Rabu, 21 Januari 2015

Nikah Yuk!

Di sisi lain, pria bertubuh gempal dengan tinggi badan yang pas-pasan menarik perhatianmu. Ya! Andi! Kamu cukup terpukau melihatnya menunaikan sholat duha tiap pagi. Dia memenuhi mushola kecil yang berlokasi di tengah-tengah antara ruang IT dan kamar mandi. Suatu pagi lepas kamu menunaikan duha, kamu terheran melihatnya menjalankan sholat duha lebih dari dua rakaat.
 “Mas.” Kamu memberhentikan langkah Andi di depan mejamu. Dialah satu-satunya lelaki yang tidak pernah sengaja berhenti di mejamu untuk sekedar bertegur sapa.  
“Kenapa, Bung?”
“Tadi kok sholat duha-nya lama? Emang berapa rakaat?”
Mata Andi melebar. Nampak sekali dia senang ditanya seputar agama. Andi duduk di sebelahmu. Kebetulan Ananda sedang pergi ke tempat nasabah. perlahan Andi menjelaskan keutamaan sholat duha berdasarkan jumlah rakaatnya. Tanpa kamu sadari, hari itu menjadi hari dimana kamu jatuh kepadanya. “Subhanallah... bagaimana mungkin di Kota Metropolitan seperti ini, yang kata orang sudah sangat maju, ada seorang lelaki yang sudah sibuk dengan ibadah sunnahnya. Pasti ibadah wajibnya selalu diselesaikan dengan sangat baik.”
Kamu mulai memperhatikannya, bagaimana dia berjalan, bekerja, berpakaian, dan semuanya. Kamu memperhatikannya. Diam-diam. Semua kamu lakukan dalam diam. Kamu tidak berani memberi sinyal apa-apa. Karena diapun begitu dingin. Setiap kali dia bbm, kamu membalas seperlunya. Begitupun sebaliknya. Kalian berdua hanyut dalam nuansa diam yang tidak terungkap.
Masih di bulan Maret yang sama.
“Mas kamu emang tinggal dimana?”
“Tangerang.”
“Aku juga ada kakak di Puribeta.”
“Loh itu deket. Suka pulang nggak?”
“Jarang sih. Mas?”
“Ya tiap minggu kalau mau pulang ya pulang.”
“Minggu ini pulang?”
“Kenapa?”
“Boleh nebeng nggak?” Rasaku Modus.  
“Boleh banget.”
Jumat malam, rindu pada mama dan papa yang membuatmu untuk pulang. Tidak berani pergi malam dengan taksi, akhirnya kamu ikut menumpang motor Andi. Bahasa gaulnya; nebeng. Sepulang kantor, langit agak mendung. Kamu segera mandi lalu berkemas. Memilih baju apa yang harus kamu kenakan agar dinginnya malam tidak menusuk tulangmu.
Langit tidak sedang bersahabat. Baru saja Andi mengatakan akan menjemputmu jam 19.00 WIB. Ternyata langit menumpahkan air matanya. Menangis cukup deras. Sudah hampir satu jam tetap tidak berhenti. Kamu pikir, Andi mengurungkan niatnya untuk pulang ke Tangerang. Ya itu pikirmu. Sebenarnya tidak. Jam 20.05 WIB dengan helm kuning dan motor berwarna merah hitam dia menjemputmu di kosan. Di rumah merpati. “Udah lama nunggu?” Tanyanya dengan suara berat.
“Belum. Kan sambil nunggu hujan reda, Mas.”
“Kita makan dulu ya.” Tanpa balasan, dia langsung meluncur membawamu ke rumah makan padang yang berlokasi di Cempaka Putih. Hujanpun turun lagi. Menampakkan kemesraannya padamu. Malam yang begitu romantis. Kamu mengenakan sebuah syal yang warnanya sangat tidak senada dengan baju. “Kamu modis ya. Pandai mencocokkan warna-warna yang nggak senada sekalipun.” Puji Andi. Kamu hanya tersipu malu. “Takut hujannya makin besar, aku ambil jas hujan dulu di rumah. Rumahku deket kok dari sini. Kamu tunggu di sini ya.”
5 menit
10 menit
15 menit
20 menit
Dia datang. Memaksamu mengenakan jas hujan. Kamu menolaknya dengan keras. “Mas kan kamu yang bawa motornya. Ya kamu yang pake. Aku pake syal sama pashmina aja cukup kok.”
“Ya sudah. Dari pada ribut nggak jelas.”
Saat itulah, perjalanan hati kalian dimulai.
Dia mengajakmu mengitari ibu kota. Wilayah menteng dan kemang. Menunjukkan mana saja tempat anak nongkrong ibu kota. Kamu terkantuk-kantuk di belakang. Kesal hatimu. Kamu ingin segera sampai di rumah kakak, tapi dia malah mengajakmu berkeliling. Entah apa maksudnya. Tapi hati yang sempat jatuh padanya, kamu urungkan juga. Dalam hati kamu mengeluh habis-habisan.
Lokasi terakhir yang dia tunjukkan padamu adalah Apartemen Park View. “Aku punya apartemen disini.” Ucapnya. Mau kagum bagaimana lagi. Kamu sudah benar-benar mengantuk. “Aku juga sudah ada rumah di Rajeg. Rumahku di sebelah mantan pacarku.”
“Mantan?” Nampaknya kamu sudah hampir sadar.            
“Iya. Sebelum kerja di kantor sekarang, aku kerja di hotel sebagai SDM-Legal. Kami ketemu. Karena mau menikah, akhirnya dia minta aku buat keluar. Dia mau aku mencari pekerjaan yang lebih halal. Sempat menganggur beberapa waktu, ternyata dia meninggalkanku begitu saja. Aku punya tabungan untuk hidup, tapi mama sama papa bilang, aku harus menguji keseriusannya. Mama bilang, “coba aa bilang sama dia kalau aa sekarang nggak punya uang dan masih nganggur.” Aku langsung praktekin. Ternyata benar. Lambat laun dia menghilang. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Ya beberapa tahun ini nggak punya pacar. Takut kecewa.”
Aku terdiam.
“Targetku akhir tahun ini nikah. Usiaku aja sekarang sudah 28 tahun. Kita nikah yuk!”
“Hah?” Kamu berusaha mengumpulkan nyawa. Memastikan kalau kamu tidak bermimpi. Pria di hadapanmu. Yang tidak menatapmu. Yang selama ini dingin. Mengajakmu menikah? Kamu benar-benar berasa dicandai.
“Aku masih muda, Mas. Masih mau bermimpi besar.”
“Aku sih maunya punya istri dokter.”
Duarr!!!! Kecewa hati kamu. Tunggu tunggu. Kenapa kamu harus kecewa Bunga? Apa kamu menyimpan secuil asa di hati kamu? “Lah aku kan bukan dokter, Mas. Kenapa dokter?”
“Dokter pinter aja. Nanti istriku bakal jadi ibu dari anak-anakku. Jadi harus pinter dong.”
“Oke.” Hening sejenak. Aneh memang. Sesaat dia mengajakmu menikah. Tapi kemudian dia langsung mengungkapkan keinginannya memiliki istri seorang dokter. Sungguh membingungkan. Aku kesal sekali. Jangan-jangan dia memang ingin mempermainkan hatimu. Jangan terlalu polos, Bunga. Ini ibu kota. Sedikit sekali orang baik.
“Eh kita beliin apa buat mama bapakmu?”
“Aku pengen pizza dominos aja, Mas.”
“Oke.”
Kalian berhenti. Membeli pizza di tengah malam. Dia mengantarmu tepat di depan rumah kakakmu. Hatimu masih saja kesal karena sudah larut malam. “Kamu terlalu banyak berpura-pura. Menutupi banyak hal.” Kalimat terakhir yang kamu dengar dari mulut Andi. Kamu terhenyak kaget.
“Sudah malam, Mas. Kamu pake ini aja ya.” Kamu meletakan syal di lehernya. Dia tersenyum lalu pergi. Bayangannya masih saja di dalam pikiranmu. Tidak. Kamu sudah meyakinkan hatimu. Kamu tidak jatuh hati padanya. Tekankan itu baik-baik, Bunga.

            Sayangnya kamu harus menunggu sekitar tiga jam sebelum mama dan papa membukakan pintu untukmu. Kamu masih saja menggerutu karena Andi yang mengajakmu berkeliling Jakarta hingga tengah malam. Dia pikir kamu sama dengan perempuan lain yang senang berkeliaran di saat langit gelap. 

Tidak ada komentar: