Sabtu, 07 Februari 2015

THE AIRPORT

“BODOH! APA YANG KAMU LAKUKAN, NIDA?”          
            “Tidak ada. Aku hanya mengejar hati yang ingin kutemui.”            
            Hari Rabu, 31 Desember 2014.Beberapa jam yang lalu. Tawa masih mengiringi bibirmu meski aku tahu betul. Kamu terluka. Terluka akan kepergiannya yang tiba-tiba. Kalian satu meja. Bersama dengan teman lainnya. Dia duduk tepat di sisimu. Seorang mengambil foto kalian berdua. Affan mengenakan kemeja berwarna biru muda. Wajahnya terlihat lelah sekali. Mungkin karena beberapa hari ini dia berusaha dengan keras menyelesaikan pekerjaannya sebelum pindah. Ya. Dia harus pindah kembali ke kota dimana dia berasal.
            “Kenapa kok mendadak, mas?” Tanyamu.
            “Nih biar nggak banyak pertanyaan.” Dia menunjukkan text yang datang dari atasannya. Dia tampak bosan menjawab pertanyaanmu. Mungkin sudah banyak orang yang bertanya padanya.
            Kamu hanya diam.
            Kalian kembali ke kantor. Kamu melihatnya beredar di lantai dua. Di lantai yang sama denganmu. Dia mengobrol dengan orang-orang. Entah apa yang dia bicarakan. Kamu pun berpura tidak peduli.
            “Kris. Aku mau ke bandara.” Ucapmu.
            “Mau apa, Dea?”
            “Aku mau melepas kepergiannya.”
            “Naik motor?”
            “Yes. Apalagi.”
            “Aku ikut ya.”
            “Jangan. Nanti aku malah khawatir.”
            “Tapi di luar hujan.”
            “Mau gimana lagi Kris. Aku mau dia tahu apa yang aku rasa sebelum dia pergi.”
            “Yakin? Aku khawatir loh.”
            “Nggak apa-apa. Kita uda barengan hampir tujuh bulankan? Percaya deh.”
            Kristina begitu berat melepasku. Tapi aku memaksanya.
            Pesawat Affan pukul 18.30 WIB. Bel pulang kantor berbunyi. Kamu langsung pulang. Sedang Kristin tinggal di kantor karena ada acara akhir tahun.
            Segera kamu membuka lemari. Mengeluarkan sweater hangat berwarna pink. Memindahkan dompet dan handphone ke dalam tas ransel yang lebih kecil. Kamu juga menghangatkan badan dengan minyak kayu putih. “Pasti akan sangat dingin.”
            “Nida! Tunggu. Apa kamu yakin?” Tanyaku.
            “Yes. insyaAllah. Why?
            “Ini gerimis, Nida. Nanti kamu sakit.”
            “Nggak. insyaAllah nggak bakal. Aku cuma nggak mau hidup dalam penyesalan karena kehilangan orang yang terkasih tanpa dia tahu aku mencintainya.”
            “Kamu yakin kamu mencintainya?”
            “Sudah empat bulan. Aku sudah pergi ke Jakarta dua kali. Sudah berusaha melakukan apapun untuk melupakannya. Tapi apa yang kudapat? Setiap harinya perasaan yang sama. Merindunya, menginginkannya, memikirkannya, dan aku sadar bahwa aku mencintainya. Apa ini kurang?”
            “Bukan begitu Nida. Kamu harus pikirkan kesehatanmu juga. Kesehatanmu belum pulih.”
            “Aku sehat. Aku tidak ingin membiarkan diriku menyesal seumur hidup. Kalau memang dia tidak membalas cintaku, paling tidak dia harus tahu kalau aku pernah mencintainya. Pernah sangat mencintainya.
            “Baiklah, lalukan kebodohanmu itu!”
            Setelah menunggu instruksi dari Kristin, kamu pun pergi. Melesat dengan cepat.
            Aku memperhatikanmu dari jauh. Dengan sebuah payung membentang. Memperhatikan kegilaanmu membawa motor dibawah air hujan yang semakin deras. Jalan licin tidak membuatmu mengurangi kecepatan. Hampir 90 km per jam. Sesekali ada lubang, kamu kepayahan mengurangi kecepatan. “Ya Rabb. Aku pasrah kalau memang dalam perjalanan ini ada yang terjadi padaku. Tapi aku mohon biarkan aku bertemu dengannya.” Pintamu
“Sudah pukul 18.00 WIB. Ya Allah.. tolong keburu. Jangan dulu pergi, mas.” Tangismu terurai. Baju, celana, jaket, dan kerudungmu sudah basah total. Bibirmu membiru akibat dingin yang merundung. Bukan hanya itu. Gigimu beradu karena menggigil. Sudah lebih dari setengah perjalanan. Kamu tidak mungkin mundur. Baru. Baru pertama kalinya aku melihatmu seperti ini. Memperjuangkan cinta yang bahkan tidak pernah ada untukmu. Memperjuangkan seorang lelaki yang namanya tidak pernah absen melewati doamu. Memperjuangkan hati yang tidak pernah merasakan keberadaanmu. Begitu besarkah kamu mencintainya, Nida? Kuakui. Ini sudah empat bulan. Aku tahu betapa seringnya kamu menangis. Mencoba mengubur perasaanmu padanya. Tapi tetap tidak berhasil. Wajahnya selalu tergambar jelas dalam ingatanmu.
18.15 WIB. Sampai di bandara. Kamu memarkirkan motor. Berjalan lebih cepat.
            “Dimana dia?” Kamu terus mencarinya. “Halo, mas! Kamu dimana?” Ternyata Affan masih di jalan.
            Kamu berjalan cepat menuju loket salah satu maskapai penerbangan. “Sriwijaya delay nggak mas?” Tanyamu.       
            “Iya, Bu. Kurang lebih 30 menit.”
            Text
            Kamu    : mas. Pesawat delay sampe 30 menit
            Affan    : kt siapa?
            Kamu    : Td aku nelp customer service
            Padahal... kamu tengah berdiri di pintu masuk ­bandara. Menunggu kehadirannya.
            Wajahmu kusam terkena hujan. Kerudungmu basah. Baru kali itu aku melihat penampilanmu yang benar-benar payah. “I don’t care!” jawabmu.
            Tidak berapa lama. Mobil innova biru tua berhenti di lobi. Turunlah seorang lelaki berkaca mata hitam. Dengan jaket seperti biasa. Dia menggendong sebuah tas ransel dengan benar. Di pundak kirinya bertengger sebuah tas lagi yang cukup besar. DIA DATANG. AFFAN DATANG.
            Kamu menghampirinya, “Ini masukin.” Menyerahkan kantong plastik berisi makanan.
            “Loh kamu kok disini?” Tanya Affan.
            “Ya. Mau ketemu kamu.”
            “Aku check in dulu ya.”
            Kamu melihatnya berlalu.
            Berapa lama dia datang. Mengajakmu menunaikan sholat maghrib.
            ...
            Akhirnya kalian berada di satu meja. Dia asik menyantap makanannya. Kamu pun sama. Harus makan. Perjalanan pulang masih jauh. Kamu harus mengisi perutmu yang kosong agar tetap sehat.
            Affan bercerita tentang pekerjaan yang harus dia selesaikan selama tiga hari. Kamu memperhatikannya dalam-dalam. “Ayo, Nida! Apa kamu kemari untuk mendengar ceritanya? Kamu lupa tujuanmu yang sebenarnya?” Aku berbisik.
            “Mas... aku jauh-jauh cuma buat denger kamu ngomong? Boleh kasih aku kesempatan?”
            “Oh ya.”
            “Aku nggak tahu kenapa aku kayak gini. Sejak awal ketemu kamu selalu deg-degan. Kamu deket sama cewek lain aku cemburu, marah, dan nggak tahulah. Aku nggak peduli apa respon kamu. Aku cuma mau bilang...” Terhenti. Kamu menarik napas. Kamu bicara terlalu cepat, Nida.
            “Udah udah. Ngobrolinnya biasa aja ya. Apa perlu aku jawab sekarang?”
            Ah entahlah. Aku tidak begitu dengar lagi apa yang kalian bicarakan. Suara speaker pengumuman mengganggu konsetrasiku.
            “Ya udah. Kita kesana yuk!”
            Kalian menuju lobi bandara. Pesawatnya sudah lending. Kalian berjabat tangan. Bertatapan satu sama lain. Cukup lama. Menghempaskan serpihan hatimu yang sudah berceceran. “Hati-hati ya.” Ucapmu menutup pertemuan kalian. Kamu memanggilnya. Ingin rasanya kamu bilang kamu mencintainya. Tapi bibirmu membeku. Entah karena dingin yang menyerang atau... entahlah.
            Bergegas kamu menuju motor meski sebenarnya langkahmu melemah. “Pacarnya eh suaminya ya, Mba?” Tanya seorang petugas.
            “Iya, pak. Suami saya.” Omongankan doa.
            “Mau kemana?”
            “Ke Jakarta Pak.”
            “Dinas disana? Kok Mba nggak ikut?”
            “Saya ada kerjaan di sini, Pak. Mari, pak.” Kamu berjalan agak cepat.
            Apa yang kamu katakan, Nida? Kamu berbohong? “Entahlah. Omongan adalah doa. Dan aku berdoa semoga dia yang menjadi suamiku kelak.


            Perjalanan satu jam setengah menuju kosan sudah kamu tempuh. 

Tidak ada komentar: