Kamis, 08 Januari 2015

Perawat yang Gagal

Satu minggu berlalu...
          Kamu dan semua teman yang menginap di hotel harus segera pindah ke kosan baru.
          Kamu dan Lia satu kamar. Satu tempat tidur. Satu lemari. Satu meja rias. Satu kamar mandi. Pokoknya kalian menjadi satu. Menjadi lebih satu.
         Kamar dengan karpet berwarna hijau, tempat tidur hijau, lemari hijau, meja rias hijau, dan dua buah jendela yang cukup besar memberimu kenyamanan. Meski sang empunya tidak dapat memberimu kenyamanan seperti di dalam kamar. Setiap paginya sebelum mandi, kamu harus menemui nenek yang berusia kurang lebih 60 tahunan untuk membuka keran air. Air di rumah yang berubah menjadi kos-kosan itu menggunakan jet pump. Kamu dan ketujuh anak kos lainnya harus menunggu sekitar 45 sampai 60 agar toren air terisi penuh lalu mengalir ke kamar mandimu. Sungguh hari-hari yang mengajarimu arti kesabaran. Bukan hanya air, sering kali listrik mati karena pulsa habis. Sungguh menggelikan. Maklumlah ibu kos sudah begitu tua. Itu kali pertamanya juga Beliau menjadi ibu kos. Jadi belum berpengalaman.

         Kamu dapat melalui hari-hari dengan senyuman. Seolah keindahan tidak pernah lepas dari pandanganmu. Senyumanmu tidak pernah lepas dari bibir. Sinar matamu pun tidak pernah padam. Meski luka karena seorang pria masih bersarang di hatimu. Ah luka dari lelaki itu lagi yang selalu kamu ingat. Bukankah kamu harus sadar betapa indahnya masa depanmu? Keindahan itu harus kamu gapai dari sekarang, Bunga! Tidak ada hasil indah dengan usaha yang penuh air mata kesedihan.
         Hei. Masih ada hati yang sedang menunggumu. Apa kabar Krisna? Dia rela menjadi perawat hati hanya untuk menyambung hatimu yang patah. Mungkin hatimu akan kembali normal dan menyempurnakan keindahan harimu, Bunga. ah ya. Aku baru ingat. Sayang sekali. Hanya lepas dua hari pertemuannya kemaren dengan keluargamu, mereka menolak kehadirannya. “Papa nggak suka sama dia.” Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut mama.
           “Ya kan aku cuma temenan, Ma.”
           “Ya untuk berteman aja mama dan papa nggak suka. Teteh juga nggak suka. Semua nggak suka. Bunga... jangan terlalu polos, sayang. Kalau lelaki mendekati Bunga, bersikap manis, baik sama Bunga, jangan juga Bunga anggap dia nggak ada apa-apa. Bisa jadi ada udang dibalik batu, Bunga. Ada niat terselubung. Mungkin dia naksir sama Bunga.”
           Mama ada benarnya juga. “Tapi mana mungkin, Ma.”
        “Mama dan papa lihat matanya waktu menatap Bunga. Ada yang beda. Bisa jadi dia naksir Bunga. Mama dan papa nggak ngajarin Bunga berburuk sangka, tapi waspada, Bunga.”
        “Tapi apa alasannya, ma?” Tanyamu bersikeras.
       “Kemaren dia nelpon papa. Menanyakan kepergian kita ke Bandung. Papa bilang jadi. Tapi dia malah bilang, “Gimana kalau ditunda aja, Pak. Soalnya saya mau ikut. Dan minggu ini nggak bisa ikut.” Mama dan papa nggak ngerti arah pembicaraannya kemana. Jelas-jelas dia tahu kalau ke Bandung berobat Bunga. Eh dia malah mau nunda. Atuh dia aja nggak usah ikut. Sama urusan kesehatan Bunga aja dia nyepelein.”

    Menurutmu, anak yang terbaik di dunia adalah anak yang selalu berusaha membuat orang tuanya bahagia. Jika memang menjauhi Krisna membuat mama dan papa bahagia, kamu ikhlas. Tanpa berdebat dan menanyakan pendapatan kakak-kakakmu, dengan mantap kamu menjauhi Krisna. Menyampaikan permintaan maafmu pada Krisna lalu menghilang. Bukan bermaksud memutus tali silaturahim. Hanya saja kamu khawatir kalau memang Krisna ada perasaan lebih padamu. Bagaimana mungkin kebersamaan kalian membuatnya menumbuhkan cinta itu padamu, Bunga? sepertinya akuk pun menyetujui keputusanmu untuk menghilang dari kehidupannya. Lenyap. Bagimu, menuruti perintah orang tua lebih berharga dari apapun. Orang tua tidak mungkin menjerumuskan anaknya. Dan aku selalu percaya... orang tua punya alasan yang kadang tidak dapat disampaikan dengan gamblang. Terimalah kenyataan seperti itu, Bunga...

Tidak ada komentar: