Rabu, 18 Januari 2012

Renungan Pasca-UAS

Kulihat seorang sahabat memajukan bibirnya. Wajahnya kusut sekali, seperti baju yang baru saja keluar dari mesin pengering. Kuhampiri ia lalu bertanya, “Ada apa? Kok manyun gitu?”
Dia tidak menatapku sedikitpun. Kulihat sorot matanya penuh kekecewaan, “Nilaiku B+.” Jawabnya.

“Lalu kenapa kalau B+?”

“Yah kan aku udah yakin bakal dapet A. Setidaknya dapat A- gitu kek.”
Aku menggeleng kepala. Raut wajahnya menampakkan kerisihannya akan kehadiranku. Aku pamit dan berlalu.

Aku sadar satu hal. Terkadang manusia menilai dirinya sendiri terlalu tinggi. Ia lupa bahwa ada Allah yang lebih tinggi. Di dalam Quran Surat Ar-Rahman sangat jelas menjelaskan betapa agung dan kuasanya Allah. Allah yang lebih tinggi, maka Allah yang lebih berhak menilai kita sebagai manusia. Kita yang sering lupa daratan, lupa siapa kita, hingga sering pula kita menilai diri kita terlalu tinggi. Merasa pantas mendapat nilai A atau A- tanpa mengetahui potensi diri kita sendiri. Terlalu tinggi menilai makhluk akan mendapat kekecewaan. Ketika kita menilai diri kita sangat tinggi, maka kita pun akan kecewa.

Hal kedua yang kusadari adalah... segera merasa puas. Sering kali, pada umunya, kebanyakan (sampai kehabisan kata yang menggambarkan mayoritas manusia) cepat merasa puas dengan apa yang telah diusahakannya. Bagi kita, usaha yang sudah kita lakukan itu... cukup. “Aku sudah belajar satu minggu sebelum ujian.”, “Aku sudah belajar sangat keras.”, dan masih banyak kalimat lainnya karena kita merasa puas dengan usaha yang menurut kita itu “keras”. Kita lupa juga, kalau Allah Maha Mengetahui segalanya. Siapa tahu bagi-Nya, usaha kita belum keras, sehingga kita belum pantas mendapat nilai yang lebih tinggi.

Menyepelekan. Hal ketiga selanjutnya adalah kita terlalu menyepelekan sesuatu. “Aaah... bisalah itu mah. Kemaren pas UTS aja gampang.” Apa yang terjadi kemaren memang mempengaruhi hari ini. Seperti random walk : yang mengatakan bahwa harga x pada periode t akan sama dengan harga x pada periode t-1. Itulah pendapat yang mengatakan kalau kita bisa mengestimasi harga saham dari pergolakan data historis. Tapi bukan artinya kita memprediksinya lalu berleha, sahabat. Prediksi itu dilakukan untuk mengambil tindakan pasti, untuk menganalisis kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi esok hari sehingga kita bisa mengambil keputusan dan menyiapkan rencana. Kebanyakan dari kita menyepelekan sesuatu karena adanya kesalahan membaca data historis. Kita yang menganggap UAS akan mudah karena dilihat dari UTS yang mudah itu... adalah kesalahan analisis. Kesalahan analisis menyebabkan salahnya keputusan dan tindakan yang ditetapkan. Akibatnya hasil tidak sesuai dengan harapan. Cobalah strategi baru; ketika UTS mudah, maka anggaplah UAS akan sulit. Dengan begitu kita akan belajar semakin giat. Yang tadinya menganut SISTEM KEBUT SEMALAM bisa saja menjadi SISTEM KEBUT SEHARI, SEMINGGU, SEBULAN, atau SETAHUN. Kalau ternyata uas mudah? Apa rugi? Tidak! Tidak ada yang sia-sia dalam hidup termasuk mempelajari satu hal.

Kurang introspeksi diri adalah hal keempat yang kusadari. Kita menganggap diri kita pantas mendapat A, tanpa pernah bertanya terlebih dulu... “Apakah nilai B+ yang saya dapat ini sudah sesuai dengan kemampuan dan usaha saya?” jangan-jangan nilai yang sudah digenggaman pun adalah nilai belas kasih seorang dosen. Jangan-jangan kita tidak berhak dan tidak pantas mendapatkannya.

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah : 152). Hal fatal terakhir yang kita lupakan adalah BERSYUKUR. Kita lupa bersyukur atas apa yang kita dapat. Itu sebabnya kita merasa kecewa dengan nilai B+, karena kita sangat tidak bersyukur. Padahal dalam ayat diatas Allah benar-benar memerintahkan kita untuk bersyukur. Pilihannya hanya dua; syukur atau kufur. Kalau kita tidak bersyukur, maka kita termasuk yang kufur. Naudzubillah...
Sahabat, apa yang terjadi di dunia ini atas kehendak Allah. Setelah berupaya (doa+usaha), Allah lah yang berhak memutuskan apa yang akan menimpa kita. Karena Allah lebih tahu yang pantas bagi umat-Nya. Karena Allah lebih mengenal kita dari diri kita sendiri.

Ini kita renungkan bersama. Aku ingin belajar dan berusaha meninggalkan kefatalan no.5 yang sering tanpa sadar atau dengan sadar kulakukan. Astaghfirullah...

2 komentar:

rahmat khafidhin mengatakan...

hmmmm, hal ini sering dianggap sepele oleh kebanyakan orang, padahal ....

Vani Triani Sudarto mengatakan...

padahal apa, mat?