Senin, 06 Februari 2012

orang yang mengalah bukan berarti kalah
Kami ada dalam sebuah arena yang sama. Kursi petarung yang terbatas membuat satu orang harus merelakan impiannya bertarung di arena yang sama dengan kesebelas petarung lainnya. Akhirnya, salah satu bakal petarung menghentikan pertarungan yang belum dimulai. Ia membesarkan hatinya untuk mundur. Merelakan satu kursinya agar 12 yang lain dapat berjuang. Dia bukan kalah. Dia juga bukan pecundang. Dia hanya seorang gadis petarung yang mengalah tapi bukan untuk kalah. Dia bukan pecundang. Dia hanya seoerang gadis petarung yang mempersilakan petarung lain untuk menggapai bendera kemenangan. Dia hanya seorang gadis petarung yang membesarkan hatinya. Merelakan satu pintu kesempatan yang ada di hadapannya untuk membuka pintu-pintu lain yang terbuka.
Aku menertawai diri yang terus menangis dan merasa sedih. Lalu membeli banyak makanan agar aku bisa melupakan kesedihan dan kekecewaan yang Allah hadiahkan untukku. Bodoh! Tidak seharusnya aku seperti tadi. Waktuku untuk menangis dan manja sudah habis. Sekarang waktunya aku meroket setinggi-tingginya. Membiarkan semangatku berkobar membakar jala rintangan lalu siap berlari meraih asa setinggi mungkin. Meninggalkan segala hal yang membuatku sedih dan kecewa. Selfish is important. Selama egois itu tidak merugikan orang lain. Aku egois. Bagiku, kebahagiaan adalah milikku juga. Karena aku egois untuk mendapatkan kebahagiaan maka aku akan melupakan hal yang menyedihkanku hari ini. Aku egois untuk meraih kebahagiaanku sendiri dengan selalu berpikir positif. Itulah egoisnya aku. Untuk tidak akan ada lagi air mata. It’s just the beginning.
Sesaat setelah keluar dari arena pertarungan yang belum sempat kucicipi, aku menelpon mama dan bapak. Menangis tersedu. Membiarkan mama berbicara di seberang sana. Kutarik napas pelan. Dan menutup telepon setelah mama berkata, “pasti Ni bakal dapat yang lebih baik ya sayang...”
Segera kutinggalkan arena pertempuran itu. Sebelum seluruh hati lumer mengingat perlakuan mereka. Sang bapak yang tahu anak perempuan kecilnya menangis segera menelepon. Suaranya begitu hangat, membuat air mataku turun lebih deras. Bukan karena aku mengingat pengalahan yang kulakukan, tapi karena aku menyadari bahwa betapa bijaknya bapak yang Allah beri untukku. Lalu beliau berujar, “Sayang... dengerin bapak. Bapak tahu semua anak perempuan bapak kuat. Hal kayak gini itu rintangan. Sangat kecil. Ni pasti bisa melewatinya. Ini baru diawal sayang. Kalau diawal aja Ni udah cengeng gimana nanti. Tetep berusaha, sayang. Bapak mendoakan dari sini.”
“Kalian punya kesempatan yang sama, tapi jalan yang lain. Na yakin bakal ada jalan buat Ni.” Kalimat terakhir yang kudengar setelah Vina menelepon. Lengkap sudah. Hatiku lega.
Aku memandang cermin lalu tersenyum. Mataku merah sehabis menangis. Kini aku tidak akan menangis. Bapak benar, ini baru permulaan. Bukanlah sesuatu yang harus ditangisi. Aku anak perempuan yang kuat. Tidak cengeng. Sama sekali tidak cengeng.
Aku akan bangun. Waktunya masih panjang. tapi bukan untuk bersantai. Kutarik pelatuk. Membidik pistol pada target. Dan akan kubiarkan pelurunya menghunus papan target. Aku pasti bisa! Akan kubuktikan pada mereka bahwa kami akan menyelesaikannya bersama. Tepat waktu. Sekalipun melalui medan yang berbeda. Aku tidak membenci siapapun. Karena segala hal yang dimulai dengan kebencian tidak akan berhasil dengan baik. Aku akan menjadi orang yang matang. Menolerir perlakuan mereka padaku.

Tidak ada komentar: