Jumat, 16 Mei 2014

Melodi Hati

Masih dengan melodi yang sama, kecurigaan. Kecurigaan yang entah bermakna apa. Sudah hampir dua minggu Andi tidak berkabar. Entah dia kemana. Whatsapp-Nya “online” terus. “Aa kemana?” Tanyamu lewat telpon. Satu-satunya alat kalian berkomunikasi hanyalah cellphone. Matamu tertuju pada jam di dinding. Sudah pukul 23.00 WIB. 
            “Halo, neng.”
            “Aa. Akhirnya aa angkat juga telpon neng. Apa kabar? Gimana pendidikan di sana? Aa sehatkan? Kok aa nggak suka kasih kabar?”
            “Neng, aa di sini belajar. Bukan mau main-main. Aa sehat. Kamu gimana?”
            Ini sudah hampir tiga minggu sejak kepergianmu ke Bandung. Tapi tidak sekalipun dia menanyakan bagaimana hasil pengobatanmu. “Alhamdulillah sehat, a. Aa kemana selama ini? Aa nggak pernah bales bbm neng. Cuma dibaca aja. Wa neng juga nggak pernah dibales, padahal aa online terus. Aa... neng menahan diri nggak nanya macam-macam. Neng terus aja positive thinking kalau aa baik-baik saja di sana. Tapi neng bener-bener khawatir, A. Neng kangen juga sama aa.” Tangismu pecah.
            “Aa sibuk neng. Aa kelar kelas aja jam sembilan. Aa lelah ya mau istirahat.” Jawabnya singkat jelas dan padat. Tiada lagi kehangatan yang kamu rasakan darinya. Tiada lagi perhatian apalagi kasih sayang. “Ada apa?” Tanyamu dalam hati. “Aa mau tidur ya.” Dia menutup teleponmu begitu saja.
            Dia berubah sejak masuk Depdagri...
----------------------------------
            “Neng... alhamdulillah aa lolos administrasi. Tesnya minggu depan di UNPAD Jatinangor.”
            “Alhamdulillah a... aa semangat ya. Neng Cuma bisa bantu doa ya. Aa kesana kapan?”
            “Aa mau ambil cuti, neng. Nah aa juga mau cek lokasinya dulu. Jadi aa pulang sore. Abis tesnya ya.”
            Kamu menghabiskan setengah malam bersamanya. Membantunya membereskan perlengkapan yang dia bawa ke Jatinangor. Tidak begitu banyak. Hanya kemeja putih, kaos dalam putih, celana hitam, dan keperluan lainnya.
Esok harinya, kamu menunaikan sholat Duha lebih lama dari biasanya.
            Kamu menyebut namanya berulang kali dalam doa. Berharap dia mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan tesnya. Berharap dia akan baik-baik saja lalu kembali dengan utuh. Kembali dengan cintanya untukmu. Cinta yang utuh. Kali ini kamu juga tidak makan siang di kantor. Kamu memutuskan untuk berpuasa agar dia mendapatkan kemudahan. Agar dia mendapatkan apa yang diinginkannya; lolos tes CPNS Depdagri.
            Dia bilang, itu cita-citanya untuk membahagiakan orang tua dan kamu. Dia ingin segera meminangmu, untuk itu dia harus memapankan diri. Memantaskan dirinya. Lagi pula mana mungkin kalian menikah satu kantor?
            Dengan khusyuk yang sesekali kamu memohonkan masa depan bersamanya, kepada Rabb yang Maha Segala.
            Sore itu, kamu pulang lebih awal. Meninggalkan berkas-berkas analisa nasabah. Menyiapkan senyum terhangat untuk menyambut sang kekasih hati.
Wajahnya terlihat begitu letih. Letih sekali. Tapi keletihannya yang membuat cintamu semakin besar. Karena dia selalu menyebut namamu dalam cita-citanya. Dia menyebut nama kalian bersandingan. “Gimana tesnya, a?”
            “Lancar, sayang... aa dapet skor paling tinggi. Mudah-mudahan bisa lolos ya. Kalau lolos, aa nikahin kamu!”
            “Jadi nggak mesti nunggu neng masuk BI kan ya, a?” Aku menggodanya.
            “Ya perlu dong sayang. Kamu juga harus keluar dari kantor yang sekarang. Masa aa di depdagri kamu masih di sini? Apa kata orang.” Dia mencubit pipimu. Kamu menghindar seketika.
            “Tapi neng fokus sembuh dulu ya, a.”

            Andi tersenyum. 

Tidak ada komentar: