Jumat, 02 Mei 2014

Spasmofilia, “istimewa” (Part. 1)

Ini kisah seorang gadis yang hendak meninggalkan masa remajanya menuju masa dewasanya. Bunga. Ya... namanya Bunga Zevalia Alamsyah.
Tepat di Februari 2014. Dokter salah satu RS Swasta Islam di Jakarta, Dokter Johan, di ruang EMG, memvonismu mengidap spasmofilia.  Sekilas tentang Spasmofilia. Spasmofilia adalah penyakit dimana terjadi kejang atau keram pada otot akibat sebuah kelainan; elektrolit dalam tubuh tidak seimbang karena tubuh tidak dapat menyerap kalsium dengan baik. Sehingga kebutuhan kalsium dalam tubuh tidak dapat terpenuhi.
“Gimana hasilnya, dok?” Bunga memasuki ruang tes EMG setelah menunggu 30 menit.
“Hasilnya positif, +3.” Dokter Johan menunjukkan kertas hasil pemeriksaan tadi.
“Terus apa bisa sembuh, dok?”
“Karena ini kelainan, maka tidak bisa disembuhkan.” Dokter menjawab pertanyaanmu dengan tegas dan lugas.
“Efeknya kenapa bisa ke kepala ya, dok? Apa hubungannya? Kepala saya juga kan sering sakit kaya ditonjok-tonjok.”
“Ya ada dong. Kalau semua tubuh tegang, maka responnya akan ke otak juga. Otak itu pusat seluruh tubuh. Jadi kalau yang dirasa sakit, maka akan terus ke kepala. Nanti untuk konsultasi, ketemu dokter Vijal saja ya.”
Dokter Vijal adalah dokter spesialis syaraf yang merawatmu selama kamu menginap di RS. --Di akhir Januari, kamu masuk RS setelah berjalan kaki dari Jalan Boulevard Barat Kelapa Gading menuju Jalan Emas. Kamu mengeluh sakit kepala yang luar biasa. Lambat laun, kakimu mulai terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Andi yang amarahnya sempat meninggi dan meninggalkanmu berjalan kaki begitu jauh, akhirnya mau mengantarmu ke RS. Lima hari dirawat, hasil CT Scan tidak memperlihatkan sesuatu yang berbahaya. Maka dokter mengizinkanmu untuk rawat jalan. Dua minggu setelahnya kamu harus kontrol dan di hari yang sama, dokter memintamu untuk tes EMG--
Kamu keluar ruang EMG dengan tatapan mata yang kosong dan hampa, tidak tahu harus berbuat apa. Kamu hanya terus berjalan seorang diri. SEORANG DIRI. Menelusuri lorong rumah sakit yang membawa langkahmu pada ruang tunggu pasien. Kamu menangis dalam hati. “Andi? Kemana Andi?” Kamu bertanya dalam hati. Kamu sedang butuh lengan untuk membantumu berdiri lalu berjalan. Membantumu untuk yakin bahwa semua hanya omong kosong. “Kamu baik-baik saja, sayang...” Satu kalimat yang ingin sekali kamu dengar. Itu saja. Kamu tidak ingin apa-apa lagi. Tapi Andi tidak ada. Dianya pergi entah kemana. Meninggalkanmu setelah pertengkaran satu jam yang lalu. Pertengkaran yang terjadi karena dia memarahimu di depan umum. Kamu hanya duduk di kursi lalu dengan gemetaran, kamu memencet sebuah nomor. “ha... ha... halo mam.” Suaramu begitu parau.
“Gimana sayang? Udah keluar hasil tesnya?”
“Sudah, Ma. Hasilnya positif, Ma. Hari Kamis aku ketemu dokter Vijal lagi. Mastiin.”
“Sementara apa kata dokter EMG?”
“Nggak ada, Ma. Katanya baik-baik aja.” Bunga berbohong. Kamu hanya tidak ingin membuat orang tuamu cemas bukan? “Kamis ini bisa temenin Bunga ketemu dokter Vijal, Ma?”
            “Bisa, sayang. Kok suaranya gini? Bunga nangis?”
“Ma, Bunga minta tolong telpon Andi dan bilang Bunga udah selesai. Tadi Andi ke kantor dulu soalnya, Ma. Andi ada urusan.” Kamu juga tetap menyembunyikan pertengkaran yang membuat Andi meninggalkanmu sendirian di RS.
Kamu menutup telpon dengan ibumu. Otakmu terus berputar. Bertanya-tanya. Apa spasmofilia? Kenapa bisa? Kelainan gimana maksudnya? Bahayakah?
Andi akhirnya menjemputmu dengan wajah yang sama sekali tidak bersahabat. SAMA SEKALI TIDAK BERSAHABAT. Dia pun tidak menanyakan hasil tes EMG tadi. “Aku mau balik ke kos aja. Aku nggak enak badan.” Ucapmu.
Andi mengantarmu sampai depan gerbang kos. “Kamu nggak apa-apa?” Akhirnya kalimat khawatir keluar dari mulutnya.
“A... Aku... aku positif spasmofilia.” Jawabmu dengan tangis yang pecah.
Andi menatapmu tajam. Penuh cinta. “Itu nggak bahaya kok. Kamu ketemu dokter kapan?”
“Kamis.”
“Aku anter ya.”
Ah! Hanya berkhayal. Andi sama sekali tidak peduli. Kenyataan yang terjadi, dia menurunkanmu di depan gerbang tanpa bertanya apapun. Tanpa peduli akan hasil tes yang baru saja kamu lakukan. Dia meninggalkanmu begitu saja. Dengan kepedihan dan kesakitan yang tidak bisa dia rasakan. Perhatian yang dia berikan waktu kamu dirawat di RS dua minggu lalu tidak lagi kamu rasa. Mungkin dia masih marah.
Di atas kasur kamar kosmu, kamu mencari tahu apa itu spasmofilia. Ternyata cukup banyak yang mengidap kelainan spasmofilia seperti yang dokter bilang. Dan kelainan ini memang sulit untuk dapat dideteksi. Gejalanya sangat biasa. Dulu sering sekali kamu merasakan pegal pada kaki dan tangan, kadang juga sakit. Kamu pikir hanya masuk angin atau kelelahan, makanya kamu sering sekali minta dipijit. Parahnya lagi, kelainan ini dapat menurun pada anakmu nanti. Sedangkan cara penyembuhannya belum juga kamu temukan. Kamu mulai benar-benar cemas dan khawatir. Terlebih memang ada artikel yang menyatakan kalau kelaianan ini tidak dapat disembuhkan. Menurut ilmu kedokteran. Tapi ada satu cara untuk mengontrolnya agar tidak menganggu aktivitasmu; kamu harus pandai mengontrol suasana hati dan fisikmu. Jangan bekerja terlalu keras apalagi kalau sampai stres.

Frustasi sudah. Kamu semakin khawatir. Sangat khawatir dengan “si istimewa” ini. 

Tidak ada komentar: