Sabtu, 04 Februari 2012

Holiday to Pangandaran : it was time to go home





menunggu bis



makan siang di warung nasi terminal Pangandaran

Slow but sure. Begitulah yang aku rasakan ketika menaiki sebuah becak bersama Ade menuju terminal pangandaran. Becaknya sangat pelan. ½ bagian tulang dudukku tidak mendapat tempat yang layak. Oke... bahasa halusnya. Entah becak terlalu kecil, entah aku dan Ade terlalu besar sehingga Ade aku jepit. Dan aku pun tidak mendapat tempat duduk seutuhnya di atas becak.

Kembali lagi. Kenapa harus pelan tapi pasti? Karena sang abang becak mengayuhnya dengan sangat pelan. Tapi pasti mengantar kami ke terminal Pangandaran. Sesampainya di terminal, kami langsung turun. Menuju sebuah ruangan yang diatasnya tertulis AGEN BUDIMAN pada sebuah papan. Tetapi ruangannya kosong.
“Neng! Neng! Ada apa?” tanya seorang pria yang sedang duduk di depan kopi cokelat.
“Bis yang ke Bandung kapan ya, kang?” Tanya kami.
“Nanti jam 4 ada. Tunggu aja!”
Tapi tiba-tiba di kejauhan. Kondektur bis Budiman yang ke Tasikmalaya. “Neng! Naik bis ini aja! Bis yang ke Bandung jam 7 malem!” Teriaknya.
“Nanti dari Tasik naik apa?” Tanyaku.
“Ada bis lagi yang dari Tasik ke Bandung.”

Kami tetap bersikukuh menunggu bis yang jam 16.00 WIB. Kami yakin bis itu ada. Dan kondektur tadi tidak berkata jujur. Bukan berbohong. Dia hanya sedang tidak berkata jujur.
Kami pergi mencari minimarket terdekat. Membeli beberapa botol minuman yang sudah habis ketika di Cagar Alam. Setelahnya mencari warung nasi dan siap mengisi perut dengan nasi. Waktu makan siang telah lewat. Sudah pukul 15.30 WIB.

Kami berjalan menuju tempat tunggu bis. Hujan datang. Ia datang tidak sendirian. Berjamaah dengan angin yang sangat kencang. Kami wanita. Dan kami ketakutan. Angin dan hujan berkolaborasi membentuk kesatuan yang hampir sempurna. Menakuti kami dan beberapa calon penumpang lain yang menunggu kedatangan bis ke Bandung.
“Pan. Ini ujannya gede banget, pan.” Ucap Atik.
“Iya. Tenang, mpok! Nggak akan apa-apa kok.” Jawabku.
“Yakin mau pulang sekarang?” Tanya Atik lagi. Ketakutan terlihat sangat kuat di wajahnya.
“Apa kita mau pulang besok pagi aja. Nanti kita cari penginapan terdekat sini.”
“Iya, Van. Kalo pulang sekarang bahaya. Anginnya gede.” Tegas Ade.
Otakku terus berpikir.
“Kita tidur di masjid gede yang di depan aja, Pan.” Saran Atik lagi.
Tiba-tiba bis ke Bandung yang kami tunggu datang. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap naik bis. “Yakin ini, pan?” tanya Atik dan Ade ragu.
“Yakin. insyaAllah nggak ada apa-apa. Kita selamat.” Aku menutupi kecemasan yang sedari tadi juga menyelimuti hati dan pikiran.
Aku membiarkan Atik, Ade, dan Hana naik bis lebih dulu. Membiarkan Ade membawa Hana dan Atik masuk bis dengan payung yang dipinjamkan oleh agen Budiman. kemudian Ade menghampiriku. Kubiarkan Ade masuk bis. Kulipat payung dengan cepat lalu memberikannya pada kondektur. Kami sedikit basah. Tapi sepertinya aku banyak basah. Punggung dan sepatu basah. Dingin mulai menjalar ke atas tubuh. Tapi aku menutupi dinginnya tubuh.
“Sadar nggak sih. Kalau ini bis yang kita naikin pas berangkat?” Atik memulai perbincangan hangat.
“Iya gitu?” tanyaku.
“Coba liat nomornya!”

Ternyata benar. Bis yang sama. Kondektur yang sama. Dan posisi duduk yang berubah hanya satu baris lebih maju. Kami kaget sekali. Amazing. Tepat pukul 16.00 WIB bis berangkat. Cuaca masih belum bersahabat. Angin dan hujan masih betah berlama-lama menemani kami. mobil besar lainnya menghiasi jalan yang berliku. Jantungku semakin berdegup kencang. insyaAllah dzikrullah selalu kulakukan. Karena hanya kepada Allah aku dapat meminta keselamatan di saat apapun.

Sekitar pukul 22.30 WIB kami tiba di terminal Cicaheum. Menunggu taksi lewat. Setelah berupaya dengan keras, akhirnya kami menemukan taksi. Rencana membeli bubur ayam batal sudah karena taksi terus melaju. Aku dan Ade berlari menggapai taksi. Melambaikan tangan agar sang sopir mau berhenti.

Ya... hanya dua hari satu malam memang. Tapi menjadi perjalanan yang panjang. Menghiasi liburan kali ini.

Tidak ada komentar: