Minggu, 11 Januari 2015

Dunia Baru

            Ini dunia barumu. Benar-benar baru. Ruang kelas yangg mampu menampung sampai 60 orang. Di sisi satunya terdapat jendela lebar. Jendela yang memperlihatkan pemandangan luar. Di sisi lain terdapat layar putih untuk proses belajar-mengajar. Meski diperkirakan cukup untuk 60 orang, bangku yang tersedia hanya untuk 40 orang. Ya. Ruang kelas di lantai tiga itu, akan berisi 40 orang. Pandangan matamu berkeliling. Sudah dua minggu kamu dan mereka bersama. Kamu sudah cukup ingat nama dari setiap mereka. Kepalamu dirundung pertanyaan yang menakutkan, “Bisakah aku bertahan disini? Pantaskah aku disini?” Semua pertanyaan yang kabur seketika. Bagimu lebih menarik memandangi wajah mereka satu persatu. Para lelaki terlihat sama. Berambut cepak, berkemeja putih, berdasi, dan bercelana hitam. Secara otomatis mereka menyeragamkan diri. Berbeda dengan wanita. Terlihat lebih variatif. Kerudung bermotif. Rambut yang berwarna. Hanya satu yang sama. Kulit yang menghitam. Mereka semua memiliki kulit yang masih berwarna gelap akibat terbakar matahari selama dua minggu.
            Entah harus bersikap seperti apa. Rasanya kamu harus mencari jati dirimu lagi. Sudah hampir satu tahun kamu tidak merasakan sebuah ruang kelas. Kini kamu harus kembali duduk, membaca buku pelajaran, mendengarkan pemateri. Belum lagi teman-temanmu yang berkualitas tinggi. Kamu harus bisa, Bunga. Kamu harus bisa menunjukkan pada dunia kalau kamu ada. Kamu hadir. Kamu akan memegang piala kemenangan. Bukan juara. Tapi piala atas kemenanganmu melewati ujian lain dalam kehidupanmu. Piala yang kamu peroleh langsung dari Allah SWT. Bukan piala buatan manusia yang tidak abadi.
            Kamu duduk di barisan ketiga dari belakang. Entahlah. Kamu hanya ingin mengamati lingkungan lebih dulu. Dengan duduk di belakang, kamu bisa melihat kebiasaan orang selama dalam kelas. Kamu pun akan punya jarak yang jauh dengan pemateri, untuk melihat bagaimana pemateri menguasai sebuah ruang kelas. Seorang pria berjas sederhana memasuki ruangan. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kalau tidak salah. Beliau memberikan materi seputar perbankan secara umum. Kamu mengamati dengan sangat baik.

Hari berjalan begitu cepat
Kamu tidak merasa bosan. Perbankan. Industri yang sudah kamu masuki sejak satu tahun yang lalu. Selalu saja menjadi topik yang kamu sukai. Kamu tidak banyak bertanya tadi. Mungkin belum.
            Senja turun. Warna jingga berubah menjadi gelap. Bintang pun tidak terlalu ramai. Hatimu lagi-lagi digemuruhi oleh masa lalu yang kamu sendiri tidak tahu kapan lenyapnya. “Aku tidur duluan ya, Lia.” Lepas menunaikan kewajiban lima waktumu, kamu pamit tidur lebih dulu.

            Sayangnya. Lia melihat guncangan tubuhmu yang menahan diri. Menahan diri agar tangismu tidak terdengar. Yes. Ini bukan kali pertamanya Lia melihatmu sesenggukkan. Kalian sudah tinggal satu kamar. Dia tahu betul. Kamu pasti akan tertidur dengan mata sembab. Tertidur dengan pertanyaan yang selalu sama, “Why?” Kenapa Andi meninggalkanmu begitu saja. Seringkali kamu meluapkan rasa sedihmu pada Lia. “Aku cuma mau tahu kenapa dia ninggalin aku, Lia. Setelah tahu, mungkin aku akan bisa melepaskannya.” Itu ucapmu. Lia pun hanya mampu memelukmu. Baginya pelukan cukup menenangkanmu. Meski tidak berpengaruh. 

Tidak ada komentar: