Rabu, 04 Februari 2015

PROLOG

Hai Deanida Alsyahrin. Apa kabar sekarang?
            Ini bukan kali pertama kamu mengajakku menginjakkan kaki di kota asing. Oh mungkin kedengarannya agak berlebihan. Kamu asik bersyukur dengan binaran mata seperti biasa. Sedari dulu aku selalu heran padamu, sebagus apakah hatimu? Sebab matamu jarang terlihat bersedih di depan orang. Matamu selalu berpancar positif. Meninggalkan jejak aura kebaikan di hati siapa saja. Asik sekali memperhatikanmu mengambil beberapa foto untuk diabadika. Melupakan tangis ayah dan ibu yang baru saja 20 menit lalu pecah. Berat hati mereka melepasmu pergi, Nida. Ditambah lagi kamu adalah anak bungsu perempuan yang tidak pernah pergi jauh dari mereka.
            Lalu siapa aku? Aku adalah temanmu. Mengikuti kemanapun kamu pergi. Ingatkah? Dulu kecil kamu selalu menangis kala bertengkar dengan kakak dan adikmu. Hingga akhirnya kamu bercerita. Cerita tentang sedihnya hatimu. Bukan hanya itu, menginjak SMA, kamupun selalu menceritakan keluh kesahmu padaku. Waktu terbaring lemah di RSAI Bandung. Ruangan VIP A itu membuatmu kesunyian meski sekalipun orang tuamu tidak pernah meninggalkanmu. Sepanjang hidupmu sedari SD, aku selalu menemanimu. Kini biarkan aku yang mengurai ceritamu ya, Nida.  Kisah yang menyentuh. Ketika cinta yang kamu temui tidak pernah lagi menepuk sebelah tanganmu.
            Kamu dibesarkan bukan dari keluarga yang berlimpah harta dan tahta. Ayahmu hanya seorang bankir yang luar biasa. Di tengah karir yang menanjak, ayahmu harus mengundurkan diri dari perusahaannya karena terjadi kekeliruan yang tidak pernah kamu fahami. Kamu mengalami masa dimana harus mengencangkan ikat pinggang akibat tidak lagi bisa makan apapun yang kamu inginkan. Dalam keterpurukan ekonomi, akhirnya ayahmu bangkit lebih melesat. Maju menjadi pengusaha yang besar. Memenuhi semua yang kamu butuhkan. Tapi bukan yang kamu inginkan. Ayah selalu mengajarimu untuk berupaya mendapatkan apapun yang kamu inginkan. Berupaya, berdoa sambil berusaha. Misalkan untuk memiliki sikat gigi berkarakter, kamu harus mendapat juara 1 di kelas. Bukan hanya sikat gigi, untuk memiliki buku cerita yang kamu inginkan pun kamu harus berbuat baik atau berprestasi di sekolah. Bagusnya ayah mendidikmu menjadi lebih baik. Kamu jadi lebih mengerti bahwa tidak ada hal yang diperoleh dengan mudah. Segala hal yang kamu inginkan harus dibarengi dengan usaha yang gigih.
            Ibumu. Wanita paling sempurna di dunia. Ibu tidak pernah sedikitmu mengeluhkan rutinitasnya. Semua pekerjaan rumah selesai ditangan Beliau. Tangan mulianya mampu menyajikan makanan yang selalu menggairahkan lidahmu dan semua anggota keluargamu. Dari ibu, kamu belajar arti menjadi wanita yang penuh kasih, tanggung jawab, cinta, kesabaran, kepasrahan, apapun itu. Kamu belajar hal baik menjadi seorang wanita. Ketika kamu dewasa, kamu punya satu cita-cita. Menjadi seperti ibumu. Bagimu, sosok ibu sungguh sempurna. Sekali lagi. Sempurna. Pernah sekali kamu melihat ibu menangis. Ibu tidak pernah mengeluh padamu. Beliau langsung mengusap air matanya. Terkadang ditengah lamunannya, kamu melihat air matanya menetes seketika. Beliau hanya berkata, bangga memiliki anak seperti kalian yang bisa membahagiakan orang tua.
            Keluarga besar yang hangat dan harmonis. Begitulah keluargamu. Banyak dari teman-temanmu iri melihat kebahagiaanmu, merasakan kehangatanmu yang tercermin pada sikap hangatmu. Nida kamu sangat beruntung. Syukuri itu.

            “Langsung ke kantor atau hotel dulu?” Tanya Wahyu
            “Aku udah hubungi mas Bas, katanya kita taro dulu aja barang-barang ke hotel, langsung ke kantor.” Jawabmu.
            Dari jauh aku memperhatikanmu menunggu antrean bagasi. Menunggu koper besarmu muncul ke permukaan.
            “Kita naik apa?” Tanya Argo.
            “Katanya sih berjuang sendiri. Haha.” Kamu tertawa lepas.          
            Dengan perut kelaparan, kalian langsung menuju kantor setelah menaruh barang-barang di hotel yang telah disediakan. Masih teringat betul. Kala itu pukul 13.00 WIB. Kamu mengenakan blus berwarna putih, blazer abu-abu, celana panjang hitam, dan kerudung bermotif merah abstrak muda-biru. Kamu menyentuhkan sedikit bedak, memoles sedikit lipstik untuk menyempurnakan penampilanmu. Begitulah kamu. Selalu ingin tampil maksimal di depan orang baru. Bagimu, first impression is one of the most important thing. Dulu saja, bekas kekasihmu selalu protes melihatmu terlalu tampil sempurna. “Nanti kalau ada yang naksir kamu, gimana?” Begitu ucapnya.
            ...
            Sudah pukul 14.00 WIB. Kalian diminta menghadap seorang Kabag. SDM. Konon kabarnya, Dia senang dengan penampilan yang menarik. Kamu merapikan sedikit blazermu. Kalian menghadapnya. Perbincangan satu arah dimulai. Siapa kira kamu terkantuk-kantuk di dalam. Sesekali kamu menunduk menahan kantuk.
            Pukul 15.00 WIB. Hujan deras mengguyur kota. Kalian kesulitan berjalan mencari tempat makan. Ditengah derasnya hujan, kalian memutuskan untuk tetap mencari makan. Karena perut kalian sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Derasnya hujan menciptakan banyak genangan di jalan. Tidak ingin sepatu rusak, kalian melepas alas kaki besarta kaosnya. Lucu sekali. Kalian berjalan seperti orang kampung yang baru datang di kota. Itulah uniknya. Lucu tapi tidak memalukan kok. Paling tidak aku berusaha menghibur kalian.
            Hari selesai.
            Besok kalian harus terjun ke kantor cabang masing-masing.

            Tidak banyak hal yang ingin kuceritakan tentang masa kerjamu di cabang. Aku hanya tertarik dengan hatimu yang sekarang tengah patah.

Tidak ada komentar: