Affan sudah di jalan menuju bioskop. Lepas sholat kamu langsung menyambar kunci motor. Membonceng partnermu menuju bioskop yang sama dengan Affan.
            Agak sulit menemukan parkiran. Terlalu padat manusia saat itu. Dengan debaran jantung yang cepat akibat terburu-buru akhirnya kamu bertemu dengan lelaki yang sama. Lelaki yang mengenakan jaket hitam. Ada yang berbeda dengannya. Dia mengenakan celana jeans berwarna krem kecokelatan. Sendal gunung yang berwarna hitam. Dibalik jaketnya, terselip kaos berwarna hitam. Sisiran rambutnya rapi seperti biasa. Apa yang kamu tunggu. Ada lelaki single, yang sekarang tengah berada di hadapanmu. Bukankah kamu tengah mencari seorang pendamping hidup? Tidakkah kamu merasakan debaran cinta? Nida, kamu terlalu lama menutup diri. Menjaga benteng hatimu. Kamu terlalu takut untuk terluka. Tanpa kamu sadari, kamu sudah jauh melampaui targetmu. Sebuah pernikahan yang ingin sekali kamu langsungkan di tahun ini.
Seperti biasa. Hadir dengan keisenganmu. Sesekali kamu menganggu Affan yang sedang fokus menonton layar lebar di hadapannya. “Serius bener, mas.”           Dia hanya tersenyum. Napasnya terdengar jelas di telingamu. Apa kalian duduk terlalu dekat? Sepertinya tidak.
            Film selesai. Cukup menghibur untuk akhir pekan yang biasa saja.
            Kamu dan Affan duduk berhadapan di sebuah tempat makan. Kamu menunjuk tiga donat untuk dimakan. Rasanya perutmu mulai kelaparan. Sembari menunggu Kristin yang tengah asik mencari baju. Dunia seakan menjadi miliknya.
            Kalian memulai obrolan. Tidak banyak. Kamu cukup tahu kalau dia anak bungsu. Kakak-kakaknya sudah menikah. Dia dari kota seberang, yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia. Dia kuliah di Universitas Sriwijaya. Sempat kerja di salah satu bank BUMN. Di kantor yang sekarang dia sudah bekerja hampir empat tahun. Baru dua bulan dia pindah ke kota ini. Dulu dia ditempatkan di kota kelahirannya. Karena di kota ini dibuat kantor wilayah, dia dipindah tugaskan kesini. Katanya karena dia masih single makanya dialah yang diminta untuk pindah. Kepindahannya menjadi kali pertamanya untuk pindah jauh dari orang tuanya. Kamu diam. Memasang wajah acuh tak acuh. Aku kesal sekali melihatmu bersikap dingin seperti itu. Tidak biasanya. Biasanya kamu hangat dengan orang yang kamu baru kenal. Kenapa, Nida?
            “Eh mungkin dia udah selesai.”
            “Kalo dia udah selesai. Pasti hubungin aku.”
            “Tapi ada yang mau aku cari.” Ucapnya.
            Aku mulai menangkap perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Mungkin dia tidak nyaman dengan responmu yang judgemental dan tidak hangat.
            Pertemuan malam minggu yang membosankan. Satu kalimat yang hadir dalam kepalamu. Affan tidak sebaik penampilannya. “Bagaimana bisa. Lelaki yang penampilannya sesederhana itu, berbicara seolah-olah mendebatku?” Kesalmu. “Tapi kenapa aku bersikap sedingin itu? Kenapa aku bodoh? Kenapa ya?” Aku sendiri terheran dengan responmu. Diawal kamu cuek, tapi kamu khawatir dengan ketidak pedulian yang sengaja kamu buat di hadapannya.

            Malam ini kamu gelisah sekali, Nida. Selepas bermalam mingguan dengan teman baru, kenapa kamu menjadi kalut seperti ini? Ada apa?
            “Entahlah. Aku memikirkan sosoknya. Aku mencoba sedingin mungkin. Tapi justru semakin aku memandang dia, semakin aneh hatiku.”
            “Apa? Coba kamu telaah dulu apa yang kamu rasakan.” Saranku.
            “Aku... aku terbayang wajahnya. Apa ini?”          
            “Ini sudah tengah malam. Beristirahatlah. Dengan tidur kamu bisa melupakan semuanya.”
            “Kenapa kau bersikap bodoh seperti tadi? Kenapa aku tidak bisa membuatnya nyaman. Aku bisa merasakan ketidak nyamanannya dekat denganku tadi. Aku bisa merasakan kalau dia sedikit menjaga jarak dariku. Aku bisa merasakannya. Bagaimana kalau dia tidak suka denganku?”
            “Apa Nida? Coba katakan sekali lagi?”
            “Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku?”
            “Nida, kamu mencintainya.”
            “Tidak!”
            “Jangan membohongi dirimu sendiri. Ayo kita adakan ujian kecil-kecilan.”
            “Apa itu?”
            “Tunggu beberapa waktu. Jika perasaanmu masih sama, berarti benar kamu mencintainya.
            “Berapa lama?”
            “Hanya kamu yang tahu. Sekarang, ambillah air wudlu. Sebaiknya kamu menyediakan sedikit waktu bermesraan dengan pencipta-MU. Memohon petunjuk-Nya. Dialah yang Maha Mengetahui.”
            Aku rindu sekali melihatmu bermunajat pada Illahi di sepertiga malammu. Sejak dua minggu kamu datang ke kota baru, kamu belum pernah menunaikan sholat malam. Kamu terlalu letih dengan urusan duniawi; berkumpul dengan teman-teman, belajar, menjalankan hobimu. Semuanya. Kamu terlalu fokus dengan urusan dunia. Tapi kamu lupa. Usahamu akan sia-sia jika kamu tidak memohon pada-Nya. Tekananmu akan semakin berat jika tidak dibarengi permhonan kepada-Nya.
“Nida, kamu menangis?” Aku melihat tetesan air mata jatuh begitu saja. “Ada apa, Nida?” Kamu masih khusyuk dengan kemesraanmu.
            Hanya selang beberapa menit. Kamu mengangkat kedua telapak tangan. Menyatukannya. Dan kudengar lirih doamu untuk kedua orang tuamu, untuk sahabat-sahabatmu, untuk teman yang baru kamu temui, untuk mereka yang belum juga kamu temui. Kali ini, wajahmu basah oleh air mata yang tiada henti..
            “Aku sedih sekali. Setiap kali aku bangun malam, memohon kepada Allah, aku selalu malu mengingat dosa besarku selama ini. Apakah Allah akan memaafkanku?”
            “Tentu, Nida. Dia Maha Mengampuni.”
            “Ya Allah...” Tanganku kembali mengangkat. “Aku percaya dan yakin Engkau Maha Segala. Engkau Maha Mengetahui. Tapi izinkan aku bercerita langsung. Ya Allah.. aku bertemu dengan lelaki ini. Affan namanya. Engkau lebih tahu. Kenapa dia mampu membuatku segelisah ini? Secemas ini? Ada apa Ya Allah? Apa ini perasaan yang Engkau anugerahi padaku? Atau ada campur tangan setan di dalamnya? Ya Allah.. jika memang perasaan ini hanya ujian dan bisikan dari setan, aku mohon. Buang jauh-jauh perasaan ini Ya Allah. Semoga Engkau membuatku melupakannya. Diri ini sepenuhnya milikmu. Sepenuhnya Ya Allah. Hatiku, pikiranku, semuanya. Maka hanya Engkau yang dapat menghendaki diri ini untuk melupakannya. Untuk tidak mengingatnya. Tapi jika memang perasaan ini adalah yang Engkau Ridhoi dan pertanda dia jodoh hamba, maka pertemukanlah kami di setiap waktu terindah-Mu.” Kamu menutup doamu dengan tangisan yang mereda.
            “Nida, kamu benar mencintainya?”
            “Ini baru hitungan jam. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Biarlah Allah yang memberi jawabannya.”
            “Nida, bukalah hatimu sekarang. Carilah penggantinya.”
            “Entahlah. Biar Allah yang menuntunku.”

            Cinta. Apa itu cinta? Kamu sendiri sudah lupa dengan maknanya. Kamu lupa rasanya. Terakhir kamu merasakannya, kamu dilukainya. Terakhir kamu mengharapkannya, ternyata kamu disakitinya. Cinta tidak menyakiti dan melukai. Dia hadir mengisi kekosongan hati. Cinta adalah sebuah janji. Meminangmu menjadi halal atau tidak sama sekali. Kalau memang kamu mencinta seorang Affan, bawalah namanya di setiap doamu. Di setiap sepertiga malammu. Barangkali dia memang jodohmu. Maka kirimkanlah dia salawat agar tetap dalam lindungan Allah.

Tidak ada komentar: