Kamis, 15 Januari 2015

Berkas Pertama

Di pertengahan Maret tahun lalu, dia melafalkan namanya dengan baik sembari menjabat tanganmu. “Andisyah Putra. Andi.” Kamupun tersenyum membalas, “Bunga.”
            Itu pertemuan pertama kamu dan dia. Wajahnya biasa saja. Sama sekali tidak tampan. Tubuhnya juga tidak terlalu tinggi sekitar 160 cm. Perutnya sedikit buncit. Menunjukkan bekas kejayaannya. Warna kulitnya cokelat mendekati hitam. Senyumnya luas membentang. Tangannya lebih besar dari tanganmu. Satu yang membuatmu bergetar, sinar matanya. Sinarnya lembut dan menghangatkan. Lupakan!
            “Di bagian ADMP ada Pak Kiki, kalo marketing, ini tempat duduknya Mba Ananda dan Mba Santi. Kalo ini...” Pak Sunaryo terdiam. Ananda adalah supervisor marketing di capem kelapa gading. Tingginya tidak jauh berbeda denganmu. Cara berpakaiannya BIG NO! Meskipun lahir di keluarga kaya, dia tetap berpakaian se-“mau”-nya. Karena penampilannya jauh dari kata PROFESIONAL. Sangat sederhana atau lebih tepatnya lagi selenge’an. Tapi tahu tidak, wajahnya mirip denganmu. berwajah bulat, berkaca mata, dan pipinya sedikit berisi. Orang-orang bilang, wajahmu memang mirip sekali dengannya. Yang membedakan hanya satu; dia berwajah lebih putih dan mulus dari pada wajahmu. Santi salah satu Account officer yang ayu, pendiam, anggun, dan sederhana, di usia yang begitu muda, Santi memutuskan untuk menikah. “Ibadah.” Begitu katanya. Entah mengapa kamu selalu kagum dengan wanita atau pria yang memutuskan untuk berumah tangga di usia muda.
            “Radit. Account officer.” Pria berbadan tinggi besar dengan rambut tipis itu mengangkat tangannya padamu.
            “Didik. Funding officer.” Pria berikutnya. He was the one of the most charming person you’ve ever meet. Sayang sekali di jarinya sudah melingkar sebuah cincin. Yes he got married.
            “Diangga.” Satu nama pria terakhir yang kamu dengar. Tinggi badannya mungkin diatas 165 cm. Tubuhnya kurus. Kantong matanya cukup besar, mungkin dia sering begadang. Bibirnya hitam namun tidak pekat. Mungkin dia perokok aktif. Bicaranya santai dan akrab. Mengenakan.
            Kamu membalasnya dengan senyum sambil menyebutkan namamu. Tidak berapa lama datanglah Ananda dan Santi. Sambutan mereka begitu hangat. HANGAT. Kemudian kamu duduk di kursi sebelah Ananda. Meja itu sudah lama kosong. Penghuni lamanya bernama Soni. Sudah berbulan-bulan lamanya Soni menghilang tanpa kabar. Seringnya orang di kantor memang menghilang jika sudah diterima kerja di tempat lain. Karena kalau mereka berpamitan secara normal, mereka harus membayar denda yang mereka sendiri tidak tahu untuk apa. Sudahlah. Tidak perlu juga kita bicarakan tentang kebijakan perusahaan lainkan?

Waktu berjalan begitu lambat. Kamu lebih sering terdiam. Tidak banyak bicara. Hanya membolak-balik kebijakan perkreditan atau brosur produk simpanan. Sampai akhirnya jarum jam berhenti di angka 12. Para lelaki tadi mengajakmu makan bersama di salah satu swalayan besar tepat di depan kantor. Menyebrangi jalan yang lebar dan ramai. Dengan sok gagah berani, Radit ambil bagian untuk menyebrangi kalian. Kamu satu-satunya wanita tercantik. Baju hitam, celana panjang hitam, kerudung coklat terang. Make up tipis dengan lipstik soft pink. Sama sekali tidak terlihat menarik. Tapi keempat pria itu justru menunjukkan usaha untuk menarik perhatianmu.
            Makan siang berjalan seperti di ruang interogasi. Satu per satu dari mereka mengajukan pertanyaannya. Seputar perkuliahan, keluarga, bahkan sampai ke kehidupan percintaanmu. Memang tidak banyak yang kamu ceritakan tentang dunia cinta. Sudah lama juga kamu memutuskan untuk sendiri. Memfokuskan untuk masa depan.

Setelah satu minggu berlalu...
            “Mba, aku nanti di FO atau AO?” Tanyamu pada Ananda.
            “Tergantung kebutuhan kantor aja, Bung. Kenapa?”
            “Kok gitu, Mba?”
            “Ya kan gimana nanti rekomendasi buat kamu.”
           
            BRAK!!!
            Edo melempar berkas ke atas mejamu setelah Ananda pergi. Oh ya. Aku belum sempat cerita tentang Edo. Ada AO lain di kantormu. Fendri dan Edo. Mereka sudah cukup berusia. Keduanya sudah berkeluarga. Fendri beranak tiga, sedangkan Edo baru punya satu anak. Orang-orang bilang, Fendri dan Edo seperti kakak-beradik. Mereka sangat dekat. Bahkan keluarga mereka sudah saling kenal. Fendri sudah berpengalaman di dunia perbankan. Sebelumnya dia bekerja di Bank Swasta. Dan kini menjadi pegawai tetap di kantor yang sama denganmu. Lain Fendri, lain Edo. Meski mereka dekat, tapi kehidupan perkantoran mereka berbeda. Edo sudah mencicipi hampir semua bank yang ada di Indonesia. Agak aneh bukan.
            “Lo harus berjuang buat jadi AO. Kalau lo jadi FO, lo nggak dapet ilmu apa-apa.”
            Kamu terkaget mendengar celotehan Edo yang ada benarnya juga. “Terus ini buat apa?” Menunjuk pada berkas yang dia lempar ke atas mejamu.
            “Itu ada nasabah. Dia punya kos-kosan. Mau bangun lagi yang ketiga. Sekitar Grogol. Nah gue mau kesana. Lo ikut aja.”
            Kamu masih belum mengerti. Namun karena Edo memintamu ikut, kamu pun langsung menyambar tas. “Aku harus belajar bukan?” Kamu sedikit berlari mengikuti Edo.
            Ditemani seorang supir, Kalian pergi ke daerah Grogol, melewati kampus Trisakti. Melewati jalan yang hanya cukup dua mobil. Berhenti di sebuah rumah yang memiliki banyak pintu. Kamu masih saja terdiam. Seorang perempuan berkulit putih keluar pintu rumah lalu menyambut kalian. Pakaiannya agak nyentrik, hot pants dan tank top putih. Dari kulitnya kamu menebak usianya sekitar 30-an. Bukan hanya perempuan itu, ada seorang lelaki yang ternyata suaminya. Perbincangan yang menarik dimulai. Mereka terlihat sangat akrab.
            Satu jam
            Dua jam
            Selesai
            Akhirnya pulang
            Sebelum singgah di kantor, Edo mengajak kamu makan di salah satu rumah makan enak areal Kelapa Gading.
            “Lo proses berkas ini. Pengajuannya empat milyar. Buat bangun kos-kosan. Kalau lo berhasil, lo bakal direkomendasiin jadi AO. Gue cuma mau bantu. Gimana lo aja mau apa nggak.” Edo membuka percakapan.
            “Oke mas.” Kamu menjawab dengan mantap. “Tapi aku butuh bimbingan mas Edo ya.”

            “Iya. Tenang aja. Ada Radit juga. Lo tandeman aja sama dia.” 

Tidak ada komentar: