Kamis, 15 Mei 2014

Ada Jalan Lain (Part. 2)

Deal!
Kamu mengikuti nasehat keluarga untuk berobat ke kang Ujang. Dengan catatan : jangan sampai mereka memintamu berhenti dari pekerjaanmu.
            April 2014
            Kamu ditemani mama dan papa pergi ke Bandung. Lokasinya di belakang bekas kampus IMTelkom yang sekarang menjadi Telkom University. Sudah lama sekali kamu tidak menginjakkan kaki di Bandung. Bandung. Masih sama. Kota dengan sejuta kenangan. Manis dan pahit. Senyum dan tangis. Keluar tol pasteur menaiki fly over pasupati. Fly over yang dulu sering kamu lewati semasa kuliah. Menjelang sore, kamu perlu menghabiskan 1,5 jam untuk tiba di rumah. Bandung dengan keindahan romantismenya. Kamu menemukan cinta pertamamu di Bandung. Cinta pertamamu yang juga mengkhianatimu. Kamu juga menemukan keluarga baru. Keluarga yang siap mendengarkanmu dalam suka dan duka. Membantumu dalam kesulitan. Menerjemahkan makna yang tidak pernah dapat diterjemahkan orang lain yang tidak mengenalimu. Pokoknya keluarga yang levelnya satu tingkat dibawah keluarga kandungmu.
            Hai Bandung!
            “Kang, Bunga tos dugi.” Papa bersalaman dengan Kang Iwan. Bagian Pendaftaran.
            “Siap. Diantos nya.”
            Bandung. Di kota ini juga kamu belajar berbahasa sunda dengan lembut dan halus. Dari kota asal kelahiranmu, tidak mungkin rasanya kamu bisa berbahasa sunda dengan lembut dan halus.
            “Bunga. Mangga kalebet.”
            Ruangan yang sama. Ruangan empat tahun lalu yang pernah kudatangi hampir setiap bulan. Salah satu dindingnya bergambar pohon dengan anak kecil memegang balon. Terlihat sangat gembira. Ada satu jendela di sudut ruangan. Mengarah ke kolam ikan di depan. Airnya mengalir. Gemericiknya menentramkan. Di dalam ruangan, ada tiga kursi dan satu tempat tidur. Satu kursi menghadap jendela. Kursi untuk pasien. Dua kursi lainnya untuk orang yang mengantar.
            “Neng Bunga. Kumaha damang? Damai?” Kang Ujang memasuki ruangan dengan wajah berseri. Seperti biasa. Wajahnya terlihat bercahaya.
            “Ieu, Kang. Tempo lalu diparios ka dokter. Dokter nyarios anjeuna ngidap spasmofilia. Dokter oge nyarios, anjeuna teu tiasa sembuh.” Jelas papa panjang lebar.
“Oh kitu. Sip sip!” Kang Ujang mulai memegang pergelangan tangan Bunga. Kang Ujang menggeleng-geleng kepala. “Ini sudah sangat parah. Sudah mengganggu sistem keseimbangan dan kekebalan tubuh. Kalau tidak diobati bisa lebih parah. Ini memang penyakit yang langka di dunia medis. Pasti dokter akan mengkambing hitamkan orang tua dengan mengatakan bahwa ini adalah penyakit keturunan. Sebenarnya bukan keturunan, ini adalah penyakit yang diakibatkan oleh pola makan yang tidak teratur, mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, tubuh terlalu lelah, stres, dan banyak lagi."
“Janten kedah kumaha, Kang?” Dari suaranya mama begitu khawatir.
"Pola makan harus benar-benar dijaga ya, tidak boleh terlalu lelah, jangan terlalu sering jalan, lari, apalagi naik sepeda, tidak boleh makan makanan berserat tinggi, kolesterol tinggi, makanan yang mengandung tepung, pedas, asam, pokoknya harus makanan sehat. InsyaAllah ini bisa sembuh dalam waktu empat bulan, asalkan... herbalnya diminum sehari dua kali. rutin. jangan kelewat. Nanti dalam masa penyembuhan karena penyakitnya sudah menyerang sistem kekebalan tubuh, akan timbul alergi seperti gatal-gatal, timbul bintik-bintik kayak kebakar dan bisa jadi melepuh. Jangan kaget, itu tidak berbahaya."
“Kang, Bunga nggak mau herbal godokan. Repot. Pengennya dibuat jelly gitu.”
“Oh... ekstrak. Ya boleh dong.” 
Yang kamu suka dari Kang Ujang, Kang Ujang tidak pernah menjatuhkan mental pasiennya. Dia selalu membesarkan hati. Membawa segala hal kembali pada ketentuan Allah SWT, manusia hanya dapat berusaha semaksimal mungkin.
“Semua penyakit itu ada obatnya, Bunga. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia. Mau mencari tahu obatnya atau tidak. Jadi untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan, ada beberapa yang harus Bunga minum. Ekstrak herbal ya. Itu sehari dua kali pagi dan sore. Jangan lewat jam enam sore. Sekali minum dua sendok makan. Yang kedua, susu kambing. Ketiga, air bersifat basa.”
“Kenapa susu kambing, Kang?”
“Menurut penelitian, susu kambing memiliki kadara kalsium yang tinggi. Yang saat ini diperlukan tubuh Bunga adalah susu berkalsium tinggi dan... rendah lemak. Partikel lemak pada susu kambing sangat kecil hingga mudah diserap oleh sistem pencernaan. Beda dengan susu sapi. Susu kambing juga rendah lemak.”
“Bukannya kambing banyak lemaknya?”
“Susu kalau kita diamkan lama, maka akan muncul lapisan tipis diatasnya. Nah itu kadar lemaknya. Coba Bunga buat susu kambing dan susu sapi. Mana yang lapisannya lebih tebal dan banyak? Pasti susu sapi.”
“Oke, Kang. Kalau gitu susu yang bagus susu apa?” Tanyamu lebih rinci.
“Susu yang bagus. Ada buatan Amerika. Harganya Rp 250.000 per 300 gram kalau nggak salah. Yang kedua dari Australia. Tapi nggak tahu berapa harganya. Paling bagus ketiga itu dari Malaysia. Kalau Malaysia punya dikemasnya sachet. Harganya per sachet.”
“Oh ya sudah kalau gitu yang dari Amerika aja.” Sela papa. Papa memang selalu berupaya memberikan yang terbaik.
“Kenapa nggak susu dari Indonesia aja, Kang?”
“Kambing di Indonesia pakannya udah nggak bagus, neng. Jadi mempengaruhi kualitas susunya.”
“Kalau air minum basa? Kenapa harus yang bersifat basa, kang?”
“Selama ini air yang kita minum bersifat asam. Air yang bersifat asam akan membuat tubuh kita bersifat asam. Kalau tubuh bersifat asam, maka akan mudah terserang penyakit. Kalau sifat basa, dia menahan penyakit masuk dalam keadaan tubuh. Kondisi neng Bunga lagi menurun. Jadi disarankan dengan sangat minum air bersifat basa. Di Jepang juga sudah diteliti. Hasil penelitiannya valid.”
“Jadi gimana sekarang biar bisa dapetin air basanya, kang?”
“Di Jepang ada alatnya, neng. Itu harganya sampe Rp 50 juta. Nah tapi sekarang udah ada beberapa yang punya dan diolah sendiri. Disini juga jual.”
“Boleh, kang. Boleh! Supaya cepet sehat.” Papa merespon dengan cepat.
Kamu hanya menghela napas.
Syukurlah pengobatan selesai.
“Janten sabaraha?” Tanya Papa pada kang Iwan.
“Ekstrak herbalnya janten kin enjing. Rp 1.2 juta. Air basana tilu galon janten 225 ribu.”
“Upami susu kambing meser dimana, kang?”
“Aya di Setiabudi. Supermarket nu ngicalan barang-barang import. Atanapi di Foodhall sareng Hero. Milarian wae nya Pak.”
“Hatur nuhun, Kang.”
Sebelum meninggalkan kota kenangan, papa mengajakmu ke Supermarket. Lokasinya di Setiabudi bawah. Supermarket yang dulu kamu datangi untuk membeli bahan-bahan makanan Jepang.
Ah! Harga susunya mahal! Kamu harus membeli empat kaleng dalam sebulan. Harga per kalengnya Rp 250 ribu.
Tubuhmu begitu lelah. Sepanjang perjalanan mama membelai rambutmu. Kamu tertidur di pangkuannya. Tetesan air mata mama menetes ke pipimu. Buru-buru mama menghapusnya takut kamu terbangun. “Makanya coba Bunga mau nurut sama urang ya, Pa. Semua nggak bakal gini. Nggak bakal separah ini.”
Kamu terbangun, “Ma. Bunga salah apa ya? Allah SWT selalu kasih Bunga ujian kayak gini?”
Mama semakin lembut membelaimu, menenangkanmu, “Bunga kan sholehah. Kuat agamanya. Allah cuma mau nguji kesabaran Bunga. Segimana Bunga bisa kuat dan sabar ngelewatin semuanya. Bukan Bunga aja. Mama papa juga.”
“Maaf papa nggak bisa jagain Bunga.” Kamu benar-benar menangis sekarang.
“Kalau Bunga nggak bisa sembuh gimana, Ma? Pa? Kan kang Ujang juga bilang kalau ini penyakit langka? Gimana kalau nanti Bunga nikah dan anak Bunga juga punya spasmo? Siapa juga yang mau nikahin Bunga kayak gini?”
“Bunga jangan mikir macem-macem. Bunga harus positive thinking. Bunga selalu optimiskan.” Air mata mama pun tumpah. Kamu menangis. Mama menangis. Papa pun diam-diam menghapus air matanya.

Hanya Allah dan mereka yang membuatmu kuat melewati semuanya. Semuanya yang harus dilewati sampai Allah memanggilmu karena menginginkanmu untuk jauh dari dunia yang selalu menyakiti hatimu. Sampai Allah merindumu lalu memanggilmu pulang. Sampai Allah yakin kau sudah cukup untuk belajar dan ibadah kepada-Nya. 

Tidak ada komentar: