Senin, 26 Januari 2015

Pupus

Jumat. Bulan Ramadhan.
            Kamu keluar kelas jam 16.00 WIB. Syukurlah kelas pendidikanmu pindah ke Bendungan Hilir jadi kamu tidak harus melewati perjalanan panjang ke Cikini.
            Kamu berdiri di pinggir jalan. Menunggu bis kota yang sederhana lewat. Bis yang lewat XXI Metropole. Kamu janjian dengan Sidi di sana. Jantungmu berdebar hebat. Entah apa yang akan terjadi. Sama sekali tidak tergambar. Jujur saja, jantungku berdebar kencang ketika menulis bagian ini. Di kepalaku sudah tergambar apa yang akan terjadi padamu.
            Perjalanan ke Cikini cukup jauh. Kurang lebih membutuhkan dua jam. Arus lalu lintas sangat padat. Bis yang kamu tumpangi tidak bisa melaju dengan cepat. Kamu tertidur sesaat. Hingga akhirnya sang kernet berteriak “Metropole! Metropole!” dengan sigap kamu berdiri, berjalan di kerumunan orang yang berdesakan di dalam bis. Aturan turun bis yang pertama adalah turunkan kaki kiri terlebih dulu.
            Masih dengan debaran yang sama. Kamu menunggu Sidi di depan pintu masuk. Tidak berapa lama Sidi datang. “Kita ke KFC langsung ya.”
            “Nanti aku tunggu di KFC ya mas.”
            “Iya. Nanti aku ajak Andi ketemu kamu abis buka ya.”
            “Iya, mas. Makasih.”
            Kamu turun di depan KFC. Sidi memanggilmu lembut, “Bunga.”
            “Ya?”
            “Kamu yakin?”
            “Ya, mas. Udah lama aku nunggu hari ini.”
            Sidi tersenyum dan berlalu.
Kamu memesan satu minuman ditambah satu donat yang ditaburi meses cokelat. Duduklah kamu di lantai dua. Ini sudah mendekati jam buka puasa. Ramai sekali orang yang datang. Kamu duduk seorang diri. Menghadap ke kaca. Mengarahkan pandanganmu pada sebuah tempat makan bertenda. Tempat dimana Andi dan teman-temannya yang juga temanmu tengah bercengkrama melepas rindu. Lalu apa yang kamu lakukan? Kamu mencoba menyusun kata perkata agar kalimat yang kamu sampaikan tidak menyakitinya. Bodoh! Kamulah yang tersakiti, Bunga! kenapa kamu selalu menganggap kalau kamu yang salah.
Adzan berkumandang. Artinya sebentar lagi Andi akan datang.
Benar saja. Sidi datang. Andi mengikutinya dari belakang. Matamu berkaca-kaca. Tidak banyak yang berubah darinya. Badannya tetap gemuk. Perutnya tetap buncit. Dia mengenakan batik yang kamu belikan. Dia memang tidak punya banyak batik. Jadi kemanapun kamu pergi dan melihat batik, pasti kamu terpikir untuk membelikannya. Dia menjabat tanganmu, “Apa kabar?”
Sidi pergi, “Kalian ngobrol dulu aja ya.”
“Makasih mas Sidi.” Ucapmu lemas. “Baik. Ka... kamu apa kabar?” Ucapanmu mulai terbata-bata.
“Baik. Jauh lebih baik sekarang.”
Ah. Tanganku bergetar hebat. Terbayangkan keadaanmu kala itu, Bunga. “Gimana kerjaan?” Tanyamu. Pertanyaan yang aku akui adalah pertanyaan yang bodoh.
“Bagus. Kamu?”
“Masih pendidikan, belum kerja.”
“Kenapa bisa Sidi?” Tanyanya mencengangkanmu.
“Maksudnya?”
“Kamu selingkuh sama Sidi?” Tatapan mata Andi semakin tajam. Penuh kecurigaan dan kebencian.
Matamu mengalirkan air yang sudah tidak tertahan lagi. “Nggak, A. Karena yang bisa bantu neng ketemu aa cuma dia. Makanya neng hubungin dia buat minta bantuan.”
“Keterlaluan kamu! Selingkuh sama temen saya. Mulai sekarang nggak usah hubungin saya!”
Disambar ribuan anak panah. Hatimu sakit sekali. Andi pergi meninggalkanmu seorang diri. Kamu membeku. Tidak bisa berkata apa-apa. Seolah rohmu juga ikut pergi meninggalkan ragamu. Seketika kamu tersadar, “Kenapa Andi pergi?” Tanganmu menghapus air mata yang tumpah.
“Mas. Dimana?” Kamu menelepon Sidi.
“Di Mushola. Abis solat. Kenapa?”
“Andi pergi, mas. Dia ninggalin aku.” Kamu benar-benar seorang diri. Berdiri di depan KFC. Menangis. Meratapi kepedihan ditinggal oleh lelaki yang sama. Lelaki yang kamu cintai sekaligus kamu benci. Lelaki yang pernah membahagiakanmu namun kini secara tak gentar terus menyakitimu.
Teringat kamu harus membelikan teman-teman paket nasi untuk makan sahur mereka. Kembalilah lagi kamu masuk ke KFC. Kamu keluar lalu berlari ke ATM untuk mengambil sejumlah uang tunai karena mesin EDC di KFC rusak. Kamu berjalan agak cepat. Menutup mulut dan hidungmu dengan masker. Usaha untuk menyamarkan air mata yang terus mengalir. Siapa sangka. Sebelum melangkah ke ATM, kamu bertemu dengan teman-teman kantor lamamu. Teman-teman yang ingin kamu hindari. Tapi apa daya. Mereka terlanjur melihatmu. Pikiranmu kalut sekali. Tidak bisa lagi berpikir jernih. “Terserah mereka mau berpikir apa. Aku tidak perduli lagi.”
Kamu menyalami mereka satu persatu. Ada Dewi dan Hamzah. Sisanya... aku sudah lupa siapa nama mereka. “Bunga, kenapa?” Tanya Dewi. Entah apa yang ada di pikiranmu. Kamu tetiba memeluknya. Aku tahu betul. Kamu hanya perlu pelukan hangat. Pelukan yang sadar betapa terlukanya kamu. Pelukan dengan bisikan, “It is gonna be allright.”
            “Kenapa Andi ninggalin aku, mba?” Tanyamu lirih.
            Hamzah melihatmu menangis. Wajahnya iba sekali. Hatimu semakin sakit.
            “Andi? Oh jadi kesini buat ketemu Andi. Pantes aja. Andi ada kok. Tadi sholat berjamaah.”
            “Tapi dia bilang nggak mau ketemu aku lagi.”
            “Nggak kok.” Dewi berusaha menenangkanmu.
            “Apa salah kalau aku sakit, mba? Apa itu menganggunya? Kenapa dia bilang lelah kalau aku penyakitan gini?”
            “Bunga minum dulu ya.” Dewi menjulurkan sebotol air mineral.
            Andi datang. Menuruti perintah teman-temannya. Ya. Dewi memintanya datang menghampiri kalian. Dengan wajah tanpa dosa, Andi datang, “Kan tadi aa bilang sholat dulu, neng.” Andi menarik tanganmu dengan kuat. Menggenggamnya erat. Seolah ada aura kebencian yang mengalir. “Kita pulang ya.” Ajaknya.
            Sidi berbisik, “Hati-hati.”
            Kamu pasrah sekali. Benar-benar pasrah. Kalian menghentikan sebuah taksi. Tinggal kamu dan Andi di dalam mobil. Dia tidak banyak bicara. “Aa, kenapa ninggalin neng?” Kamu membuka obrolan.
            “Karena lo selingkuh sama Sidi.”
            “Wallahi. Neng nggak selingkuh dengan siapapun. Kenapa aa ninggalin neng? Apa salah neng?” Air matamu kembali tumpah.
            “Lo bisa diem nggak?” Mata Andi melotot seolah hendak keluar.
            Kamu hanya terisak.
            Tidak banyak yang Andi sampaikan. Jawaban yang kamu harapkan... tunggu dulu. Jawaban yang kamu harapkan akhirnya kamu ketahui juga, “Karena kita tidak bisa bersatu. Itu kenapa aku ninggalin kamu.” Menyesakkan hati. Sungguh.
           
Andi pergi. Dia mengantarmu dengan sampai depan pagar kos.

Runtuhlah tubuhmu. Tangismu tak berhenti sampai di depan pagar. Matamu yang sembab akibat menangis membuatmu tidak bisa tidur. Dalam tahajudmu. Dalam doa malam yang selalu kamu sampaikan. Kamu masih saja menyebut namanya. Masih saja menyampaikan pertanyaan yang sudah kamu ketahui jawabannya. Jawaban yang membuatmu terluka. Sungguh Bunga. Aku bahkan tidak tahu lagi harus menggambarkannya dengan kalimat apa. Karena lukamu begitu dalam. Begitu dalam. 

Tidak ada komentar: