Senin, 12 Mei 2014

Ada Jalan Lain (Part. 1)

            Selama sebulan sudah kamu mengkonsumsi obat kalsium. Namun tidak ada perubahan yang signifikan. Semua anggota keluargamu sudah lelah memintamu berobat alternatif ke Kang Ujang bahkan sampai keluar dari pekerjaanmu yang sekarang.
            “Kenapa nggak mau berobat ke Kang Ujang?” Mama bertanya dengan nada yang marah.
            “Mama kan tahu, dulu waktu Bunga ngilangin kista itu pake herbal dari Kang Ujang. Bunga kesakitan bukan main sampe nggak bisa sekolahkan?”
            “Ya itu karena memang racun dari badan Bunga. Bukan efek samping.”
            “Ya tapi Bunga nggak mau, ma. Bunga kan harus kerja setiap hari. Nanti kalo setiap pagi kesakitan gimana? Bunga nggak enaklah harus sakit-sakitan terus.”
            “Kalo gitu mama minta Bunga berhenti kerja aja.”
            “Ma, Bunga banyak kebutuhan setiap bulannya. Bunga nggak enaklah kalau harus minta mama dan papa. Belum lagi Bunga udah terbiasa pegang gaji tiap bulan.”
            “Baiklah. Mama nyerah. Gimana Bunga aja. Mama mau nginep di kos Bunga beberapa malam besok. Kalau memang Bunga sudah lebih baik, mama nggak akan paksa Bunga ke Kang Ujang lagi.”
            Kamu menyetujui perjanjian tanpa diatas kertas yang mama tawarkan.
-------------------------------------
            Maret.
            Andi sudah mulai pendidikan di Bogor. Dia selalu bilang, “2014 ini tahun kita, Neng. Jadi kamu harus sembuh dan sukses dalam karir.” Aku sempat bahagia mendengar doanya.
            “Ya, Aa. Selamat ya udah keterima di Depdagri.”
            “Pokoknya sayang... kita bakal nikah kalau kamu diterima di BI.”
            Ucapan Andi membangunkanmu dari tidur panjang yang tidak berkesudahan. Seperti disambar ratusan panah petir. Sungguh mengecewakan. Dengan tatapan tajam mencerminkan sakitnya hatimu, kamu mengatakan padanya, “A. Kalaupun neng nanti keterima di BI, neng nggak bakal nikah sama Aa.”
Cinta meluluhkan amarah seorang Andi. Setiap kali dia memarahimu sembari melotot, meninggalkanmu di jalanan, dia selalu kembali memohon maaf. Kamu pun terlalu mencintainya. Entah terlalu cinta atau bodoh! Kamu selalu memaafkan salahnya. Kamu selalu berpikiran kalau dia hanya perlu dituruti. Maunya apa harus selalu kamu yang mengalah. Kamu lupa, kalau kamu juga manusia. Sungguh kesabaranmu laksana malaikat. Ucapannya kali ini, menghancurkan hatimu sampai-sampai kamu sendiri tidak tahu lagi harus bertahan hidup dengan hati yang mana.
            “Kenapa neng?”
            “Karena aa nggak mau terima neng apa adanya. Aa terlalu berorientasi pada dunia. Aa lupa bahwa Allah menjanjikan rezeki yang tidak pernah habis sampai tujuh turunan kalau aa menjadi suami yang bertaqwa. Kalau kita menjadi keluarga yang berada dalam ridho-NYA. Neng nggak pernah khawatir Allah mengingkari janji-Nya.” Hanya berucap dalam hati. Mulutmu seolah masih membeku. Kamu selalu takut mengatakan apa yang kamu yakini.

            Cukup matamu saja yang mengatakan bahwa hatimu benar-benar sakit. 

Tidak ada komentar: