Jumat, 23 Januari 2015

Dia

Satu bulan setelah perkenalan itu, kalian pergi ke Bandung. Hanya ada kamu, Radit, Andi, dan Diangga. Mayda tidak bisa ikut. Seperti kebiasaannya; membatalkan janji tepat di hari H. Berempatlah sudah. Radit menyetir dan kamu duduk di sampingnya. Kebetulan sekali. Di Bandung, Mama, papa, Bulan, dan adikmu sedang bebenah karena rumahmu akan diisi mulai Senin oleh keluarga lain. Weekend terakhir di rumah, bersama teman-teman kantormu. Moment itu juga yang kamu manfaatkan untuk meminta penilaian mama bapak. Penilaian terhadap pria yang mendekatimu. Kamu memang tidak berubah, penilaian orang tua terhadap semua hal sangat penting bagimu. Terlebih lagi urusan hati. Kamu tidak mau menjalani apapun dengan pria manapun kalau Mama-bapak tidak mengenal pria yang kamu suka atau menyukaimu. Kamu memang tidak pernah berubah.
            Sampai Bandung, langsung menuju Setiabudi. Mereka mau makan serabi Enhai. You took some pictures. Laughed together. Enjoyed kota kembang di malam Sabtu.
            Kalian menginjakkan kaki di rumah sudah cukup malam. 23.00 WIB. Mama papa sudah tidur. Rehatlah sejenak. Karena esok, kalian akan pergi menjelajah kota Bandung. Lagi.
            Kamu mempersilahkan mereka tidur di kamar teteh. Begitu instruksi dari Mama. Mengenakan dress malam berwarna hitam dengan kerudung menjulur sampai menutupi perut, kamu mengetuk pintu kamar mereka. Membawakan selimut tebal untuk tidur di malam yang dingin. Ketiganya sedikit ternganga. Baru kali pertama bagi mereka melihat wajahmu yang polos tanpa make up dengan balutan busana yang lebih sederhana.

Whatsapp masuk...
Radit    : Kamu cantik dengan kesederhanaanmu. Anggun
Bunga  : ga usah lebay, mas. Pujian mas itu ujian buat aku.
Adit      : uda malem. Yu rehat.

            Kalian hanya selisih satu kamar mandi. “Kenapa dia nggak bilang langsung?” tanyamu dalam hati dengan kejengkelan karena dia mengganggu matamu yang hendak terpejam.
           
“Ayo makan!” Mama mengajak kami makan.
            Sudah ada beberapa piring nasi kuning bersemedi di meja ruang tamu. Mereka bertiga turun dengan barisan rapi. Kamu perkenalkan mereka pada orang tuamu, satu persatu. Mereka mengambil posisi duduk masing-masing. Papa menghampiri mereka, memegang piring nasi kuning yang sama.
            Keakraban dimulai. Papa lebih sering mengobrol dengan Andi. Dulu Andi sempat kerja sambilan dengan mengadakan jasa pengadaan untuk PC di sekolah-sekolah. Dia juga sering sekali ikut tender terkait dengan pengadaan barang. Wajarlah kalau dia lebih nyambung ngobrol dengan papa ketimbang Radit dan Diangga. Kamu hanya mendengarkan obrolan mereka dari ruang makan.
            Mama menyentuh tanganmu, “yang nganterin Bunga kemaren yang mana?”
            “Andi, Mam. Yang pake celana loreng-loreng.”
            “Yang duduk deket papa?”
            “Iya mam. Yang lagi ngobrol sama papa juga.”
            Mama terdiam.
            “Gimana, Mam? Mendingan yang mana?”
            “Ya mending yang Andi sih dari pada dua lainnya.”
            “Kenapa, Mam?”
            “Ya gampang deket aja sama papa.”
            “Dia ngajak Bunga nikah, mam.”
            Mama terkejut. “Jalanin aja dulu ya. Kenal satu sama lain. Kalau emang menurut Bunga dia yang terbaik, silahkan.”
            Mantap! Hatimu rasanya mantap dengan Andi. Ibumu menyukainya, maka apalagi? Kamu harus menyusun rencana untuk masa depan yang lebih baik dengan lelaki yang disukai kedua orang tuamu. Lalu apa kabar hatimu? “Cinta bisa datang karena terbiasa.” Bisikku lirih dalam hati.
            Lepas sarapan, kalian pergi ke Kawah Putih. Di tengah perjalanan yang terus menanjak dan berkelak-kelok, terjadi sedikit insiden. Mobil sedan berwarna hitam yang kalian tumpangi tiba-tiba tidak kuat menanjak jalan. Kamu sedikit panik, tapi mencoba biasa saja. Menurutmu sangat penting mengendalikan emosi di saat genting, karena kalau sampai kamu ikut panik, “Gimana sama Radit? Pasti bakal makin panik. Yang ada malah nggak oke.” Begitulah pikirmu.
            Kalian melalui hari dengan senang-senang. Berfoto, bercanda, bernyanyi, atau bahkan sekedar bergumam menjadi hal yang paling menyenangkan. Mereka bertiga menjagamu dengan baik. Sangat baik. Rintik perlahan hujan turun. Dari dekat kawah, kalian berlarian menuju mobil. Bersusah payah melawan hujan yang kian deras. Hujan membawa kalian pada sebuah ruangan yang isinya... entahlah ruangan apa. Lupa sekali. Hanya saja banyak orang yang juga sedang berteduh.
            Hujan yang cukup lama tetiba berubah menjadi gerimis romantis. “Gimana kalau kita pelan-pelan ke mobil ambil baju, langsung ganti baju?” Saran Andi.
            Berlari kecil dengan hati-hati kami menuju mobil. Radit menutup kepalaku dengan tangannya. Kalian mengambil baju masing-masing. Gerimis mulai jarang jatuh menginjak tanah. Akhirnya matahari datang. Indahnya hujan yang baru saja turun. Membuatmu merasakan perhatian yang dalam dari dua orang pria sekaligus, Andi dan Radit. Ya. Mereka berdua. Namun hatimu tidak gentar, komentar mama tadi pagi mengarahkan kemantapan hati untuk memilih Andi. Bukan Adit. Meskipun Adit lah yang lebih dulu dekat denganmu. Cinta bukan berkata siapa duluan yang menyatakan cintanya padamu, tapi siapa yang lebih dulu meluluhkan hati kedua orang tuamu, lalu meluluhkan hatimu seiring berjalannya waktu. Setidaknya begitulah cinta menurutmu yang masih bodoh akan cinta. MASIH BODOH AKAN CINTA.

Mereka melanjutkan perjalanan setelah mengantarmu di rumah tepat pukul 21.00 WIB.

            Andi harus mengantar kakeknya ke rumah sakit besok. Sehingga kalian harus mengubah rencana, semula hendak pulang di hari Minggu tapi Sabtu mereka sudah pulang. Mau apalagi. Kamu juga harus membenahi barang-barang yang akan dikirim ke Jakarta.

Tidak ada komentar: